Oleh Adinda Nusantari
Secara konstitusional, sistem pemerintahan di Indonesia adalah presidensial. Namun, sistem yang dijalankan saat ini agaknya masih belum sesuai dengan apa yang tertuang dalam konstitusi. Ada posisi yang saling overlapping antara presidensial dan parlementer.
Hal ini barangkali tidak dapat dilepaskan dari sejarah bangsa ini. Dalam perjalanannya, sistem politik Indonesia mengalami beberapa kali pergantian model sistem politik. Antara presidensial dan parlementer. Kekacauan yang pernah timbul akibat kelemahan kedua sistem tersebut tampaknya memunculkan trauma tersendiri bagi bangsa ini. Hingga akhirnya tidak pernah tegas untuk memilih sistem mana yang dijalankan.
Ketika negara ini menganut sistem parlementer di tahun 1950-an, terjadi kekacauan sistem dengan maraknya politik “dagang sapi”. Kala itu Indonesia berganti-ganti pemerintahan. Dari satu pemerintahan perdana menteri ke perdana menteri yang lain.
Pun begitu dengan sistem kendali presiden. Kekuasaan presiden menjadi begitu besar, sampai-sampai menyerupai diktator. Alhasil, meski dalam konstitusi jelas diamanatkan bahwa sistem yang dianut adalah presidensial, namun selalu ada usaha untuk membatasi kekuasaan presiden. Akhirnya, parlemen seakan menjadi pihak oposan bagi presiden. Dan seolah-olah presiden tidak memiliki kuasa di hadapan parlemen.
Padahal dalam sebuah sistem presidensial, presiden memiliki kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahan. Oleh karena itu, seorang presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen sebagaimana dalam sistem parlementer. Di mana dalam sebuah sistem parlementer berlaku adanya moshi tidak percaya dan di sana parpol memegang peranan yang kuat.
Dalam konstruksi presidensialisme peranan parpol tidak sekuat seperti dalam sistem parlementer, sehingga memungkinkan adanya pencalonan kandidat presiden independen. Tradisi capres independen salah satunya ditemukan dalam presidensialisme di Amerika Serikat. Munculnya kandidat di luar parpol dominan - Partai Republik dan Partai Demokrat - pernah terjadi pada masa Presiden Roosevelt tahun 1912, John B Anderson tahun 1980, dan Ross Perot tahun 1992 yang popularitasnya sempat menyaingi kandidat Partai Demokrat Bill Clinton.
Di Indonesia, logika pemerintahan tersebut (antara parlementer dan presidensial) masih tumpang tindih penerapannya dalam sistem politik. Presidensialisme yang diamanatkan konstitusi masih sangat lemah, karena dalam praktiknya tidak jarang justru lebih menonjol seperti parlementarisme. Di sana, suara presiden seringkali kalah oleh parlemen.
Padahal, presiden itu adalah presiden terpilih yang didukung oleh parpol besar. Tapi kenyataannya, ketika memimpin ia seringkali tidak mendapat dukungan dari parpol yang lain. Kebijakan presiden sangat sulit mendapat dukungan politik di parlemen ketika harus bekerjasama dengan lembaga legislatif.
Jika nantinya ada capres independen, bagaimana mereka akan mendapat dukungan parlemen setelah terpilih? Tentu saja akan jauh lebih sulit untuk mendapat dukungan parlemen. Bahkan, bukan tidak mungkin presiden independen akan menjadi bulan-bulanan ketika harus berhadapan dengan parlemen. Meski sebenarnya dalam logika presidensialisme hal ini tidak dibenarkan. Namun, prakteknya itulah yang terjadi di Indonesia.
Sehingga, penguatan sistem presidensial di Indonesia menjadi semacam prasyarat sebelum melangkah lebih jauh dengan membuka peluang bagi capres independen. Tetapi agaknya para “pejuang” capres independen lebih senang langsung memperjuangkannya tanpa prasyarat tersebut.
Saat ini keberadaan capres independen diperjuangkan dengan melakukan uji materiil (judicial review ) UU No. 23/2003. Undang-undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dianggap penghalang bagi warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden dari jalur independen. Khususnya pasal 1 ayat (6), pasal 5 ayat (1), dan pasal 5 ayat (4), - yang menutup kemungkinan pasangan capres dan cawapres independen - dianggap telah melanggar UUD 1945 pasal 6A ayat (2).
Di tengah pembahasan tersebut, parpol mulai menyatakan ketidaksetujuannya dengan capres independen. Memang belum semua parpol, tetapi setidaknya telah ada tiga parpol besar seperti Golkar, PPP, dan PAN yang lantang menolak. Dan, setidaknya ketiga parpol ini memiliki pengaruh yang besar untuk menghambat laju capres independen.
Penolakan tersebut mengacu pada Pasal 6 UUD 1945. Pasal itu mengharuskan capres melalui parpol. Selain itu, ada anggapan bahwa capres independen tidak mau bersusah payah untuk bersaing dalam Pemilu lantaran tidak perlu bergabung dengan parpol tertentu.
Dengan beragam alasan tersebut, agaknya capres independen menemui jalan yang terjal dalam perjuangannya. Bahkan ketika nanti disahkan, capres independen tetap saja akan menemui masalah dalam posisinya dengan parlemen. Selama landasan presidensialisme belum cukup tegas untuk menjamin kelangsungan “kehidupan” presiden.
0 Komentar