Saat
ini tidak kurang bahasa etnik atau daerah di Indonesia berjumlah sekitar 746
bahasa yang tersebr di 17.508 pulau. Bahasa daerah ini memiliki andil besar
dalam hal kehidupan sosial masyarakat, khususnya masyarakat etnik itu sendiri.
Etnik atau ethnic groups secara umum dipahami sebagai masyarakat suku,
atau masyarakat yang secara tradisi memiliki persamaan identitas.
(Brata, 2007: 1)
Bahasa daerah atau etnik lebih mampu menjadi
alat komunikasi dalam hal menciptakan kedekatan sesama pengguna bahasa daerah
yang sama. Seperti orang Jawa dengan orang Jawa, orang Bugis dengan orang Bugis
dan sebagainya. Karena masyarakat dan bangsa Indonesia yang majemuk, maka
penutur bahasa Indonesia memperlihatkan corak yang monolingual atau bilingual.
Sehubungan dengan pemakaian bahasa asing, misalnya, corak itu akan berubah
menjadi multilingual pada kelompok penutur tertentu. Kelompok monolingual
umumnya adalah mereka yang tinggal di pedalaman atau perdesaan terpencil dan
termasuk ke dalam lapisan masyarakat yang tidak/kurang memperoleh pendidikan
formal karena mereka hanya menguasai dan menggunakan satu bahasa saja, yaitu
bahasa daerahnya. (Kurniawan, 2008: 3).
Sehubungan
peran bahasa daerah dalam kehidupan sosial masyarakat, lebih mengarah pada hal
yang bersinggungan dengan masalah budaya atau adat. Seperti pernikahan atau
acara-acara yang dimana bahasa daerah dipergunakan didalamnya, atau biasa
digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari di dalam keluarga atau di
masyarakat. Melihat fungsi bahasa daerah tersebut tampak bahwa bahasa daerah
mampu membawa suatu kedekatan tersendiri bagi penggunanya, sehingga mampu
menciptakan integritas tertentu dalam komunikasi yang terbentuk. Komunikasi ini
lebih memunculkan rasa memiliki dan keakraban yang secara tidak langsung terbentuk,
karena ada rasa asal yang sama, leluhur yang sama, senasib, seperjuangan dan
sebagainya.
Meski
begitu bahasa daerah secara tidak langsung menciptakan rasa bangga terhadap
daerahnya sendiri dibandingkan dengan daerah lain. Yakni mengakibatkan kurangnya
penghargaan terhadap budaya lain, dan merasa budayanya adalah budaya terbaik
atau lebih dikenal sebagai primordialisme. Hal ini menjadi ancaman untuk dapat
terciptanya integritas sosial, di Indonesia sendiri hal ini sering menjadi
pemicu utama gagalnya integritas sosial.
Peran bahasa di Indonesia sendiri sebagian besar
masih diperankan oleh bahasa daerah hal ini terbukti dengan sekarang
ini menurut sensus Badan Pusat Statistik (1990), kemajuan pemakai bahasa
Indonesia sangat mengesankan. Di antara penduduk yang berusia lima tahun ke
atas terlihat tiga kelompok. Pertama, anggota masyarakat yang memakai
bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari kira-kira 24 juta orang atau
sekitar 15%. Kedua, orang yang mengaku dapat berbahasa Indonesia tetapi
tidak memakainya sebagai alat komunikasi sehari-hari berjumlah 107 juta orang
atau sekitar 68%. Ketiga, orang yang belum paham bahasa Indonesia masih
27 juta orang atau sekitar 17% dari jumlah penduduk Indonesia saat itu.
Diproyeksikan oleh BPS, pada tahun 2010 (bersamaan dengan era perdagangan bebas
di kawasan Asia-Pasifik), semua orang Indonesia di atas lima tahun atau 215
juta orang (hampir sama dengan jumlah penduduk Indonesia sekarang) dapat
memahami bahasa Indonesia dengan berbagai tingkat kemahiran. (Kurniawan, 2008:
2)
Dengan jumlah bahasa daerah yang sangat banyak dan
beragam tersebut, serta jumlah penggunaannya yang sangat tinggi akan cukup
sulit bagi Indonesia untuk dapat menciptakan adanya integrasi sosial. Hal ini
dikarenakan adanya primordialisme dan juga etnosentrisme yang tinggi di
masyarakat. Lagipula penggunaan Bahasa Indonesia pun kecil jumlahnya.
Maka akan muncul pertanyaan bagaimana cara untuk
menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut? Sebelum kita membahas mengenai hal
tersebut maka kita perlu mencari tahu hubungan fungsional dari bahasa itu
sendiri, oleh Marry L. Barker bahasa pada dasarnya memiliki tiga fungsi dasar
yakni penamaan atau labeling, transmisi informasi dan interaksi (Barker
dalam Mulyana, 2010: 266). Pada fungsi interaksi bahasa memiliki kemampuan
untuk membuat kita berkomunikasi, bergaul, dan mempengaruhi orang lain untuk
mencapai tujuan kita. Melalui bahasa kita dapat mengendalikan lingkungan kita,
termasuk orang-orang yang ada disekitar kita. Melihat fungsi interaksi dapat
diketahui dengan bahasa kita mampu mengendalikan orang-orang sesuai dengan
kebutuhan kita. Maka salah satu cara mengendalikan perbedaan atau menciptakan
integrasi adalah dengan bahasa.
Indonesia sendiri menggunakan satu bahasa
kenegaraan atau bahasa resmi yakni Bahasa Indonesia. Hal ini telah diatur Berdasarkan
UUD 1945 bab XV pasal 36 Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi atau
bahasa Negara. Dengan bahasa maka dapat diciptakan suatu integrasi di dalam
masyarakat luas. Bahasa persatuan dimana ini menunjukkan Sebagai identitas
bangsa atau negara maka bahasa Indonesia menjadi ciri atau tanda yang
membedakan dengan bangsa lain atau negara lain. Identitas ini bisa saja menjadi
salah satu faktor kebanggaan pada sebuah bangsa, yang kadang-kadang diiringi
dengan sikap merendahkan atau menganggap aneh identitas bangsa lain. (Brata,
2007: 3)
Identitas
ini tidak stabil atau baku akan tetapi selalu berproses lewat wacana untuk
berkomunikasi, sehingga identitas selalu terjaga, dinamis, berubah, atau malah
musnah. Berawal dari merosotnya atau musnahnya kebanggaan akan identitas yang
berupa Bahasa Indonesia maka bisa jadi ini adalah awal dari disintegrasi negara
Indonesia. Tidak ada lagi alat komunikasi sesama warga Indonesia yang menjadi
kebanggaan bersama, masing-masing merasa bangga dengan bahasa daerahnya atau
bangga dengan bahasa manca negara sehingga bahasa Indonesia akan ditinggalkan.
Indonesia
sebagai salah satu negara kepulauan terbesar memiliki beragam budaya, bahasa,
dan suku. Bahasa-bahasa lokal yang disebut bahasa daerah, besar ataupun kecil,
kuat ataupun lemah, adalah salah satu komponen dan “sarang” kebudayaan
masyarakat pemiliknya, khazanah kebudayaan nasional, sarana berpikir primordial
(Masinambow dalam Mbete, 2009:97).
0 Comments: