Modernisasi
telah membawa gaya baru dalam hidup hingga menyangkut pada ekonomi, politik,
sosial, bahkan media. Gaya baru ini merupakan cetakan kapitalisme industri
negara barat. Bahkan gaya baru ini direplikasikan dalam tatanan atau sistem di
negara-negara berkembang. Dimana masyarakat paradigma kehidupannya mulai
dialihkan menuju kapitalisme industri secara besar-besaran.
Sistem
ini meletakkan media sebagai sebuah alat penting di dalam mempromosikan pembangunan
ekonomi, karena media dianggap mampu mempengaruhi perubahan sikap dan memacu
sikap inovatif (Reeves, 1993). Utamanya adalah media besar yang notabene secara
tertutup maupun terbuka, sesuai sistem di negara masing-masing, mampu
memonopoli media lain.
Hal itu
ditunjukkan dengan dilebarkannya usaha-usaha dari media besar untuk mengambil
alih media kecil lain. Dalam hal ini termasuk perluasan bidang media besar itu
sendiri. Media cetak, radio, televisi, dan new
media (internet) menjadi pangsa strategis untuk melebarkan sayap media
besar di masyarakat.
Fenomena inilah
yang disebut imperialisasi media. Media besar melakukan industrialisasi bisnis
media dengan menguasai beberapa media kecil serta mempengaruhi masyarakat.
Media besar tidak hanya melihat pentingnya untuk membuka pasar baru lewat
bentuk media lain. Namun, bagaimana mereka memonopoli bisnis ini. Memunculkan
suatu “politik” di kalangan media melalui bisnis tampil sebagai bentuk
modenisasi dan kapitalisasi.
Imperialisasi
media seakan menjadi gaya baru dalam persaingan bisnis media saat ini.
Kapitalisme turun tangan dalam mencampuri hadirnya penguasaan suatu bisnis oleh
kalangan besar. Media menjadi salah satu bisnis yang paling disoroti dalam
kapitalisme. Karena pengaruhnya yang bersifat persuasif serta produknya yang
dirasakan oleh masyarakat luas. Ekspansi media menghasilkan kekuatan yang lebih
besar lagi dalam mengendalikan masyarakat melalui sumber-sumber produksi media
berupa teknologi, jaringan dan lainnya. Selain itu tentunya profit bagi pengusaha
(Dewi, 2007).
Dengan kekuatan modal besar untuk berinvestasi pada
teknologi komunikasi, pengusaha media Jakarta akan melibas pengusaha media
kota-kota lain yang kemungkinan memiliki modal lebih kecil. Dengan demikian,
semua kegiatan yang ada dalam sebuah negara, akan diliput oleh orang-orang yang
sama (Dewi, 2007).
Singkatnya imperialisme media oleh media besar terlahir oleh
adanya kapitalisme media. Pemilik media menjadi pelaku besar di dalamnya.
Adanya monopoli bisnis media secara tidak langsung mampu memunculkan ‘politik’
di dalam media. Dampaknya tidak hanya dirasakan institusi media sendiri juga ke
kultur masyarakat.
Adapun dari Mosco terdapat korelasi kekuasaan antara
penguasa sumberdaya (dalam hal ini pemilik media) dengan sumber ekonomi produksi
yang dapat mereka gunakan. Pemilik media di dalam penggunaan dengan power yang dimilikinya untuk bisa
menaikkan produksi yang dikeluarkan medianya. Selain itu bagaimana pemilik
media memasang strategi pemasaran produknya melalui peluasan pangsa pasarnya.
Bagaimana produk media mereka dapat terdistribusikan secara luas dan diminati
oleh konsumen.
Masalah yang ditampilkan oleh kapitalisme media tidak hanya
melalui ekonomi media itu sendiri tetapi juga berdampak pada efek kerja media
dan kultur masyarakat. Kapitalisme bertujuan untuk meningkatkan modal
sebesar-besarnya dimana pelaku kapitalisme media menggunakan sebaik mungkin
sumber yang dapat mereka gunakan. Terutama karyawan media, wartawan, hingga
institusi media sendiri.
Sehingga tidak dinafikkan media yang terpengaruh oleh
kapitalisme mulai condong ke arah privatisasi ekonomi penguasa media. Apalagi
abila media besar mulai memonopoli pasaran hingga media-media kecil. Sehingga
efek yang ditimbulkan dapat bersifat terpusat. Politik media pun dapat muncul
dengan adanya monopoli tersebut. Pencitraan pemilik media pun dapat terjadi
dengan memanfaatkan media-media yang dimilikinya.
0 Komentar