Oleh : Erma Yuniati
Adanya jaminan
kebebasan pasca orde baru, tidak dapat dipungkiri menjadi sebuah wujud
transformasi besar-besaran terhadap wajah pers dan media di Indonesia. Lepasnya
cengkraman pemerintah orde baru menjadi penegas adanya sebuah era baru dan area
segar bagi media. Namun sayang, lepasnya dominasi pemerintah, baik disadari
atau pun tidak justru membawa media pada sisi pengaruh kepentingan lainnya.
Sebagaimana yang secara kasat mata dapat diamati sekarang ini, pemilik modal
menjadi pihak yang menggantikan kekuasaan tersebut. Pergeseran kekuasaan seakan
memunculkan tokoh baru secara natural.
Kepentingan pemodal
kini menjadi faktor penting, bahkan utama, yang sangat tercermin dari berbagai
isi tayangn media massa. Penggiringan opini publik sejalan dengan apa yang dikehendaki
pemodal seakan-akan menjadi sebuah pemakluman dan wajar. Kepentingan mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya (dalam berbagai bentuk, baik finansial,
elektabilitas atau apapun) dari bisnis media seakan berubah menjadi sebuah area
yang semakin hari semakin mengundang banyak pihak untuk turut menikmatinya.
Media massa tak hayal
bagaikan mata uang yang memiliki dua wajah. Di satu sisi sebagai institusi
sosial dan disisi yang lain sebagai institusi bisnis. Dimana keduanya tak dapat
dipisahkan serta secara harmonis membentuk sebuah dinamika yang ada kalanya
menimbulkan banyak pertentangan dan konflik tajam. Perannya sebagai institusi
sosial kedengaran berimplikasi lebih positif dibanding keberadaannya sebagai
institusi bisnis yang mengandung berbagai kepentingan dan menjadikan massa
sebagai obyek konsumen semata. Layaknya perusahaan yang menghalalkan segala
cara untuk meraup untung sebesar-besarnya dari keberadaan masyarakat sebagai
pasar.
Dalam keberjalanannya,
berbagai fenomena media yang erat dengan kegiatan ekonomi tersebut, sempat
tidak banyak disentuh dalam berbagai kajian ataupun penelitian. Orang lebih
terkonsentrasi pada bias kebebasan bersuara dan transparansi berkenaan dengan
uforia pasca orde baru. Padahal pendangan kritis yang syarat dengan intrik
ekonomi menjadi sangat penting untuk mengantisipasi dan perwujudan kontrol
terhadap kapitalisasi media yang semakin tidak terkendali.
Pengkajian ekonomi media
secara kritis tentu harus peka dalam memandang kentalnya praktek dominasi yang
kian hari kian nampak jelas. Terlalu naif menyebut frase obyektifitas media
massa ketika menengok pada realita yang ada. Nyatanya perut dan prestise
kemewahan masih jauh lebih bermakna dari pada sekedar kejujuran yang kini hanya
dianggap sebatas realita buatan manusia. Keberadaan materi jauh lebih realistis
dari berbagai informasi yang dulunya juga dianggap realistis pula.
Industrialisasi media
kini menjelma menjadi sebuah ranah yang menancapkan peran penting dalam
kehidupan masyarakat yang semakin modern dan global. Keberadaan pemerintah yang
kurang mampu menjaga martabatnya justru akan semakin terinjak dan tunduk pada
hiruk pikuk di balik kepentingan media massa. Saat ini tentulah akan terasa
aneh, bahkan bodoh, ketika seseorang mempertanyakan mengapa media terkesan
hanya mewadahi kepentingan atau suara dari pihak-pihak tertentu. Sebuah
retorika yang kembali menggiring pada ranah permodalan dan kekuatan ekonomi
yang mendominasi.
Ketika sudah mendapati
realita sebagaimana yang digambarkan tersebut, maka rasa-rasanya terlalu
berlebihan ketika menggantungkan harapan terlalu tinggi terhadap isi media
massa. Dalam artian akan semakin sulit untuk berharap media mampu memberikan
pengaruh positif dan penanaman nilai-nilai keluhuran dalam diri masyarakat di
negeri ini secara luas. Keberpihakan yang terlampau besar semakin menegaskan
bahwa media massa telah terlampau jauh terjebak dalam kapitalisasi dan dominasi
yang tak kunjung henti.
Sedikit menengok pada
berbagai jenis dan isi tayangan (di stasiun televisi swasta nasional khususnya),
maka sekilas akan sangat terasa bagaimana permaianan kapitalisasi nampak
didalamnya. Pasar adalah faktor utama yang menjadi penentu bagaimana tayangan
akan di kemas. Hal ini memang sebuah problem, mengingat bagaimana kondisi
masyarakat Indonesia yang masih sangat mudahnya terbuai dengan berbagai
tayangan yang dapat dikatakan sampah. Sedangkan media sendiri, televisi
khususnya, justru mamanfaatkan hal tersebut demi keuntungan yang besar. Hal
inilah yang seakan menjadi siklus, secara terus menerus menambah jalinan benang
kusut yang tak teruraikan.
Lagi-lagi
media harus mampu mendapatkan modal yang besar untuk dapat menjalankan produksinya
dan tentu memperoleh keuntungan pula selayaknya perusahaan pada umumnya.
Misalnya stasiun televisi, untuk dapat menarik para pemodal maka ia harus
memiliki rating yang tinggi atau dengan kata lain memiliki pemirsa setia yang
banyak. Hal tersebut tidak akan tercapai apabila tayangan yang disajikan tidak
menarik dan sesuai dengan selera masyarakat secara luas. Ketika saat ini banyak
acara-acara yang dianggap tidak bermutu atau tidak bermuatan positif namun
nyatanya justru digemari dan menjulangkan rating menjadi semakin tinggi, lantas
mengundang pemodal atau pengiklan yang semakin banyak dan acara tersebut
semakin langgeng, bukankah semakin sulit untuk menyelesaikan permasalahan
semacam ini. Dan lagi-lagi integrasi dari berbagai elemen bangsa ini kembali
diuji dalam keriuhan kapitalisasi.
0 Comments: