Oleh: Muhammad Luthfi Syamsudin
Pertengahan Januari hingga awal Februari merupakan masa-masa mendebarkan bagi mahasiswa seluruh Indonesia. Disekitaran bulan itu, mahasiswa akan menerima Kartu Hasil Studi (KHS), yang berisi daftar nilai-nilai mereka selama satu semester terakhir. Tentunya, mereka sangat berharap kolom-kolom dalam kartu itu bertuliskan huruf “A”. Tujuan mereka hanya satu, ingin mendapatkan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) yang tinggi. Namun, apakah IPK tinggi dapat mencerminkan mahasiswa cerdas yang sebenarnya?
IPK merupakan hasil rata-rata dari gabungan Indeks Prestasi (IP) mahasiswa selama masa perkuliahan. Jika mahasiswa berada pada semester tiga, maka IPK mereka merupakan hasil rata-rata dari IP semester satu hingga semester tiga. Sehingga, jika terdapat IP yang jelek pada salah satu semester, hal itu akan sangat mempengaruhi besarnya IPK secara keseleruhan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas mahasiswa Indonesia memiliki target untuk mendapatkan IPK tinggi saat berada di bangku perkuliahan. Mereka berasumsi bahwa ketika mereka mendapatkan IPK tinggi, mereka akan terlihat keren di kalangan teman-teman mereka, sehingga mereka dapat sedikit menunjukkan bahwa “mereka bisa”. Hal tersebut akhirnya membentuk opini publik bahwa tingkat kecerdasan mahasiswa bergantung pada besarnya IPK dalam KHS. Mahasiswa yang mendapatkan IPK tinggi dianggap lebih cerdas daripada mahasiswa yang mendapatkan IPK rendah.
Abraham Chairil Yusuf, mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) menolak mentah anggapan tersebut.Dia berpendapat bahwa tingkat kecerdasan mahasiswa lebih cocok diukur dari banyaknya pengalaman yang diperoleh, bukan hanya sebatas IPK tinggi. Tolakan tersebut didukung oleh salah satu mahasiswi Universitas Diponegoro (UNDIP), Nabila Ghaida Zia. “IPK hanya menunjukkan kemampuan akademik yang tidak dapat dijadikan patokan kecerdasan mahasiswa. Kita (mahasiswa –red) juga sangat perlu softskill”.
Fenomena ini memang mendapatkan tanggapan yang berbeda-beda dari para mahasiswa di Indonesia. Sebagian dari mereka menolak anggapan tersebut dan sebagian yang lain menerimanya.Tentu saja proses penerimaan itu memiliki beberapa alasan yang logis. Contohnya saja, Institut Teknologi Bandung (ITB) yang memiliki sistem kuliah umum fakultas pada tahun pertama mahasiswa baru. Sehingga,institut yang menjadi idaman banyak siswa SMA ini, perlu menggunakan patokan IPK untuk mengelompokkan mahasiswa ke dalamsuatu jurusan di tahun kedua. Namun, tentu saja IPK tidak dapat menjadi tolak ukur utuh jika merujuk pada pernyataan “IPK tinggi cerminan mahasiswa cerdas”.
Perlu diketahui bahwa IP mahasiswa didapat dari serangkaian proses yang panjang selama mahasiswa mengikuti perkuliahan. Indeks tersebut merupakan hasil olahan nilai-nilai mahasiswa saat mengikuti kuis, UTS, UAS atau bahkan penilaian kehadiran. Besar atau tidaknya IP yang didapat mahasiswa mungkin dapat sedikit mencerminkan tingkat kecerdasan akademik. Namun, di tengah perkembangan zaman yang semakin mengglobal ini, mahasiswa yang memiliki IPK tinggi dapat tergeser dengan mahasiswa yang memiliki IPK standar, jika tidak mampu membuktikan pencapaiannya melalui bukti implementasiyang nyata di dunia kerja.
Menurut survei yang diterbitkan oleh National Association of Colleges and Employers, USA pada tahun 2002, IPK tinggi tidak mencerminkan secara utuh kecerdasan mahasiswa. Terbukti dalam hasil survei, indeks prestasi (≥ 3.00) berada dalam posisi ke – 17 dalam tabel “Kualitas Lulusan Perguruan Tinggi yang Diharapkan Dunia Kerja”. Kualitas mahasiswa sangat tidak bergantung pada besarnya IPK, namun hal pertama yang dibutuhkan oleh mahasiswa adalah kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik. Kualitas itulah yang mempengaruhi tingkat kecerdasan mahasiswa.
IPK memang menjadi salah satu tanggungjawab mahasiswa kepada orangtua, yang telah bekerja keras untuk membiayai pendidikan di perguruan tinggi.IPK juga banyakdijadikan syarat penerimaan beasiswa dan pekerjaan pada masa sekarang. Dalam kasus“apakah IPK tinggi mencerminkan mahasiswa cerdas”, jelas tidakdapat langsung dikatakan demikian. Karena terkadang ada beberapa IPK yang sama sekali tidak mencerminkan kemampuan akademis mahasiswa yang sebenarnya. “Sekarang nilai dapat dimanipulasi, jadi IPK tinggi tidak menjamin kecerdasan yang sebenarnya”, ungkapDela Fahriana, mahasiswi UNS.
Kualitas dan keakuratan IPK tinggi yang didapat oleh mahasiswa hanya dapat diketahui secara jelas oleh mahasiswa yang bersangkutan. Apakah IPK yang didapatnya benar-benar mewakili tingkat kecerdasan akademis mereka atau bahkan tidak sama sekali?Mendapatkan IPK tinggi tidaklah sebuah larangan, namun hal itu akan lebih bernilai baik jika mahasiswa mampu bertanggungjawab atas IPK yang didapatkannya, karena kecerdasan mahasiswa tidak hanya ditafsir dari deretan nilai yang bernama IPK. (Luthfi)
saya sependapat
BalasHapussaya sependapat
BalasHapus