Oleh: Rhesa Zuhriya B. P.
Segala sesuatu tidak akan didapat dengan begitu mudahnya tanpa adanya kekuasaan dan kewenangan. Kekuasaan dalam konteksnya mampu memberikan sebuah keleluasaan yang penuh dalam mengembangkan kemauan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Terlebih lagi, apabila hal ini berkutat dalam bidang politik yang notabene sangat berkaitan erat dengan apa yang disebut kekuasaan.
Terkait dengan gejala di atas, politik bukan hanya menciptakan tokoh-tokoh yang memiliki kekuasaan dan kewenangan, tetapi juga menawarkan adanya kelebihan yang memang lebih menjanjikan guna menjamin kehidupan yang lebih baik bagi pelakunya—tak terkecuali adanya kelebihan dalam bidang ekonomi atau finansial. Terlepas dari hal itu, tentunya penawaran ini bukan hanya menjadi suatu hal yang tidak mungkin untuk dicapai, tetapi justru memicu adanya persaingan yang dilancarkan dalam mencapai keinginan tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan guna mencapai penawaran ini adalah dengan menjadi sosok ataupun figur dalam dunia politik yang mampu mengumpulkan berbagai dukungan dan simpati dari rakyat. Untuk itu, diperlukan pula metode, instrumen, maupun strategi dalam menampilkan dan memperjuangkan idealisme serta prinsip yang dianut, yaitu kampanye.
Berbicara tentang istilah kampanye, tentunya kita akan disuguhkan dengan berbagai macam sajian dan penawaran terkait dengan segala sesuatu yang memperjuangkan kelebihan. Terlebih terjadi pada apa yang kita ketahui sebagai kampanye politik. Baik kampanye partai politik (parpol), kampanye capres-cawapres, maupun pada kampanye pemilihan walikota. Namun, apakah kampanye-kampanye ini memang digunakan dengan maksud untuk memperjuangkan apa yang lebih dan baik untuk diperjuangkan?
Dalam konteks ini, haruslah diperhatikan mengenai apa yang disebut dengan sesuatu yang harus diperjuangkan dalam kampanye. Entah apa yang disebut dengan sesuatu yang harus diperjuangkan itu bersifat prinsipiil ataukah hanya sekedar keinginan belaka guna menarik dukungan dan simpati publik. Tak dapat dipungkiri bahwa kampanye merupakan suatu instrumen yang tak akan lepas dari adanya persuasi politik dan kekuasaan. Faktanya, hal ini membaur pula dengan adanya advertensi yang cenderung manipulatif—selayaknya iklan atau pariwara komersial.
Merujuk pada tujuan umum kampanye politik adalah menampilkan serta mempromosikan tentang apa yang dianggap menjadi kelebihan dari masing-masing subjek kampanye agar mendapat simpati dari pemilih. Tentunya hal ini ditampilkan dengan kemasan sedemikian rupa guna menarik serta meyakinkan khalayak pemilih untuk dapat memberikan suaranya dalam pemilihan. Selain itu, kampanye dapat pula dikatakan sebagai upaya ataupun usaha yang terorganisir guna mempengaruhi proses pengambilan keputusan bagi pemilih dalam menentukan pilihan maupun suaranya dalam pemilihan. Menggarisbawahi adanya kemasan sedemikian rupa dalam penyampaian kampanye, tentunya dapat disimpulkan bahwa kampanye memang serupa dengan iklan komersial yang dapat membius masyarakat dalam waktu sekejap. Akan tetapi, perlu ditekankan pula bahwa secara esensial, kampanye—melalui iklan politik—lebih bersifat mendasar daripada iklan komersial. Perlu diketahui bahwa tokoh dan lembaga politik—yang menjadi subjek dan komoditas politik—akan bertugas dalam menerima serta menyalurkan berbagai aspirasi dan kritikan dari rakyat. Dengan kata lain, komoditas politik ini secara langsung akan berhubungan dengan rakyat dan segala permasalahannya. Untuk itu, tentunya kekuasaan serta kewenangan yang diharapkan dimiliki oleh tokoh dan lembaga politik (melalui kampanye dalam iklan politik) akan sangat menentukan masa depan bangsa.
Tak terlepas dari hal tersebut di atas, apakah dalam praktiknya sudah dapat berjalan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas. Katakanlah segala yang tidak mungkin, tentunya menjadi mungkin melalui iklan politik yang memikat. Mulai dari menampilkan berbagai kelebihan figur yang diinginkan, menggoda dengan segala idealisme yang ditawarkan, bahkan sampai menggiring persepsi masing-masing individu dalam menciptakan sosok pemimpin yang berkarisma. Sekali lagi tak dapat dipungkiri bahwa kampanye yang dilakukan melalui iklan politik sangat menentukan berhasil tidaknya misi politik yang diperjuangkan. Tanpa mengurangi esensi dan substansi dari makna kampanye itu sendiri, tentunya publik sebagai objek dari kampanye harus mampu menyerapnya dengan baik. Adanya iklan politik dapat menjadi sarana terbaik dalam membentuk pandangan masyarakat, baik secara pro dalam mendukung subjek politik yang ditampilkan, maupun menjadi oposisi dan melemahkan subjek politik lainnya.
Fenomena ini bukan hanya sekedar selingan bagi masyarakat yang cenderung hanya menerima sosok pemimpin yang diidamkan apa adanya. Tentunya, gejala ini harus dapat diminimalisir dengan adanya pengetahuan yang lebih bagi masyarakat guna memperoleh tokoh yang baik luar dalam. Bukan terletak dari adanya persuasi yang menjanjikan, tetapi lebih pada adanya pertimbangan dan pandangan menyeluruh mengenai apa yang memang benar untuk diterapkan. Bukan hanya sekedar menerima dan berkata “ya” pada persuasi golongan berkepentingan yang cenderung dominan, tetapi justru harus lebih bersikap kritis pada apa yang disampaikan dengan adanya pemfilteran yang telah disesuaikan dengan segala idealisme terkait realitas kehidupan. Melalui upaya ini, masyarakat pun akan lebih terbiasa dalam bersikap kritis dan realistis dalam menanggapi segala bentuk pengaruh.
Di samping itu, bukan berarti para pelaku kampanye dalam iklan politik ini dapat dengan leluasa menyerang melalui segala celah yang memungkinkann. Bukan berarti pula masyarakat akan dengan diam dan menunggu adanya perubahan. Terkait dengan berbagai macam revolusi yang berujung pada munculnya reformasi, hal tersebut dapat dijadikan bukti tentang adanya kritisasi dari rakyat—khususnya mahasiswa. Untuk itu, sebagai agent of change, rakyat (terutama mahasiswa) pun harus mampu melahirkan adanya semangat perubahan sebagai wujud dari kontrol sosial yang mengawasi kekuasaan pemerintah—terutama dalam memperjuangkan aspirasi dan kritisasi sehubungan dengan realitas idealisme yang telah ditawarkan.
REFERENSI
Anonim. 2008. Iklan Politik dan Nasib Suatu Bangsa. www.kompas.com. Diakses tanggal 18 Maret 2008
0 Komentar