Oleh:
R. Ahmad Reiza M
Dok. Internet |
Setahun
lalu, ketika saya menapakkan kaki di Solo, yang terucap dari mulutku: Subhanallah dan Astaghfirullah. Ekspresi takjub dengan budaya Jawa Tengah,
khususnya Solo, yang istimewa dan miris dengan kesadaran atas kebersihan. Adanya
antusiasme dan apresiasi budaya di Solo dibandingkan tempat tinggal saya dulu
membuat takjub sekaligus iri. Dan satu lagi, makanan yang beraneka ragam dan
murah! Setidaknya bagi lidah saya yang cocok dengan makanan di Solo. Bagi
seorang mahasiswa, wajib hukumnya untuk mudeng
makanan-makanan enak tapi murah. Walau demikian, berbagai kata tanda takjub
tidak akan berarti apabila ada yang menjegal. Ya, soal kebersihan. Mungkin saya
seperti membuat perbandingan, sebenarnya tidak. Hanya sekadar beberapa patah
kata, tanda rasa miris saya terhadap kebersihan kota ini.
Tahu
pulau Kalimantan yang sebagian besar isinya adalah hutan melulu? Tahu Kalimantan Timur (Kaltim), yang sebagian wilayahnya
dulu, pada saat ini sudah terpisah menjadi Kalimantan Utara? Tahu Balikpapan,
disebut juga Kota Minyak, yang katanya memiliki living-cost tertinggi dan disebut-sebut kota termahal se-Indonesia? Bahkan sekitar 32% lebih
mahal daripada di Jakarta. Tahu Balikpapan yang
kotanya gelap karena di balik sebuah papan? Yang barusan tadi saya bercanda,
dan sisanya benar. Saya tahu, itu tanggapan orang-orang yang memiliki selera
humor. Jelas saya tidak akan marah, sekadar nama kota bentukan para transmigran
Jawa, Bugis dan Banjar semasa penjajahan Belanda yang memiliki cerita di
baliknya. Beberapa orang bercerita bahwa ada seorang puteri kecil dari suatu
kerajaan yang terdampar setelah terombang-ambing di atas sebilah papan. Tak
hanya satu versi, namun beda sumber, lain cerita.
Kalau
sedang ‘sombong’, mungkin saya mengatakan, “Makan yuk, tapi dimana? Nanti tak traktir!”. Murah sih, karena sudah terbiasa makanan porsi
kurang banyak dengan harga selangit. Di Solo, sekitar Rp25.000,00 sudah dapat
enak dan kenyang, termasuk minuman. Di Balikpapan? Harus merogoh kocek lebih
dalam. Setidaknya Rp50.000,00 sudah membuat diri cukup kenyang di restoran
pinggir jalan. Apalagi sekarang harga sembako sudah melonjak, pasti lebih mahal
lagi.
Tak
hanya soal makanan murah-meriah-tapi-enak, budaya Jawa yang istimewa juga
membuat saya takjub sekaligus iri. Di Balikpapan, bisa dikatakan jarang ada
event berbasis kebudayaan daerah. Solo? Menurut saya, jauh lebih banyak. Namun
saya yakin, budaya di Kaltim tidak kalah bagusnya dengan di Jawa. Tapi memang,
apresiasi budaya daerah di Balikpapan bukanlah prioritas tertinggi, sebab
Balikpapan sendiri bukanlah kota yang memiliki budaya asli.
Dan
akhirnya, soal kebersihan. Bagi saya, kebersihan adalah prioritas dalam
lingkungan hidup. Entah mengapa, acapkali saya melintasi kota (saya tinggal di
pinggiran Sukoharjo), ada saja yang membuang sampah di sembarang tempat.
Mungkin sampah seperti bungkus permen atau gelas minuman, bagi beberapa orang
yang tidak peka akan kebersihan, dianggap biasa. Bagi saya, jalanan dan selokan
itu terlalu berharga untuk dipenuhi sampah sekecil apapun. Bahkan beberapa hari
yang lalu, dengan mata saya sendiri, di depan saya seorang anak yang dibonceng
ayahnya membuang sampah sebesar kantong plastik di sungai. Menjijikkan.
Mungkin mereka belum pernah merasakan banjir akibat sungai atau selokan mampet
karena sampah.
Bukannya
saya tegas soal kebersihan karena saya pernah kebanjiran akibat saluran air
yang mampet, namun pertanggungjawaban
manusia atas lingkungannya sendiri. Apabila lingkungan yang kotor, bagaimana
manusia bisa hidup dengan sehat? Balikpapan termasuk kota terbersih di
Indonesia. Bukan karena mudah dibersihkan. Bukan juga karena living cost yang tinggi. Namun rasa
tanggung jawab atas kebersihan lingkungan. Cukup banyak program tentang
kebersihan yang diterapkan di Balikpapan. Di sekolah-sekolah, mata pelajaran
Pendidikan Kebersihan dan Lingkungan Hidup (PKLH). Beberapa sekolah di
antaranya juga menegaskan aturan mengenai kebersihan di sekolah. Adapun
peraturan daerah (Perda) Kota Balikpapan no. 10 tahun 2004 tentang Pengelolaan
Persampahan. Sekitar tahun 2006-2007, setelah sosialisasi selama 2 tahun, mulai
diterapkan dan dilakukan razia tempat sampah bagi kendaraan umum maupun
pribadi. Denda pun tidak sekadar ada hanya karena sebagai komponen peraturan,
namun diterapkan secara tegas. Saat saya masih bersekolah di sana, beberapa
kali melihat ada razia tempat sampah dalam kendaraan. ‘Pasukan Kuning’ di Balikpapan juga
diberdayakan, sehingga kebersihan juga tetap terjaga. Beberapa kali Balikpapan
meraih Adipura, dan tahun 2013 ini, Adipura Kencana tercapai sesuai yang
dicanangkan tahun sebelumnya.
Sebuah
peraturan yang diterapkan secara tegas dan kontinyu, akan menjadi sebuah habit yang tidak bisa dihilangkan begitu
saja. Memang, pada faktanya masih ada orang-orang jahil
yang membuang sampah sembarangan. Di Balikpapan saja bisa, apalagi Solo. Kalau
Singapore, beda lagi. Tingkat kesadaran mereka jauh di atas kita.
Sebenarnya
kota Solo termasuk rapi dan bersih, jika dilihat dari jalan Slamet Riyadi saja.
Mungkin saja karena sistem penataan kota Solo sudah diatur oleh Belanda dahulu
membuat masyarakat jahil tersebut
tidak tahu diri dan tidak peduli. Retribusi naik, tapi jika tidak diimbangi
kesadaran akan kebersihan, jelas percuma. Balikpapan saja yang tatanan kotanya ruwet dan sulit dibenahi saja bisa,
apalagi Solo. Apa perlu dijajah kembali? Tidak perlu. Setidaknya menanamkan kemauan
untuk membenahi diri dan rasa tanggung jawab atas lingkungan pada diri
masyarakat Solo yang masih senang menelantarkan sampah. Kalau perlu, diadakan
peraturan sejenis Perda Kota Balikpapan no. 10 tentang Pengelolaan Persampahan.
Bukan
membanding-bandingkan, hanya rindu pada kota bersih. Mari wujudkan Indonesia
yang bersih. Tidak hanya Solo, tetapi juga seluruh Indonesia!
0 Komentar