Oleh: Ester Lia Amanda
Aku tidak ingin merasakan dinginnya
malam ini, sungguh aku tidak ingin merasakannya. Sebentar lagi ia akan pergi,
pergi entah kapan kembali. Aku belum siap untuk melalui setiap hari tanpanya,
tanpa senyum, tanpa pelukan hangatnya yang selalu membuatku nyaman menjalani
hari-hari ku. Aku belum siap Tuhan, entah mengapa waktu berjalan sangat cepat,
tidak bisakah waktu memberikan kelegaan padaku sedikit saja? Aku belum siap.
Malam sebelumnya mataku enggan terpejam,
pertengkaran itu membuatku enggan memejamkan mata yang sebenarnya sudah lelah
untuk membuka. “Maafkan aku.” Kataku dalam hati. Maafkan aku karena aku memulai
pertengkaran ini lagi, hanya karena hal sepele. Karena keegoisan yang muncul
dari dalam diriku, dan rasa ingin dimengerti yang tidak pernah diimbangi dengan
rasa mengerti.
Aku menangis, benar saja siapa yang
tidak menangis ketika mengetahui kekasih hatinya akan pergi jauh besok. Aku
tahu, inilah awal dari perjuangan kita. Perjuangan yang memang seharusnya kita
hadapi karena komitmen kita sebelumnya. Toh, dia akan bekerja disana kan? Dia
akan membangun bahtera untuk masa depan kita nantinya. Maka dari itu aku
mempercayakan hatiku untuk dibawanya kesana. Aku percaya, sangat percaya bahwa
dia akan menjaganya dengan baik. Meskipun keadaan akan membuatnya lupa bahwa
dia sedang menjaga hatiku.
***
“Jaga hatiku ya, jangan dinakalin.”
Pesanku beberapa saat sebelum kepergiannya.
“Tenang nyonya, saya siap menjaganya.”
Senyumannya melegakan siang itu, pantas saja aku menyayanginya. Dia paling
juara membuatku bersyukur memilikinya dan dimilikinya.
Malam itu, sedikit menyedihkan
sebenarnya. Karena hal sepele aku dibentak dan dibuatnya menangis. “Apakah
harus seperti ini, padahal kita akan berpisah dalam hitungan kurang dari satu
jam?” tanyaku dalam hati. Kendalikan emosimu sayang, aku hanya melakukan
kesalahan kecil. Aku bisa mengatasinya, jangan biarkan malam terakhir ini luka
menemaniku.
“Maaf... aku gak ada maksud buat bentak
dan bikin kamu nangis.” Katanya pelan sambil menggenggam tanganku erat,
sepertinya dia sangat menyesal melakukannya.
Iya, aku tahu kamu tidak bermaksud
seperti itu. Sudahlah, aku tidak mau memikirkannya lagi. Yang ingin aku
pikirkan saat ini adalah kamu akan pergi dan kamu akan baik-baik saja nantinya.
Aku menangis, iya aku menangis, lagi-lagi aku menangis. Terlalu cengeng untuk
melihat kekasih hati pergi jauh.
Stasiun, tempat inilah yang menjadi
kenangan dimana aku dan kamu terpisahkan. Tidak mampu rasanya menahan air mata
yang sudah berkumpul di pelupuk mataku. Menggenang tapi enggan menetes.
“Udah, kalo mau nangis. Nangis aja kali
gak usah ditahan-tahan, mama aja lho udah nangis.” Adiknya menggodaku yang
hanya mampu berdiri dan tersenyum.
“Aku ingin memelukmu.” Lagi-lagi hanya
didalam hati, aku malu untuk memelukmu. Karena badanku lebih besar dibandingkan
dengan badanmu. Tapi aku ingin memelukmu saat itu, ingin sekali! “Jangan
tinggalkan aku! Tunggulah aku untuk beberapa waktu. Aku akan menyusulmu kesana,
tentunya setelah aku menyelesaikan kuliahku disini. Beberapa tahun ke depan
kita akan meraih rencana yang sudah kita buat. Percayalah dan bersabarlah,
jangan berikan kesempatan bagi wanita lain untuk merebutnya. Begitu pun aku
disini, jagalah hatiku dan hatimu.” Jeritku didalam hati.
“Aku titip mama ya, jagain mama.
Tengokin mama, setiap senen pas kamu nunggu jeda kuliah.” Satu pesan yang
sampai saat ini selalu membuatku meneteskan air mata jika mengingatnya.
Aku mengangguk dan tersenyum “Pasti.”
Pasti aku akan menjaga mama mu disini,
seperti kamu menjaga hatiku disana. Jangan lupa komitmen kita, untuk menjaga
komunikasi kita. Jangan lupa bahwa ada hati yang sedang kau bawa dan kau jaga
disana.
Aku melihat sekelilingku, ramai sekali.
Tetapi mengapa aku merasa sendiri, melihatnya pergi membawa koper berwarna orange yang beberapa hari lalu kita beli
bersama, masuk untuk menunjukkan tiketnya. Jaket hitam stripe biru tua di pergelangan tangan dan lehernya, aku akan
merindukanmu. Melihat mama nya yang sudah berlinangan air mata, melihat adiknya
yang menggodaku genit agar aku menangis. Semua ini, apa? Aku ingin pulang dan
memeluk guling, mendengarkan lagu sedih dan menangis. Aku tahu, enam bulan
tidak sebentar. Aku harus berjuang melaluinya. Aku menunggumu disini,
menunggumu untuk kembali.
Kereta itu, dengan jurusan
Solo-Jakarta. Perlahan mulai meninggalkan stasiun, berjalan, berjalan, dan
berjalan. “Tuhan, lindungilah pria yang telah memberikanku kebahagiaan dan
kenyamanan selama ini.” Sungguh, aku tidak mampu untuk menerima kenyataan bahwa
aku harus melalui hari-hariku tanpanya. Rasanya, iya rasanya aku seperti berada
di lorong gelap, dan aku tidak tahu dimana aku. Apakah aku bisa menemukan
cahaya yang akan membawaku kepada ketenangan, bahwa kenyataannya aku tidak
terjebak dalam kegelapan? “Kamu pasti bisa, pasti!” semangatku.
Aku mengantarkan adiknya pulang ke
kost, mama nya kembali ke rumah yang kebetulan berbeda arah dengan rumahku, dan
aku pulang membawa salah satu mobilnya. Lagu yang ku putar ini, lagu yang
menggambarkan suasana hati malam ini. Siapa aku sekarang? Aku hanya seorang
wanita yang ditinggal pergi kekasihnya merantau untuk mencari sesuap nasi,
berharap komitmen cinta ini akan terus terjaga dan keegoisan semakin hari semakin
sirna. Jangan lupa, sekali lagi jangan pernah lupakan cinta kita. Jangan pernah
lupakan kenangan saat kita masih dekat, jangan lupakan kekonyolan kita. Jangan
pernah lupakan perjuangan kita untuk sampai di tahap ini.
Aku menunggumu, aku akan berusaha sabar
menunggumu kembali. Bahkan ketika film kesukaanku memutar bagian keduanya yang
sebenarnya akan kita akan tonton berdua, sudah lupakanlah, kenyataanya kamu
memang harus bekerja. Disini, aku harus menontonnya sendirian dan membayangkan
kamu memang ada disini menemaniku, iya.. kamu memang ada disini, dihatiku yang
paling dalam. Kamu masih disini, menghiasi hari-hariku yang selalu saja
diselimuti tangis karena rindu yang entah kapan dihapus oleh temu.
Monday, 18th November 2013
0 Comments: