Oleh: Nositaria Devia Hariefka
Senja turun perlahan. Sangat pelan bahkan untuk sebuah kebiasaan yang melelahkan. Rona jingga menyeruak di langit barat yang ku tahu itu tanpa batas. Aku ada disini karna matahari yang memintaku. Aku pulang ke kotaku, kota Tidar, yang ku banggakan bagaimanapun dia. Tepat di lembah paku Jawa. Kunikmati lagu- lagu pinus yang menyayat hati. Mereka memang gagah dan menjulang tinggi, tapi ada keraguan yang membuat mereka tak mengerti.
Aku tinggal di komplek Wesleyan simpang tiga Letnan Tukiyat. Masih di kota tuaku yang bisu. Sebuah kehidupan yang setiap kali kuawali dengan matahari. Tapi beberapa waktu ini matahariku tiada. Entah sebagai apalagi 3 dunia yang masih tersisa disini.
Ini adalah sebuah perjalanan hidup yang penuh konspirasi. Dimana semuanya harus berawal dari matahari. Dan mataharikupun lebih dari yang pernah ada. Dialah Ata, matahariku, teman, sahabat- dalam segala hal yang ada -, dia mengajariku banyak hal. Tentang hidup yang harus diperjuangkan. Tentang kepercayaan yang memang harus ada.
Aku punya kelainan di perutku. Ini membuatku sering lemah dalam segala hal yang kulakukan. Fisikku tidak terlalu kuat dalam menjalani hidup yang aku miliki. Dan matahariku yang ku panggil Ata itu telah mengukuhkanku. Dialah penopang yang selama ini membuatku merasa ada.
Rumah pohon ujung jalan komplek Wesleyan.
Kuawali semuanya dari sini. Aku dan Ata bersahabat baik sejak kepindahanku ke kota ini 8 tahun lalu, tepat saat Ayah dipindah tugaskan dari kota asalnya, Padang, ke kota Ibuku ini. Selama itu pula kuawali setiap pagi dengannya, menyambut matahari dunia pertamaku bersama Ata. Mengawali hari yang entah seperti apa dengan kebiasaan sederhana yang membuat senyum tetap ada disini.
Ata- dia sahabatku, separoh jiwaku- yang membuat hidupku berarti. Rumah kami bersebelahan. Tapi tak banyak yang kami lakukan di tempat yang sama- sama kami sebut sebagai rumah teduh. Hari- hari selama 8 tahun kebersamaan ini ada di dunia kedua, rumah pohon di ujung jalan komplek ini.
“Bulan....,” Dia biasa memanggilku dengan sayup- sayup suaranya yang melekat di telinga. Suaranya dan apapun itu yang ada di dirinya telah menyatu bersama jiwaku. Persahabatan ini suci. Kebersamaan yang kata orang aneh ini membuat kami merindukan kesederhanaan menyenangkan. Sahabat adalah satu jiwa dalam 2 raga. Hidupku terus melaju. Sebuah perjalanan yang mengukir kenyataan yang sebenarnya.
Mengingat masa lalu, kembali pada 8 tahun yang telah kulewati disini. Hari dimana aku merasa asing di kota yang ternyata menyenangkan ini. Dan Ata yang memberiku ruang untuk bisa lebih mengenal semuanya dengan baik.
Beberapa hari lalu....
Aku bertemu Ata di dunia kedua kami. Sebuah rumah pohon yang ada di ujung jalan komplek Wesleyan tempat kami tinggal. Tepat di bawah pohon kenari tua yang menyenangkan itu Ata menemuiku dengan sesuatu yang berbeda. Tapi tetap dengan kebiasaan yang sering kami lakukan. Banyak hal yang kulakukan bersama Ata disana. Lebih banyak duduk saling beradu punggung dan menyelami pikiran yang merangkak di otak. Merenung. Dan itu hal terindah yang membawa kami pada dunia yang lebih luas lagi. Hal terindah itu membaurkan beribu warna dalam diam.
