Dok.VISI |
Oleh: Arina
Rohmatul H –
Ilmu Komunikasi FISIP UNS 2012
Kupersembahkan untukmu paman, seorang paman terbaik yang pernah
kumiliki. Selamat jalan dan selamat tinggal.
Semoga engkau selalu ada
dalam rahmat serta lindungan-Nya
Ketika itu, hujan turun dengan
derasnya. Malam rebah, dengan udaranya yang dingin membuat suasana pada saat
itu begitu menggelisahkan. Pamanku terbaring tak berdaya di atas ranjang tua.
Dengan gemericik air yang jatuh, semakin menambah kepedihan saat melihat
keadaannya yang seperti itu. Kondisi yang rapuh, lemah, dan tidak bisa berbuat
apa-apa. Hanya bisa mengandalkan bantuan dari orang lain terutama istrinya yang
begitu setia menemani serta merawatnya.
Sebelumnya, semua berjalan baik
seperti sediakala. Semua duka itu bermula tepat pada bulan Januari 2012. Pada
akhir Januari, tubuhnya sering lemas dan pusing. Akhirnya, karena sudah tak
tertahankan lagi, dia memutuskan untuk memeriksakan dirinya ke rumah sakit. Setelah
diperiksa, ternyata trombositnya turun menjadi sangat rendah. Dan karena itu,
untuk sementara waktu dia harus menginap di rumah sakit.
Kejadian seperti itu tidaklah
terjadi satu atau dua kali saja, tapi bahkan berkali-kali. Dan puncaknya adalah
waktu malam hari tanggal 3 April 2012. Paman mengeluarkan begitu banyak darah dan
semua orang panik melihat kondisi paman yang seperti itu. Awalnya memang tidak
ada yang tahu, kenapa keadaan paman menjadi lebih parah. Namun ternyata setelah
menjalani beberapa kali pemeriksaan bahkan harus dilakukan BMA[1],
maka baru diketahui bahwa dia telah menderita penyakit Anemia Aplastic[2].
Tentunya bisa dibayangkan bagaimana
kondisi seseorang yang sel darah merahnya tidak mau berproduksi lagi. Ibarat
kata, mereka seperti “mayat hidup” yang tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka hanya
bisa menggantungkan hidupnya pada beberapa kantong trombosit, yang berfungsi
sebagai “nyawa” mereka sendiri. Itulah yang juga dirasakan oleh pamanku. Tidak
ada yang bisa dilakukannya saat itu. Tubuhnya yang dulu tegap dan terlihat begitu
sehat, kini sudah tak bisa dijumpai lagi. Yang terlihat justru tubuh kurus,
wajah pucat, dan mata sendu. Dia hanya bisa pasrah dengan keadaan yang ada.
“Kenapa aku dikasih cobaan seperti
ini ya, Nduk? Kenapa jalanku seperti ini? Apa ada yang salah dengan diriku?” ucapnya
lirih pada ibuku.
Dengan berusaha menahan air matanya,
ibuku berusaha menghibur kakak yang sangat disayanginya itu.
“Sudahlah Mas Awing, kamu pasti bisa
melewati ini semua. Yakinlah bahwa Tuhan tidak tidur. Tuhan selalu melihat kita
dan selalu bisa memahami apa yang kita rasakan. Terkadang, semuanya harus
berproses bila kita menginginkan makna yang sesungguhnya dalam hidup ini.”
Berbagai cara pun telah dilakukan. Mulai
dari berobat ke dokter di salah satu rumah sakit swasta hingga berobat ke tiyang
sepuh pun juga tak ketinggalan. Namun hasilnya apa? Hasilnya nihil. Semuanya
masih belum bisa menunjukkan perkembangan yang berarti bagi kondisi paman.
Ketika
putus asa terus menggelayuti, ketika harapan pergi entah kemana, dan ketika
keikhlasan hanya satu-satunya jalan yang bisa diandalkan, sebuah uluran
cinta-Nya datang menyapa.
Salah satu saudara mengatakan bahwa
ada seseorang yang memiliki penyakit sama dengan paman. Dia berobat ke salah
satu rumah sakit yang ada di Kota Malang, dan kondisinya dapat membaik. Maka
tanpa pikir panjang, seketika itu juga paman langsung dibawa kesana untuk
diperiksa sekaligus dicarikan solusi terbaik apakah yang harus dilakukan.
Tak bisa mengungkapkan apa yang
dirasakan waktu itu, karena setelah menjalani perawatan di rumah sakit tersebut
selama beberapa hari, keadaan paman mulai membaik. Trombositnya tidak cepat
turun, dan sedikit demi sedikit sel darah merahnya mulai bisa untuk berproduksi
kembali.
Harapan
sudah tumbuh begitu suburnya, dan keputusasaan sudah ditinggalkan jauh di
belakang. Semua terasa bahagia dan begitu menenangkan. Hanya satu harapan saat
itu, semoga saja kebahagiaan yang belum tahu ujungnya ini akan seterusnya
seperti ini dan tidak berubah. Ya... semoga.
