(Memperingati 20 Tahun Berdirinya LPM VISI FISIP UNS)
Oleh : Nur Heni Widyastuti*
”Menerbitkan secara perdana sebuah majalah adalah mudah. Yang tidak mudah adalah mengupayakan agar majalah tersebut, selagi isinya masih berbobot, juga secara teratur dan tepat waktu hadir di hadapan para pembacanya.” Itulah amanat Prof. Dr. Kunto Wibisono, Mantan Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS), ketika memberi kata sambutan di Majalah VISI edisi perdana, 20 tahun silam.
Sampai saat ini, arsip majalah yang memuat pesan Pak Rektor tersebut (yang kala itu masih disalin dengan mesin tik) masih terbendel rapi bersama 25 edisi Majalah VISI yang lain. Majalah VISI edisi pertama itu terbit 5 Februari 1988 dan tercatat dalam sejarah sebagai tanggal berdirinya Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) VISI yang bernaung di bawah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNS. Dengan sedikit terharu diselimuti sedikit kebanggaan kami ingin mengucapkan ”Alhamdulillah Pak, setiap tahun, kami sebisa mungkin menerbitkan terbitan sesuai apa yang Bapak amanatkan.”
Sebelum adanya Majalah VISI, di FISIP sudah ada forum diskusi mahasiswa (fordisma) yang diselenggarakan secara periodik untuk membahas berbagai permasalahan. Sangatlah riskan bila hasil diskusi itu tidak dikomunikasikan secara luas. Maka muncullah majalah dinding sebagai sarana sosialisasi. Kemudian berkembanglah semacam tabloit bertitel KOMA. Tapi sayangnya mengalami kemacetan ditengah jalan.
Terbersitlah keinginan sekelompok mahasiswa yang sering ngumpul bareng untuk menerbitkan majalah kampus. Majalah itu dimaksudkan untuk mengkomunikasikan ide-ide dan analisa terhadap berbagai permasalahan, tak ketinggalan pula berita di sekitar FISIP maupun UNS. Salah satu pendorong keinginan itu adalah rasa iri dan keprihatinan, seperti yang diungkapkan oleh M. Dian Nafi dan Hayati Sri Mumpuni (mantan Dewan Redaksi LPM VISI 1988) di sebuah artikel dalam Majalah VISI edisi 13 (1995).
M. Dian Nafi dalam artikel berjudul Disini Kami Berdiri, Disini Kami Berfikir, Kesini Kami Perduli mengungkapkan, ada semacam perasaan iri terhadap mahasiswa di kampus lain yang mampu menerbitkan majalah mahasiswa. ”Bagaimanapun kita tak mau selamanya menjadi yang ’termuda’ dan selalu tertinggal. Lebih baik berbuat sesuatu daripada takut salah. Inilah yang perlu kita ingat sehingga membuat kita bersemangat dan kreatif.” ungkapnya.
Ada pula semacam keprihatinan juga terhadap rekan mereka sesama mahasiswa, terutama mereka yang terpengaruh budaya ngepop dan wawasan intelektualnya minim. Maka dibentuklah suatu saluran yakni LPM yang menampung pemikiran-pemikiran mahasiswa. Maka lahirlah ”Muara Pemikiran Kampus” yang menjadi jargon Majalah VISI. Dengan adanya LPM, paling tidak masih ada sekelompok mahasiswa yang ingin kritis terhadap permasalahan di sekitas kamus dan perduli dalam hal peningkatan intelektualitas.
Dukungan pihak kampus UNS terhadap lahirnya pers mahasiswa (persma) di kampus membawa angin segar bagi jiwa-jiwa mahasiswa yang rindu akan perjuangan. Sebelum LPM VISI hadir, di UNS sudah ada pendahulu yaitu BAPEMA Fakultas Ekonomi (1984), LPM Novum Fakultas Hukum (Maret 1985), LPM Kalpadruma Fakultas Sastra (November 1985), LPM Motivasi FKIP (Mei 1986) dan LPM Kentingan UNS (Desember 1993). Dan bermunculanlah LPM-LPM lain di UNS seperti LPM Scienta Fakultas MIPA, LPM Folia Fakultas Pertanian, LPM Eureka Fakultas Teknik, dan LPM Eritro Fakultas Kedokteran.
Menyandang Beban Sejarah
Menyandang gelar anggota persma tak lepas dari beban sejarah perjuangan yang harus mereka pikul. Tapi belum semua anggota persma menyadari akan hal itu. Jika esesi dan ruh perjuangangan belum merasuk dalam jiwa penggerak persma ketika menjalani proses belajarnya di persma, tidak mengherankan jika banyak yang memilih keluar dan mencari dunia baru mereka sendiri.
