Oleh : Diah Harni Saputri
Suatu
ketika, saya sedang duduk bersama teman-teman di Public Space kampus—sebuah
tempat yang sering digunakan oleh mahasiswa untuk sekadar ngobrol-ngobrol atau
diskusi. Saat itu, di sebelah saya ada sekelompok mahasiswa juga yang sedang asyik
ngobrol. Sebenarnya, saya sama sekali tidak tertarik untuk mendengar obrolan
mereka, namun ada satu kalimat yang terlontar dari salah satu di antara mereka
yang membuat saya sedikit tertegun; “Dia emang anak autis, sibuk sama hapenya sendiri, abis itu ketawa-ketawa
sendiri. Hahaha!” kemudian mereka semua tertawa, saya tertegun. Sedih.
Rasa-rasanya,
bukan sekali-dua kali kita mendengar orang-orang menyelipkan kata autis dalam
obrolan mereka sebagai bahan candaan. Kata ‘autis’, selalu dikaitkan dengan
orang-orang yang anti sosial dan sibuk dengan dunianya sendiri, tidak salah
memang, namun hanya kurang tepat. Karena pengertian yang salah kaprah tersebut,
masyarakat kini seolah-olah melakukan penyeragaman terhadap siapapun yang anti
sosial dan sibuk sendiri dianggap autis. Tak jarang juga, ‘autis’ digunakan
sebagai bahan sindiran seperti contoh kalimat yang saya sebut sebelumnya.
Tak
hanya itu, penggunaan kata autis semakin terkenal ketika banyak penulis,
entertainer, dan aktifis-aktifis lainnya yang menggunakan kata autis dengan
tidak semestinya. Sehingga merebaklah kata autis sebagai kata yang merujuk pada
keanehan, dan sikap anti sosial. Di Indonesia sendiri, sudah banyak contoh
tulisan-tulisan yang bertujuan menyindir seseorang atau komunitas tertentu
dengan menggunakan kata autis, seperti:
1. "Autisme Sosial:
"Penyakit" Ketidakpedulian di Kalangan Masyarakat" (Mohamad
Soerjani, 2003)
2. "Parpol dan Parlemen yang
Autis" (Dedi Haryadi, 2005)
3. "Parpol Idap Autisme Sosial"
(Bima Arya Sugiarto, 2008)
Sungguh memprihatinkan, orang-orang
yang tergolong kaum intelektual pun masih saja menggunakan kata autis sebagai
bahan sindiran. Sebagai orang yang terlahir normal, tak
sepantasnya kita menggunakan kata autis sebagai bahan ejekan.
Menurut
Baron & Cohen, “Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir
ataupun saat masa balita yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan
sosial atau komunikasi normal. akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia
lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif”
(Baron-Cohen 1993). Pengertian lain menyebutkan, autisme adalah perilaku
anak-anak yang terlalu asik dengan dunianya sendiri, sehingga tidak
mempedulikan apa yang terjadi di luar “keasikannya”. Autis bukanlah gangguan
kejiwaan, bukan juga keterbelakangan mental. Anak-anak
yang autis hanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, sehingga ia bisa
melakukan hal-hal aneh di luar kebiasaan anak-anak seusianya.
Di
bawah ini, ada sebuah cerita yang saya sadur dari forum.indogamers.com tentang kehidupan seorang ibu yang harus susah
payah menjaga putranya yang autis.
“Siang itu aku sibuk membaca buku resep makanan khusus untuk anak
autistik. Ya, Anakku memang tidak bisa makan sembarang makanan. Salah-salah? anakku bisa berputar-putar
seperti gasing jika ada zat dalam makananya yang tidak cocok untuk dikonsumsi
oleh anakku.
Ditangan sebelah kiri, ada buku Food diary anakku yang aku tulis sejak
pertama kali dia kuperkenalkan pada makanan padat berisi apa saja yang dia
cocok untuk tubuhnya, reaksi alergynya dan mana saja makanan yang tidak cocok
dan menyebabkan dia overwhelmed. Kebayang gak?
Diusia 4 bulan misalnya, kuberikan jeruk bayi pada anakku, Eh, gak lama
kemudian dia muntah dan seluruh tubuhnya seperti dipenuh ULAT BULU. Pernah aku
beri dia tomat. Tapi kemudian, berhari-hari dia diare dan uring-uringan. Kuberi
dia susu instant anakku malah jingkrak2, Mengepak-ngepakkan tangannya, persis
seperti orang gila!!! Dia berputar-putar tanpa merasa lelah, dan kemudian
mengamuk ketika tidak mengerti bagaimana cara mengendalikan tubuhnya yang tidak
mau diam.
Baru saja hendak memasak, tiba-tiba kudengar jeritannya. Kucari anakku,
tapi tidak kutemukan.
Aku keruang setrika dan disana kutemukan anakku sedang nangkring diatas lemari, dengan setrika panas yang baru saja dicabut oleh BS-nya karena kupanggil untuk membantuku memasak. Setrika panas ini masih nempel di atas punggung tangan kirinya!
Aku keruang setrika dan disana kutemukan anakku sedang nangkring diatas lemari, dengan setrika panas yang baru saja dicabut oleh BS-nya karena kupanggil untuk membantuku memasak. Setrika panas ini masih nempel di atas punggung tangan kirinya!
Dari punggung tangannya mengepul asap. Bau daging panggang begitu segar
menempel dihidungku. Kuangkat setrika itu dari tangannya dan, aduh Tuhan, aku
tidak kuat melihatnya. Sebagian dagingnya menempel dibalik gosokan panas itu.
Sumpah kalau saja ini bukan anakku, aku pasti sudah mati berdiri karena
ketakutan. Melihat daging dari punggung tangannya, yang menempel pada setrika
itu. Itu sudah berubah menjadi putih kekuningan. Dan luka di tangannya juga
sudah berubah menjadi putih seperti daging ayam matang."
Setelah
membaca cerita di atas, tentu kita menjadi lebih tahu, betapa sulitnya merawat
anak autis. Betapa kita harus ekstra hati-hati dalam menjaga mereka, mulai dari
makanan hingga aktifitasnya. Oleh karena itu, tidak sepantasnya kita
menggunakan kata ‘autis’ dengan seenaknya, apalagi digunakan sebagai bahan
olok-olokan. Selain tidak pantas, penggunaan kata ‘autis’ sebagai bahan candaan
ataupun sindirian juga akan menyakiti hati mereka para orang tua atau siapapun
yang anggota keluarganya mengalami autisme.
Terakhir, peduli autis tak melulu
harus dilakukan dengan langsung terjun ke lapangan. Dengan mencoba menghargai
mereka yang terkena autis dan tidak menggunakan kata autis sebagai bahan
candaan pun bisa menjadi salah satu indikasi bahwa kita peduli terhadap
penderita autis.
0 Komentar