“Bulan...kamu milih foto atau lilin kita yang di bakar?” Tiba- tiba saja Ata mengeluarkan 2 benda itu dari sakunya.
”Lilin!”
”Kenapa?”
”Foto bisa menjadi sesuatu yang sangat berharga saat semuanya hilang”
Ata tersenyum sangat tipis.
”Lilin ini belum pernah kita bakar sebelumnya. Gimana kalau malam ini?” Ata menawariku sesuatu yang aku inginkan jauh sebelum malam ini.
Tiga batang lilin kecil warna hijau. Dalam gelas sloki yang wangi. Aku ingat lilin itu kami beli saat study tour ke Bali beberapa tahun lalu. Saat kita sama- sama masih berputih abu- abu. Dan sekarang kami bukan lagi putih abu- abu yang bergejolak itu. Aku kuliah di luar kota, kota yang berlabel kota budaya dengan the spirit of Java-nya. Dan Ata tetap disini, di lembah Tidar. Dia tidak pernah memimpikan menjadi seorang sarjana.
Ata mendaftar sekolah Bintara di Semarang. Beberapa kali gagal dan akhirnya diterima. Aku igat malam itu malam terakhir dia di kota ini. Besok sore dia masuk karantina. Entah untuk berapa lama.
”Ini lilin pertama yang kita nyalakan. Lilin ini adalah dunia itu sendiri dan dunia kedua kita ini.” Aku menyalakan lilin pertamaku dengannya. Ata yang memberiku kesempatan untuk itu. Ladies first, katanya.
Kami sama- sama merenung dan tersenyum. Penerimaan sederhana yang membuat kami sama- sama mengerti apa yang terjadi. Lilin itu terus meleleh mengerdipkan sinar ciliknya. Dan habis.
”Giliranmu Ta”seruku.
Ata mengambil satu lilin untuknya. Dia mulaijenyalakan, ”lilin kedua ini untuk kehidupan yang selalu berakhir dengan kematian.”
”Maksudmu?”
“Kkehidupan sangat singkat dan sederhana. Seperti ini....” Ata menunjuk lilinnya yang mulai menyala dan perlahan meleleh,” ini mungkin tak akan habis. Angin malam terlalu kuat untuk menghempasnya.”
Ata sejenak menutup matanya. Sepeertinya dia sejenak melepaskan bebannya, tapi apa? Semua impiannya sudah terwujud, termasuk cita- cita kecilnya menjadi siswa di sekolah bintara. Kami tersenyum malam itu meski hatiku hancur. Aku pikir Ata telah mengingatkanku bahwa hidupku tak akan lama lagi. Aku tidak igin Ata tahu kalau aku ketakutan menghadapi kematianku.
Jadi ingat kata- kata yang sama- sama kami hafalkan dalam suatu film yang pernah kami lihat di bioskop MT depan alun- alun kota. Hanya ada 2 hal besar dalam hidup ini yaitu cinta dan kematian. Jika kita sudah mampu menghadapi keduanya kita tidak akan pernah takut pada apapun. Itu yang membuatku mengerti pada kepercayaan yang harus ada. Itu yang membuatku melupakan rasa sakit yang kadang- kadang menjagaku dari tidur malamku yang melelahkan.
Kami tersenyum malam itu melupakan semuanya. Tersenyum buat hari yang sudah berlalu, menertawakan matahari pagi, merenungkan tenggelamnya sore yang tertelan malam dan terlalu khawatir akan perpisahan yang tak terucapkan.
Kami sama- sama diam. Mungkin Ata berpikir hal yang sama denganku, menginginkan kebersamaan yang selama ini menghiasi hari- hari kami, tapi tetap diam.
Purnama di langit malam sudah meninggi dan lilin Ata mati beberapa detik yang lalu. Aku memikirkan hal aneh yang selama ini belum pernah kupikirkan. Baru kali ini aku takut kehilangannya, kebersamaan dengannya.