Esesnsi dan ruh perjuangan itu bisa kita pelajari melalui penelusuran sejarah persma di Indonesia. Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) sebagai induk organisasi persma terlibat langsung dalam usaha-usaha untuk mengkritisi pemerintahan Soekarno tahun 1960-an. Rezim Soekarno menghendaki aktivistas mahasiswa pada umumnya diarahkan untuk mendukung partai. Namun IPMI yang sejak awal menyatakan diri bersifat independen menghapi tekanan-tekanan dari penguasa dan kekuatan politik.
Didahului oleh aksi demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa tahun 1966, akhirnya rezim orde lama berakhir dengan ditolaknya pertanggungjawaban Presiden oleh DPR GR. Orde baru lahir menata kembali perekonomian nasional yang belum stabil. Pada titik inilah persma ikut aktif mencari, merumuskan, dan menegakkan ideologi pembangunan (modernisasi) melalui terbitan terbitannya.
Persma yang awalnya mendukung orde baru mulai melancarkan kritikan terhadap pemerintahan. Puncaknya, pada awal tahun 1974 terjadi gelombang aksi-aksi demonstrasi oleh mahasiswa di Jakarta dan kota besar lainnya selama kunjungan Perdana Mentri Jepang Kakuei Tanaka di Indonesia 14-17 Januari 1974. Pada tanggal 15 Januari 1974 pemerintah mengambil tindakan tegas dengan membreidel terbitan pers baik pers umum maunpun persma sebagai usaha pemerintah menghentikan aksi demonstrasi. Akibat peristiwa MALARI (Malapetaka Lima Belas Januari) dunia pers berkabung kala itu.
Orientasi politik persma mulai meninggi lagi berbarengan dengan munculnya kembali protes-protes mahasiswa menjelang Pemilu 1977, dan terus menguat mendekati Sidang Umum (SU) MPR tahun 1978. Sikap anti Soeharto ini tercermin jelas pada terbitan persma. Salemba (Universitas Indonesia) edisi Januari 1978 membuat editorial Mahasiswa Menginginkan Soeharto Tidak Jadi Presiden Lagi. Sedangkan Kampus (Institut Teknologi Bandung) menampilkan berita Aksi Mahasiswa Bandung Menolak Dukungan Terhadap Pencalonan Soeharto.
Sikap lugas persma itu banyak mengundang perhatian, sehingga popularitasnya menjelang SU MPR 1978 naik pesat. Apalagi pada awal 1978 itu beberapa terbitan pers umum mengalami pelarangan terbit, seperti Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Indonesia Times, dan Mingguan Tempo. Keberanian persma dalam menentang kembalinya Soeharto ke kursi presiden akhirnya mendatangkan nasip yang sama buruknya dengan pers umum.
Guna menjinakkan kegiatan politik mahasiswa pemerintah mengambil langkah dengan mengeluarkan SK Mendikbud No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Penjelasan teknis NKK tertuang dalam Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) N0. 002/DK/Ins/1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi (PT). Didalamnya memuat ketentuan pembentukan Badan Koordinasi kemahasiswaan (BKK). Badan inilah yang bertugas mengawasi kegiatan mahasiswa.
Setelah vakum akibat Peristiwa Malari, dan pembatasan kegiatan melalui NKK/BKK, persma pasca 1980-an mulai dirintis kembali. Ditandai dengan terbitnya berbagai media mahasiswa misalnya, Akademika - Universitas Udayana (1983), Balairung - UGM (1985), Solidaritas - Universitas Nasional Jakarta (1986), Sketsa - Universitas Jenderal Soedirman (1988), Pendapa - Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa (1988), tak ketinggalan pula di UNS Surakarta.
Sejarah serasa kembali berulang saat terjadi demo besar-besaran tahun 1998 seperti tahun 1966. Lagi-lagi mahasiswa terlibat langsung dalam upaya penggulingan kekuasaan orde baru. Majalah VISI sendiri mengengkat tema tentang dikotomi sipil dan militer dalam perpolitikan Indonesia dengan headline ”Sipil Jadi Presiden, Mungkinkah?”. Jika ditilik dari segi sejarah pergerakan mahasiwa baik secara aksi maupun tulisan paling tidak mampu membawa sedikit angin perubahan.
Persma Saat ini
Dalam benak mahasiswa ’generasi melenium’ (angkatan 2000 keatas) cerita tentang pergerakan persma jaman dahulu seperti layaknya ’dongeng heroik’ pergerakan mahasiwa. Adakah cerita tentang perjuangan mahasiswa ’dijaman dahulu’ menggugah semangat kita untuk juga ikut ’berjuang’? Mungkin akan ada yang berceletuk ”Hai bung, kita itu hidup di jaman yang berbeda dengan mereka, dengan kondisi situasi yang berbeda pula”.
