Dok.VISI/Astini |
Ada banyak hal yang terbersit dalam
pikiran seseorang saat mendengar kota ‘Solo’ disebut. Beberapa orang akan berpikir tentang batik, beberapa
langsung terpikirkan sang Presiden, Joko Widodo, ada juga yang kemudian
mengingat Pasar Klewer. Namun, mungkin hanya ada segelintir orang yang berpikir
tentang Lokananta ketika mendengar nama ‘Solo’ disebutkan. Lokananta ternyata
kurang moncer dibanding dengan
ikon-ikon kota Solo yang lain. Masih banyak wisatawan dari luar Solo dan bahkan
orang Solo sendiri yang tak tahu keberadaan Lokananta.
Terletak
di Jl. Jend. A. Yani No. 379 Solo, bangunan yang merupakan studio rekaman
pertama Indonesia yang juga pernah memproduksi piringan hitam itu didirikan
sejak 29 Oktober 1956. Tempat ini menyimpan master asli rekaman berusia puluhan
tahun dengan total koleksi piringan hitam dan kaset pita yang mencapai ribuan.
“Kami punya rekaman Asian Games pertama Part 1, rekaman asli Indonesia Raja 3 stanza, dan rekaman
dari banyak penyanyi legendaris seperti Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, Lilis
Suryani, dan banyak lagi,” tutur Bimo Prasetyojati (24), Bagian Produksi
Lokananta, saat ditanyai Senin (30/03/2015).
Namun
sayang, kucuran dana untuk Lokananta ternyata tak sebanyak jumlah koleksinya.
Lokananta yang sebenarnya sangat berpotensi sebagai ikon wisata Solo itu
ternyata kurang mendapat perhatian dari pemerintah. “Untuk dana, kami mendapat
bantuan untuk pengelolaan dari Perum Percetakan Negara RI (PNRI) selaku
instansi yang mengambil alih Lokananta sejak lepas dari Departemen Penerangan.
Selan itu kami juga mendapatkan dana dari studio rekaman yang per enam jamnya
kami patok harga 1,5 juta rupiah. Selain itu, kami juga melakukan penjualan
kaset-kaset pita dan CD ke toko-toko kaset di wilayah Solo, Semarang, dan
Surabaya. Biasanya kaset yang paling banyak dipesan adalah gendhing-gendhing
Jawa dan Waldjinah,” lanjut Bimo.
Kurangnya
dukungan finansial kemudian berimbas pada terbengkalainya koleksi piringan
hitam di Lokananta. Pernah Lokananta mencetak piringan hitam tapi kemudian
belum bisa mencetak cover hingga akhirnya banyak piringan hitam yang berjamur,
terbaret-baret, dan rusak. Padahal piringan hitam yang terbaret sudah tidak
bisa lagi diputar. Hingga kemudian banyak kalangan yang menyumbang cover, salah
satunya adalah Galeri Malang Bernyanyi. Tak hanya itu, dana juga menjadi
kendala bagi Lokananta untuk mengupdate peralatan mereka dengan teknologi yang
lebih baru.
Masalah
lainnya yang juga krusial selain masalah dana adalah masalah eksistensi
Lokananta di masyarakat. Sebagai studio rekaman pertama di Indonesia, Lokananta
memegang peran penting dalam melahirkan musisi-musisi legendaris Indonesia.
Satu sejarah gemilang yang kemudian lapuk dimakan zaman. Banyak hal diupayakan,
mulai dari upaya menjadikan Lokananta sebagai Museum Musik yang ternyata gagal,
hingga upaya dari sedert musisi Ibukota yang diantaranya adalah Glenn Fredly
dan Naif, untuk mempopulerkan kembali Lokananta dengan acara bertajuk
#SaveLokananta pada November 2012.
Penjagaan
eksistensi ini juga dilakukan pihak Lokananta dengan merekam ulang dan
mengganti media piringan hitam ke kaset pita. Dari kaset pita kemudian menjadi
kepingan CD dan zaman yang terus berubah membuat Lokananta mentransfer semua
koleksinya dalam bentuk digital. Semua koleksi dari piringan hitam hingga
digital yang masih ada di Lokananta itu dilakukan demi mempertahankan warisan
era terdahulu ke generasi muda sekarang. Tuti Yuniarti (20) salah satu
pengunjung di Lokananta mengatakan bahwa kunjungannya kali ini baru yang
pertama kali. “Saya sering lewat jalan di depan. Tapi yang menarik perhatian ya
cuma The Sunan Hotel. Datang kesini
juga karena rekomendasi teman dan baru nyadar
kalau ternyata di seberang The Sunan Hotel ada Lokananta yang ternyata juga
adalah studio rekaman pertama di Indonesia,” ungkapnya dengan senyum sopan.
Ketidaktahuan
masyarakat sekitar dan wisatawan luar kota mengenai Lokananta ternyata tak
menjadikan pihak Lokananta patah arang. “Selama ini banyak pemberitaan sedih
tentang Lokananta. Bahwa Lokananta adalah studio rekaman pertama di Indonesia
yang bersejarah tapi mulai ditinggalkan. Kami tidak memungkiri itu, tapi kami
ingin bangkit untuk bisa lebih eksis lagi. Kami ingin agar orang-orang tidak
lagi membaca berita sedih tentang Lokananta tapi berita baik. Makanya sekarang
kami secara bertahap mulai melakukan pembenahan,” pungkas Bimo dengan senyum
yang masih tersungging hingga akhir wawancara. Memang tak mudah menjaga suatu
warisan budaya, apalagi ditengah zaman yang terus maju dan peradaban modern
yang mulai memberikan jarak antara generasi baru dengan yang lama. Seperti
halnya menjaga Lokananta agar terus eksis tentunya bukan perkara mudah, tapi
dengan menjaga setidaknya Lokananta akan selalu menjadi bagian penting dalam
sejarah musik Indonesia. (Astini)
0 Comments: