Oleh
Dyah Ayu Mawarny
Dok. Internet |
Judul : Cek Miranda dan
Korban-korbannya
Penulis : Baharuddin Aritonang
Halaman : viii + 250
Penerbit : Pustaka Pergaulan, Jakarta
Melalui buku “Cek Miranda dan korban-korbannya”, Baharuddin Aritonang memaparkan kisah yang sebenarnya terjadi di
balik semua berita yang menyeretnya ke
penjara Salemba menurut versinya. Beliau pun juga mengungkap berbagai kebusukan
yang dilakukan oleh DPR, BPK, KPK, Pengadilan Tipikor, dan sebagainya.
Inti cerita pada bagian awal buku tersebut adalah pendiriannya
yang tidak pernah mengakui menerima Cek Miranda sepersen pun. Beliau menyampaikan
bahwa kasus tersebut tidak adil karena hanya berdasarkan laporan dan pengakuan
dari Hamka Yamdhu, eks anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Golkar yang termasuk
orang-orang DPR yang pertama yang dicokok oleh KPK dalam kasus Cek Miranda.
Yang pertama adalah soal perkenalan dengan Nunun
Nurbaeti, istri eks wakil kepala Polri itu yang juga menjadi terdakwa dalam
kasus yang tersebut juga. Sejak awal Hamka mengaku datang ke kantor Nunun, di
Jalan Riau 17, Menteng, Jakarta Pusat untuk
mengambil ‘titipan’ dari Nunun karena diajak oleh Alm. Azhar Muclis pada
tanggal 8 Juni 2004, yang berarti tepat sehari setelah Miranda dipilih sebagai
Deputi Gubernur Senior BI. Namun Ahmad Hakim Safari MJ alias Arie Malangyudo
menjelaskan, Hamka datang ke kantor Nunun tanggal 7 Juni 2004, sehari sebelum dilakukan
pemilihan terhadap Miranda tersebut. Kemudian sehari setelah itu, yaitu pada
tanggal 8 Juni 2004, Hamka datang lagi untuk mengambil amplop cokelat bertanda
kuning. Berdasarkan kesaksian Arie itu, Hamka datang mengambil ‘titipan’ Nunun datang
sendiri, bukan diajak oleh Alm. Azhar.
Lalu yang kedua mengenai persoalan rapat Fraksi
Golkar. Di BAP, Hamka selalu menyebutkan ada rapat-rapat fraksi komisi atau
rapat-rapat yang melibatkan para ahli yang membahas dan menyepakati untuk
memilih Miranda. Di daftar rapat itu antara lain tercantum nama Baharuddin
sebagai salah satu peserta. Namun Baharuddin mengatakan bahwa pengakuan Hamka
itu hanya dibuat-buat. Bukan saja rapat-rapat yang disebut Hamka tidak pernah
ada melainkan tanggal rapat yang di dalamnya tercantum nama Baharuddin, telah
dihapus oleh Hamka. Artinya, Hamka telah menyodorkan bukti daftar rapat fraksi
yang lain, yang dianggap seolah-olah adalah rapat fraksi untuk membahas
pemilihan Miranda.
Dan yang ketiga soal jumlah pembagian cek. Pada
tanggal 31 Agustus 2009 di BAP, Hamka mengaku Baharuddin menerima 10 lembar Cek
Miranda darinya. Pengakuan tersebut diulangi lagi di BAP 11 Oktober 2010. Di
kedua BAP itu Hamka menerangkan bahwa penyerahan 10 lembar Cek Miranda senilai
Rp 500 juta ke Baharuddin jumlahnya sama dengan yang dia terima. Bedanya, di
BAP pertama, Hamka mengaku Baharuddin yang mengambil cek itu ke ruangan kerja
Hamka.
Di BAP kedua, dia mengaku mengantarkan cek itu ke
ruang kerja Baharuddin. Banyak terjadi pernyataan yang tidak sinkron satu sama
lain. Namun pada kenyataannya, Baharuddin mengatakan bahwa pada tanggal 9 Juni
2004, dia tengah mengikuti rapat PAH I Badan Pekerja MPR yang membahas
hasil-hasil Komisi Konstitusi. Baharuddin pun mengatakan adanya saksi, yaitu
Amidhan, yang juga ikut rapat. Baharuddin berpendapat bisa saja timbul
kecurigaan yang mana bisa saja orang berpikir kalau dia mengutus orang lain
untuk mengambil cek tersebut dari Hamka, tapi dia bersumpah demi Allah tidak
menerima Cek Miranda. Dia bahkan menyetujui usul pengacaranya, agar menantang
majelis hakim melakukan sumpah pocong atau melakukan mubahalah untuk membuktikan, dia atau Hamka yang berbohong.
Buku ini menarik untuk dibaca, kita dapat merasakan
emosi dari penulis yang dituangkan melalui kisahnya yang merasa tidak adil.
Dari buku ini kita dapat memetik pelajaran bahwa uang dapat membutakan
segalanya dan membuat orang-orang menjadi lupa diri dan memaksakan suatu
keadaan tertentu.
0 Komentar