Iya, itu memang benar. Dahulu akses arus informasi tidak sederas saat ini. Dahulu terbitan persma di ranah nasional ibarat ’jarum ditumpukan jerami’, sehingga sekali terbit akan ’menusuk’ audiencenya. Mengingat di era tahun 1950an sampai 1980an belum terlalu banyak media yang bisa diakses secara masal.
Namun sekarang terbitan persma ibarat jerami dalam tumpukan jarum. Sebelum jerami itu terpegang, audience sudah tertusuk oleh arus informasi yang lain. Sehinnga untuk menjangkau wilayah yang luas terbitan persma serasa tertelan arus kebebasan informasi. Tapi bukan berarti tidak ada bentuk perjuangan lain. Jika tidak belum berjuang untuk bangsa dan negara seperti mahasiswa jaman dahulu, paling tidak masih bisa berjuang untuk almamaternya sendiri. Itulah mengapa persma sekarang lebih cenderung bergerak ditataran kampus saja.
Berbagai tantangan harus dihadapi oleh persma. Dari mulai awal perekrutan anggota, meniupkan ruh perjuangan dari generasi ke generasi bukanlah perkara yang mudah. Selain itu mahasiswa yang berjuang di persma satu kata yang dibutuhkan : totalitas. Disitulah hal tersulit yang dilakukan. Hedonisme, pragmatisme, dan apatisme seperti menjadi setan penggoda bagi idealisme itu.
Permasalahan sumber daya menjadi permasalahan klasik bagi setiap generasi persma. Bukan menjadi rahasia lagi jika satu per satu anggota persma berguguran di tengah jalan sebelum masanya di persma berakhir, dan yang tersisa nantinya diakhir kepengurusan hanya beberapa gelintir orang saja. Itu hal biasa dan tidak ada yang bisa disalahakan, karena mahasiswa memang punya berbagai pilihan dalam mengisi masa mahasiswanya.
Pemasalahan klasik lainnya adalah sumber dana yang menyebabkan deathline penerbitan mundur. Selain itu kegiatan yang diselenggarakan semisal diskusi sedikit yang mengikuti. Namun tantangan yang lebih besar adalah beban tanggung jawab sosial yang persma emban.
Apa kabar LPM VISI?
Kabar baik yang selalu ingin didengar. Selasa (5/2) kemarin LPM VISI genap berusia 20 tahun. Syukuranpun dilaksanakan dengan sederhana, dengan orang-orang yang sederhana, di sekre yang sederhana, berteman komputer, mesin ketik dan lemari tua yang sederhana. Syukuran itu dimaknai dengan perenungan peran sosial apa yang telah dilakukan LPM VISI khususnya bagi almamater FISIP sendiri? dengan diskusi bersama.
Tidak semua mahasiswa FISIP betah duduk berlama-lama di dalam sekre yang mungil dengan obrolan-obrolan panjang yang terkadang menjemukan. Karna tidak semua obrolan dipahami dan tidak semua obrolan disenangi. Tapi semenjemukan apapun obrolan itu, bagi orang yang cerdas dan kritis pasti bisa mengambil manfaat dari sana.
Tidak mudah untuk berdiskusi dan menerbitkan majalah dan buletin, karena ada tahapan tahapan-tahapan yang kesemua butuh proses yang memakan waktu, tenaga, harta dan pikiran. Tidak mudah, karena tidak sembarang tema yang diangkat. Tak mudah karena ada tanggung jawab sosial yang diemban. Dan perjuangan yang berat itu masih panjang.
Dalam mewujudkan tujuan LPM VISI sebagai lembaga pers mahasiswa yang ingin memperjuangkan nilai-nilai kebenaran terkadang menemui tantangan. Mulai dari nara sumber yang enggan untuk dimintai keterangan bahkan teguran-teguran yang dialamatkan ke LPM VISI. Teguran dari pihak Dekanat pun pernah diterima oleh LPM VISI karena ada kesalahpahaman. Namun hal tersebut bisa diselesaikan dengan cara damai.
Bahkan ketika masa orde baru, aparat keamanan pernah meminta Rektor untuk memperingatkan LPM VISI karena pemberitaannya yang dianggap provokatif. Banyak pihak juga yang merasa ’tersentil’ atau bahkan tidak suka terhadap pemberitaan LPM VISI. Tantangan-tantangan tersebut tidak menyurutkan semangat LPM VISI untuk tetap berkarya. Pintu dialogpun selalu LPM VISI buka untuk menyelesaikan segala permasalahan.
Perjuangan yang berat itu masih panjang.
*Penulis adalah Pemimpin Umum LPM VISI FISIP UNS.
0 Komentar