Tanggal 30 Oktober 2008 silam, bagi sebagian kelompok masyarakat merupakan klimaks perjuangan mereka dalam mendukung diratifikasikannya UU Pornografi, meskipun sempat diwarnai aksi walk out oleh beberapa wakil rakyat yang menolaknya. Harapan mereka, dengan hadirnya UU Pornografi mampu menjadi benteng ekses negatif pergeseran norma kesusilaan yang semakin menjadi-jadi di tengah gerusan kapitalisme global. UU Pornografi juga sebagai instrumen untuk melindungi kaum perempuan dan anak-anak dari eksploitasi seksual.
Tetapi di sisi lain, dengan disahkannya UU Pornografi ini, kontroversi dari berbagai LSM feminisme dan kelompok lain tetap teguh menolak pengesahan DPR tersebut. Masyarakat Bali contohnya, mereka terus menolak UU Pornografi dan merencanakan pengajuan peninjauan kembali (PK). Menurut perspektif mereka, UU ini bersikap diskriminatif dan multiinterpretasi.
Konkretnya, pada Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum pada UU Pornografi menyebutkan, pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. Definisi ini, menunjukkan longgarnya batasan "materi seksualitas" dan menganggap karya manusia, seperti syair dan tarian (gerak tubuh) di muka umum, sebagai pornografi. Kalimat membangkitkan hasrat seksual atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat bersifat relatif dan berbeda di setiap ruang, waktu, maupun latar belakang.
Untuk menyikapi perseteruan ini, hendaklah kita sebagai civitas akademika mampu menempatkan diri dengan baik. Masing-masing pihak memiliki asumsi yang kuat demi kemaslahatan bersama juga. Sekarang, yang harus kita lakukan bukannya mengikuti arus tetapi tanpa pemaknaan. Hendaknya kita mengambil sisi positif dari kedua pihak. Di satu sisi, mulailah dari sekarang kita memelihara moral dan norma kesusilaan agar tak terseret hukum. Di sisi lain, adat istiadat yang sebelumnya terancam diboikot akibat adanya UU Pornografi, sebenarnya dapat terus kita pertahankan eksistensinya meskipun akan mengalami distorsi demi melestarikan nilai orisinalitasnya.
Opini Civitas Akademika:
Heni Widyastuti, Mahasiswi FISIP UNS
“Setuju dengan diratifikasikannya UU Pornografi. Sekarang kan banyak anak-anak kecil yang mudah mengakses gambar-gambar yang tidak pantas dilihat anak seusia mereka. Hal ini telah berlangsung dan akan terus berlangsung menggerogoti moral generasi muda. Solusinya, dibutuhkan sarana untuk menjaga agar moral bangsa terjaga, salah satunya dengan UU Pornografi ini. Namun, banyak yang menolak disahkannya UU ini dengan alasan multitafsir. Sebaiknya, makna pornografi lebih dirinci sejelas-jelasnya untuk tiap-tiap pasal.”
Asiska Riviyastuti, Aktivis Dewan Mahasiswa FISIP UNS
“ Seharusnya pihak DPR lebih bijak. DPR merupakan wakil rakyat jadi DPR harus mendengarkan dan mempertimbangkan suara rakyat. Kalau masyarakat masih ada yang kontra mengenai suatu hal yang akan ditetapkan oleh DPR, seharusnya jangan langsung ditetapkan dan disahkan. Tetapi, dengar dulu pendapat yang kontra, diajak berdialog dengan masyarakat yang kontra, diberi pemahaman atau mencari jalan tengah agar tidak terjadi suatu permasalahan di belakangnya kelak.”
Ivan Andi Muhtarom, Aktivis KAMMI
”Saya sepakat dengan pengesahan UU Pornografi, karena hal itu menurut dapat menjaga moral bangsa Indonesia. Walaupun banyak pro dan kontra, tetapi seharusnya keputusan tersebut tetap dapat dijalankan sesuai prosedur yang berlaku.”
Pramanti Putri
0 Komentar