Oleh: Arfian Grenoadi
Selama ini kita
tentu sudah banyak mendengar perihal otonomi daerah. Media massa seperti surat
kabar dan televisi seringkali membahas tentang otonomi daerah. Lalu apa
definisi atau maksud dari otonomi daerah?
Menurut Wikipedia,
otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewenangan yang diberikan kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna
dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap
masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Hak otonomi
daerah telah tercantum di dalam pasal 1 butir 5 UU no. 32 tahun 2004. Hak
daerah dalam melaksanakan otonomi menurut pasal 21 UU no. 32 tahun 2004 ada
delapan butir, yaitu:
1. Mengatur dan mengurus sendiri pemerintahannya
2. Memilih pimpinan daerah
3. Mengelola aparatur daerah
4. Mengelola kekayaan daerah
5. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah
6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya yang berada di daerah
7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah, dan
8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah
lahir untuk melengkapi sistem kepemerintahan yang demokratis di Indonesia.
Sebelum dicanangkannya otonomi daerah, sistem yang dipakai adalah sistem
sentralistik. Sistem sentralistik memberikan kewenangan penuh dari pemerintah
pusat dalam mengatur tiap-tiap daerah di Indonesia. Namun ternyata sistem
sentralistik ini dianggap merugikan pihak daerah.
Pada masa orde
baru di mana sistem pemerintahan sentralistik diberlakukan, pengerukan potensi
dari daerah ke pusat terus dilakukan dengan alasan pemerataan pembangunan.
Bukannya mendapat untung, tapi daerah justru mengalami pemiskinan yang sangat
luar biasa. Sehingga pemberlakuan otonomi daerah dianggap sebagai sebuah solusi
yang tepat.
Otonomi daerah
memberikan hak, wewenang, dan kewajiban bagi daerah. Antara lain untuk mengatur
pemerintahan sendiri dan mengelola kekayaan serta potensi yang dimiliki oleh
daerahnya masing-masing. Otonomi daerah secara otomatis melenyapkan sistem
sentralistik yang pada saat itu dianut oleh rezim orde baru.
Pada awal
dicanangkan, otonomi daerah disambut dengan positif oleh masyarakat dan
digunakan semaksimal mungkin. Tetapi setelah hampir sepuluh tahun
diberlakukannya otonomi daerah, kini justru muncul berbagai penyimpangan. Hak
dan kewenangan yang seharusnya dilaksanakan dengan lurus ini ternyata telah
berbenturan dengan kepentingan pribadi. Saat ini, bukan hanya pemerintah pusat
saja yang dapat melakukan tindak pidana KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), namun
juga pemerintah-pemerintah daerah. Praktik korupsi telah bergeser dari pusat ke
daerah.
Adanya
kewenangan penuh dalam mengelola wilayah, keuangan, dan lain-lain malah
dijadikan kesempatan untuk melakukan korupsi, dan tindakan-tindakan yang tidak
bijak lainnya. Contohnya seperti bagi-bagi hasil sisa anggaran daerah untuk
anggota DPRD, menghamburkan uang rakyat untuk piknik ke luar negeri dengan
alasan studi banding, dan isu yang terhangat saat ini adalah tentang pidato
Seno Samodro, Bupati Boyolali, Jawa Tengah menyoal rencana pembuatan efisiensi
anggaran daerah. Yang nantinya hasil efisiensi anggaran daerah tersebut akan
digunakan untuk menghapus bunga kredit motor dan rumah bagi para Pegawai Negeri
Sipil (PNS) bawahannya.
Pidato Bupati
Boyolali yang mengundang kontroversi tersebut tentu saja langsung menjadi
sorotan di berbagai media massa. Bahkan anggota DPRD Boyolali pun ikut angkat
bicara menolak rencana tersebut dalam sebuah media cetak. Banyak yang kontra
terhadap rencana Bupati tersebut. Beberapa pihak menilai rencana tersebut
sebagai upaya politisasi PNS dalam rangka menjelang tahun pemilu 2014.
Untuk mengatasi
masalah ini, seharusnya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo turut serta memberi
masukan kepada Bupati Boyolali agar membatalkan rencana tersebut dan
mengalokasikan hasil efisiensi anggaran daerah tadi untuk kepentingan rakyat
Boyolali. Jangan mentang-mentang Gubernur Jawa Tengah dan Bupati Boyolali-nya
berasal dari partai yang sama lantas Gubernur terkesan selalu pro terhadap
rencana yang dikeluarkan Bupati Boyolali.
Otonomi daerah
dewasa ini justru dimanfaatkan oleh oknum pejabat untuk melakukan penyelewengan
karena minimnya pengawasan dari pemerintah pusat. Hal ini merupakan salah satu
kelemahan dari sistem otonomi daerah. Kebebasan yang diberikan ternyata tidak
disertai rasa tanggung jawab pemegang kekuasaan daerah. Banyak dari mereka yang
lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan rakyat.
Contoh konkret
lainnya adalah kasus Gubernur Banten Ratu Atut yang tersandung perkara
nepotisme. Ia membangun dinasti politik di provinsi Banten. Beberapa kerabatnya
menduduki posisi strategis di pemerintahan provinsi Banten. Namun,
kerabat-kerabat Ratu Atut diduga menggunakan cara yang curang, yaitu dengan
memanfaatkan kekuasaan dari Sang Gubernur untuk mendapatkan jabatan di
pemerintahan provinsi Banten.
Pelaksanaan
otonomi daerah semestinya bisa membawa manfaat yang besar dan kemajuan bagi
daerah. Karena dengan kewenangan itu, pemerintah daerah bisa dengan leluasa mengatur
beragam aspek dari seluruh sektor wilayahnya tanpa banyak campur tangan dari
pemerintah pusat. Tapi entah mengapa, kewenangan yang diberikan justru kerap
disalahgunakan. Kalau sudah begini, pemerintah pusat memang harus segera turun
tangan untuk mengatasinya.
0 Comments: