Oleh: Haris Firdaus
Di Kopenhagen, Denmark, ada suatu masa ketika kerja media massa tidak dimulai dari sebuah sikap ingin tahu. Di kota itu, sekitar tahun 1840-an, kerja sebuah media dimulai dengan sebuah kebencian dan berakhir dengan berita skandal yang mencemooh.
Syahdan, di tahun-tahun itu, terdapat sebuah majalah mingguan bernama Corsair yang dengan menggebu terus-menerus memuat berita skandal. Hampir semua tokoh di Kopenhagen telah jadi sasaran cemooh dari majalah tersebut.
Anehnya, berkala itu segera saja berkembang pesat. Selama lima tahun awal penerbitannya, Corsair yang dipimpin Meyer Goldschmidt itu menjadi majalah yang paling luas penyebarannya di seluruh pelosok Denmark.
Soren Aabye Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis terkemuka dari Denmark, semasa hidupnya pernah punya pengalaman buruk dengan Corsair. Kierkegaard yang awalnya mendapat pujian dari majalah itu, pada satu waktu mengatakan bahwa dirinya lebih suka mendapat cemooh dari mingguan itu. Mendengar keinginan Kierkegaard, Corsair pun mengabulkannya.
Kierkegaard kemudian jadi salah satu tokoh Kopenhagen yang selalu dicemooh. Selama delapan bulan berturut-turut Corsair terus-menerus menyerang Kierkegarard dengan tulisan maupun karikatur mereka. Secara dramatis, berkala lain pun kemudian ikut terpancing untuk turut serta dalam aksi penyerangan tersebut.
Pada titik paling ekstrem, Kierkegaard merasa bahwa ia tak mungkin lagi memerbaiki opini umum tentang dirinya. Ia beranggapan tak bakal bisa tampil di hadapan umum kecuali dalam citra sebagai korban cemoohan Corsair. Meski begitu, Kierkegaard diam dan hanya sekali saja menulis bantahan.
Tapi di luar sikapnya secara pribadi, ia kemudian mengembangkan sebuah pemikiran yang menganggap pers dan media adalah sebuah “demoralisasi”. Pers baginya adalah sebuah mesin pembentuk pendapat umum yang meniadakan pendapat individu sebagai pribadi yang berdaulat.
Dalam sebuah karyanya, Kierkegaard memeringatkan tentang sebuah jaman yang cenderung menyamaratakan manusia. Ketika jaman itu tiba, manusia sebagai individu akan mengalami kehancuran, digantikan oleh manusia sebagai bagian dari massa yang anonim.
Pada masa itu, masifikasi dan kolektivisme menjadi hantu-hantu beterbangan yang akan memusnahkan ketunggalan eksistensi manusia. Kesejatian individu tercerabut, digantikan oleh identitas kolektif yang sebenarnya tak menyentuh eksistensi manusia sebagai pribadi.
Sebagai seorang eksistensialis, Kierkegaard beranggapan bahwa individu seharusnya menjadi pribadi yang bebas dan independen. Pada titik tertentu, filsuf itu menolak bersatunya individu ke dalam sebuah kelompok bila persatuan itu terjadi hanya lantaran individu tersebut gagal tampil dengan kesejatiannya dan dengan tanggung jawabnya sendiri.
Bersatunya individu ke dalam sebuah kelompok, baik nyata maupun “imajiner”, hanya bisa diterima jika penggabungan itu bukan merupakan sebuah pelarian atas tanggung jawab manusia untuk menemukan eksistensinya yang sejati, dan jika penggabungan itu tak serta merta menghilangkan eksistensi manusia sebagai individu.
Di sinilah Kierkegaard berkeberatan dengan pers atau media massa. Baginya, pers hanya akan menyatukan individu ke dalam sebuah “abstraksi” yang menghilangkan eksistensinya secara individual. Pers akan menjadikan individu sebagai kumpulan yang anonim, tanpa identitas yang sejati.
Di jaman ini, kita bisa melihat sebagian argumen Kierkegaard menjadi nyata. Cuma, kita juga melihat bahwa sebagian yang lain ternyata tak sepenuhnya benar. Benar bahwa pers punya kemampuan untuk memengaruhi manusia sebagai individu, tapi individu pun punya sikap yang tak serta merta bisa didekte. Pendeknya, media massa dan individu, selalu ada dalam tarikan yang tak simpel untuk dilukiskan.
Selain itu, pesimisme Kierkegaard terhadap pers juga tak selamanya tepat. Setidaknya, kalau kita mengingat Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, pesimisme itu tak akan menjadi-jadi.
Dalam “The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and The Public Expect”, kedua wartawan itu justru menegaskan sesuatu yang sepenuhnya berkebalikan dengan Kierkegaard: media massa—melalui jurnalisme—punya peluang untuk membebaskan warga masyarakat sebagai individu.
Tujuan utama jurnalisme, kata Kovach dan Rosenstiel, adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri sendiri.
Tepat di sinilah perpisahan jalan keduanya dengan Kierkegaard.
Kalau Kierkegaard memandang pers akan selamanya mengekang individu, Kovach dan Rosenstiel justru beranggapan bahwa pers bisa dan memang seharusnya membebaskan individu dalam menentukan pilihan-pilihannya sendiri dalam rangka proses pengaturan hidupnya.
Saya kira, itulah kenapa jurnalisme berbeda dengan khotbah. Jurnalisme, kata Goenawan Mohammad, tidak bermula dan berakhir dengan sebuah berita. Sikap ingin tahu justru menjadi awal sekaligus dasarnya, seperti sebuah batu pertama yang berlanjut dengan fondasi sebuah lorong.
Bagi Goenawan, setelah fondasi itu rampung, maka jurnalisme—melalui wartawan tentu saja—harus menempuhnya, dalam keadaan ruwet dan licin, serta membutuhkan kecerdikan dan ketrampilan tertentu.
Tapi, bukan hanya itu: jurnalisme juga membutuhkan semacam kesediaan dan kemampun dari praktisinya untuk menjadi polisi lalu-lintas, jaksa, dan hakim bagi dirinya sendiri yang awas terhadap tiap bentuk pelanggaran. Jadi, terdakwa pertama dalam jurnalisme bukan orang lain, tapi diri kita sendiri.
Di sinilah pentingnya sebuah sikap rendah hati: semacam kesadaran dari seorang reporter bahwa dirinya memang hanya seorang “pelapor”, dan bukan seorang penceramah yang sedang menasehati masyarakat, juga bukan ilmuwan yang sudah meneliti obyeknya dengan seksama. Seorang reporter adalah seorang terdakwa bagi dan oleh dirinya sendiri.
Saya rasa, jurnalisme yang rendah hati akan menghindarkan pers dari kecenderungan melakukan “demoralisasi”. Jurnalisme yang rendah hati bukan menggiring individu pada sebuah sikap yang seragam tapi memberi pilihan-pilihan pada mereka untuk mengambil sikap secara mandiri.
Sukoharjo, 1 April 2008
0 Komentar