***
Hidup dan
mati memang menjadi takdir-Nya, siapa sangka awal sebuah kepedihan harus
dimulai dulu dengan sebuah harapan dan kebahagiaan. Terkadang kita berpikir
bahwa kepedihanlah yang akan membuahkan sebuah kebahagiaan, tapi kali ini,
sepertinya itu tidaklah sama. Semua memang benar-benar tidak terpikirkan, dan
hanya bisa menerima apa yang sudah digariskan.
Dengan kondisi yang terus menerus
membaik, paman mulai berani untuk melakukan aktivitas walau hanya yang
ringan-ringan saja. Wajahnya sudah tidak sepucat dulu, dan juga, tubuhnya sudah
terlihat lebih segar daripada sebelumnya.
Waktu itu, aku masih ingat jelas
ketika ada acara ulang tahun di sekolahku, dan salah satu untuk memeriahkannya
diadakanlah acara jalan sehat. Paman juga menjadi guru matematika disana,
ditambah lagi dengan sudah merasa sehat daripada sebelumnya akhirnya memutuskan
untuk mengikuti kegiatan tersebut, meski hanya mengikuti acara waktu pembagian doorprize
saja.
Ternyata dalam acara pembagian doorprize
tersebut, pamanku beruntung bisa mendapatkan hadiah. Tidak hanya satu, tapi dua.
Handukdan payung. Pamanku tidak menyangka kalau dia akan mendapatkan
hadiah-hadiah itu. Tapi yang jelas, saat itu dia menemukan kembali
kebahagiaannya yang sempat hilang beberapa waktu lalu.
Kebahagiaan
sementara, terkadang tidak bisa diduga kapan akan berakhir. Kebahagiaan yang
mendalam, seakan justru itulah yang akan mengantarkan pada duka yang mendalam
pula. Paman, setidaknya kamu sudah bisa merasakan kebahagiaan itu walau hanya
sebentar. Melihatmu bahagia, melihatmu tersenyum, sudah cukup bagiku untuk
menghapus semua kepedihan yang kurasakan ketika melihatmu terbaring kesakitan.
***
Tanggal 27 Mei 2012 pukul 19.00 WIB.
Aku tidak tahu apa yang harus aku
katakan waktu itu. Aku tidak menyangka kalau ternyata kebahagiaan yang hanya
sebentar itu, ternyata adalah salah satu pertanda bahwa paman akan pergi untuk
selama-lamanya. Dan aku juga tidak menyangka, kalau perpisahan umum kelas XII yang
diselenggarakan tanggal 28 Mei 2012 juga merupakan perpisahan bagi kita selaku
murid dengan seorang guru yang telah membimbing dan mengajari kita selama ini.
Handuk dan payung yang dia dapatkan,
ternyata bukanlah sebuah simbol kebahagiaan. Tapi justru handuk dan payung
itulah yang menjadi salah satu pertanda bahwa paman akan kembali ke
pangkuan-Nya. Handuk itu akhirnya digunakan untuk mengusap jasad paman ketika
akan dibungkus dengan kain kafan, dan payung itu digunakan untuk mengantarkan
dia ke rumah masa depannya.
Paman dilahirkan dalam keadaan yatim
karena telah ditinggal oleh ayahnya ketika masih berusia sangat kecil. Dan
sekarang, dia juga telah meninggalkan ketiga anaknya dalam keadaan yatim sama
seperti apa yang dulu pernah dia alami.
Paman,
ketika kebahagiaan itu datang menyapanya, ternyata kebahagian itulah yang
mengantarkan kita semua pada kepedihan yang mendalam karena telah kehilangannya
untuk selama-lamanya. Aku bahagia, setidaknya paman pernah merasakan
kebahagiaan walau hanya sebentar.
***
Kutulis cerita ini sebagai bentuk kesengajaan untuk mengenangmu.
Maaf, bila kata yang tertuang terlalu sederhana. Cerita yang tertorehkan
mungkin juga tak sebanding dengan apa yang telah terjadi. Tapi percayalah,
semua ini bukanlah sekedar goresan tinta hitam yang tak bermakna. Murni
kupersembahkan ini sebagai ungkapan cinta dan sayangku padamu.
Kuingin mengenangmu, merengkuhmu melalui kata, dan mempersembahkan
sebuah karya terbaik yang mungkin bisa membuatmu tersenyum disana. Terima kasih
telah menjadi paman terbaik selama ini. Terima kasih telah menjadi guru yang
selalu membimbing dan mengajariku tentang bagaimana menjalani hidup.
Semoga engkau bahagia di sana, Paman. Dengan segala doa dari kami
yang begitu menyayangimu. Kupercayakan Tuhan sebagai perawat terbaik bagimu...
[1] merupakan proses pemeriksaan sumsum tulang belakang dengan cara
mengambil sedikit sampel dari sumsum tulang belakang seorang pasien yang
terindikasi menderita leukimia, untuk diperiksa apakah dalam sumsum tulang
tersebut terdapat sel sel kanker atau tidak. Caranya yaitu dengan
mengebor pada ruas tertentu di tulang belakang pasien dalam posisi
duduk atau tiduran menyamping dan tubuh ditekuk agar membungkuk hingga mudah
bagi dokter untuk memasukkan jarum dari bawah ruas tulang belakang yang berbuku
buku itu.
[2] Sel
darah merah tidak mau bereproduksi lagi.
0 Komentar