”Bulan...benar kan lilinku cepat mati meski aku berharap bisa lebih lama lagi,”
Aku hanya diam, seperti beberapa detik sebelumnya. Malam terus melaju, Ata membimbingku ke rumah pohon, dunia kedua kami.
”lilin ini buat kamu. Kamu akan terus disini. Ini lilin harapan,”katanya.
Ata memintaku buat menyalakan lilin itu saat aku punya harapan, meski lebih tepatnya saat aku ga ada dengannya lagi. Ata akan mati sebelumku. Dia meyakinkanku. Lebih dari apa yang pernah dia lakukan sebelumnya. Dan kami yakin hidup ga akan berhenti disini.
Anyway...
Fajar tiba. Kusambut matahari meski tak secerah sebelumnya. Lembah Paku Jawaku tersenyum dalam suatu yang tak kutahu. . Hari ini Ata berangkat pendidikan. Untuk beberapa bulan ke depan dia masuk karantina dan aku harus mengantarnya. Separoh hari kulalui, tapi Ata belum menemuiku. Bahkan sampai senja jendela kamarnya yang bersebelahan dengan kamarku masih membisu. Ada keheningan disana. Sepi.
Aku kehilangan matahariku tanpa apapun yang aku lakukan disini. Aku juga kehilangan matahari yang ada diseberang jendelaku. Ata pergi tanpa pamit. Dia tidak menganggapku ada. Aku benar-benar kehilangan matahari yang membuatku berarti. Dan aku mengawali malam bekuku di lembah Paku Jawa dengan aira mata.
Belum habis rona merah di langit barat kotaku saat sakitku kambuh.Aku terlelap dalam kenyataan yang membuatku rapuh. Aku disini bersama sakitku yang menyedihkan tanpa Ata yang menguatkanku.
”Ata kecelakaan!” Ibu memberitahuku.
Malam itu kunyalakan lilin ketigaku. Lilin harapan, kata Ata.Aku menyalakannya dengan air mata. Aku menangis dengan kesendirian yang aku punya.Ata meninggal dalam kecelakaan yang membuat tubuhnya terkoyak.
Matahariku tenggelam sebelum dia membinarkan sinarnya. Cita-cita kecilnya memang menjadi seorang siswa di sekolah Bintara. Dia memang mendapatkannya, tapi tidak lebih sebagai calon siswa yang belum mengikuti jalan di dalamnya.
Kutatap lilin ketiga yang terus meleleh. Ata memang menepati janjinya untuk mati sebelumku. Dia mati sebelum sakit menenggelamkan hidupku. Aku menyesali kematiannya, tapi sebelum itu Tuhan datang menggapaiku. Dia membuatku bertahan. Dia mengajarkan semua kebaikan yang Dia punya.
Malam itu juga kuantarkan matahariku menyambut hari-harinya yang abadi. Ata terbujur kaku meninggalkan satu senyuman yang membuatku tahu hidup ga berhenti disini. Dia memberiku 3 dunia yang membuat kami bertahan disini. Dengan kesederhanaan yang kami miliki.
Tanah merah melindunginya dalam kebekuan yang ada. Aku menunggunya dan kami sama-sama menunggu matahari esok hari. Aku yakin Ata tahu aku masih menganggapnya ada-sebagai apapun- dan Ata memang ada dalam hidupku selanjutnya.
Aku tahu tak ada ketakutan yang akan membuatku rapuh. Aku yakin masih akan ada matahari-matahari lain yang akan menyinari ketiga duniaku di lembah Paku Jawa ini.
Persahabatan yang kujalani sangat sederhana. Menjalani kehidupan di komplek Wesleyan yang sama-sama kami tempati. Dia memang meninggalkanku, tapi aku tahu sebentar lagi aku juga akan pergi karna sakitku. Dia menungguku di lembah surga yang kupikir jauh lebih indah dari lembah Paku Jawa yang selama ini kami banggakan.
Penulis adalah anggota LPM VISI FISIP UNS
dan seorang yang mengagumi militer
0 Komentar