Tawuran. Satu kata yang erat
kaitannya dengan tindakan negatif. Tindakan
yang lekat dengan kehidupan masyarakat bahkan para pelajar yang masih duduk di
bangku sekolah. Tawuran seakan-akan menjadi sebuah tradisi, yang semakin bertambah tahun bukannya semakin menurun, namun justru kasusnya semakin meningkat
dan “dilestarikan” oleh para pelajar. Tindakan anarkis jalanan ini sering terjadi
hanya karena alasan gengsi,
rasa ketersinggungan, hingga atas nama solidaritas, yang bahkan tak
setimpal dengan apa yang mereka lakukan hingga menjeratnya pada ranah hukum.
Tahun 2014 kemarin, kasus tawuran pelajar seakan-akan
tak menyurut dari tahun-tahun sebelumnya, Terbukti, makin banyak berita-berita mengenai
tawuran pelajar berseliweran di berbagai
media. Menelisik definisi dari tawuran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), tawuran diartikan sebagai perkelahian yang
meliputi banyak orang. Parahnya,
tawuran saat ini tak hanya soal perkelahian saja, tetapi merembet pada
pembunuhan yang meliputi banyak orang.
Sudah banyak kasus yang tertangkap media dimana kasus tawuran tak hanya soal
saling berkelahi antar kelompok tertentu,
misal antar geng sekolah.
Akan tetapi, sudah bisa dipastikan dari perkelahian
tersebut memakan korban,
entah korban luka atau korban meninggal. Seperti kasus tawuran yang terjadi di
Sukabumi pada November 2014 lalu yang dilansir dari news.okezone.com, bahwa tawuran pelajar terjadi antara SMK Lodaya dan SMK Negeri Pertanian Cibadak. Kasus tawuran ini memakan empat korban
dari SMK Negeri Pertanian Cibadak. Mereka
terbunuh karena melarikan diri dari tawuran dengan menceburkan diri ke Sungai
Cimahi. Selain korban tewas,
terdapat satu korban pembacokan yang tak sengaja tertangkap oleh siswa SMK
Lodaya. Kasus lainnya terjadi di Bogor pada Februari 2014 lalu, seperti yang dilansir dari portal
berita online antaranews.com, dimana kasus tawuran terjadi antara SMA
Wiyata Karisma dan SMK
Mensin. Kasus ini
menewaskan seorang
pelajar dari SMA Wiyata Karisma, akibat senjata
tajam jenis celurit yang mengenai pelipis
sebelah kananya.
Dua pemberitaan tersebut merupakan
bukti bahwa kasus tawuran saat ini tak lagi soal kenakalan remaja, namun sudah mengarah pada tindakan kriminalitas dengan cita rasa
premanisme yang menjadi bumbunya. Kasus tawuran yang kerap terjadi tak lagi
memakan korban secara fisik, namun
juga memakan korban batin baik dari pihak sekolah, keluarga, maupun warga
sekitar. Terlebih,
saat ini tawuran pelajar tak lagi hanya mengandalkan tangan kosong. Mereka
biasanya membawa senjata tajam,
mulai dari pisau lipat hingga besi sekalipun.
Tindakan tawuran sebenarnya
tergolong dalam tindak penyimpangan, namun
saat ini menjadi
rutinitas yang kerap dilakukan oleh para pelajar. Sepertinya, penggolongan tawuran dalam tindak penyimpangan
tak lagi pantas disandang. Saat ini,
tawuran lebih pantas digolongkan ke dalam gaya hidup atau lifestyle. Hal ini dikarenakan banyaknya kasus tawuran yang tampaknya menjamur karena sebuah “tren,” bukan karena alasan khusus yang
mendasarinya. Gaya hidup negatif ini akan merusak moralitas para pelajar, jika pihak sekolah dan keluarga tak benar-benar
mengawal anak mereka dalam jalan kebenaran.
Saat ini, sudah seharusnya pihak sekolah dan
keluarga saling bekerja sama untuk menekan angka tawuran yang terjadi, setidaknya
meminimalisir kasusnya. Mengingat, jika tidak menjadi perbincangan yang
serius, bisa jadi tindak
tawuran benar-benar berubah menjadi sebuah tradisi dan gaya hidup yang
diidentikkan dengan kata keren.
Padahal,
menjadi
keren tak lantas harus melakukan
hal-hal negatif seperti itu. Membuktikan prestasi baik di bidang akademik
maupun non-akademik yang mampu membawa nama baik sekolah dan keluarga, baru bisa dikatakan keren. Belum
lagi, jika hal ini
terus-menerus
dibiarkan,
premanisme akan tumbuh lebih subur dari sebelumnya dan sudah pasti hal ini akan
meresahkan warga karena
tawuran pelajar berubah menjadi tindak premanisme.
Selain itu, penegak hukum haruslah lebih ketat
dalam mengikat para pelajar untuk tak melakukan tindak tawuran yang merugikan
banyak pihak. Pada dasarnya,
solusi untuk menghindarkan para pelajar dari tindak tawuran bukan dengan menjauhi
mereka sebagai pelaku,
namun mendekati mereka dan mengajak mereka untuk melakukan kegiatan positif. Bukan niatan
mereka melakukan tindakan kriminalitas seperti itu. Banyak faktor yang terkadang
mendorong mereka untuk melakukan
hal tersebut.
Mengingat,
mereka masih dalam masa-masa mencari jati
diri.
Sudah menjadi kewajiban bagi pihak
sekolah, keluarga, dan penegak hukum untuk terus mengawal mereka melakukan tindakan yang positif. Sekali saja mereka melakukan tindakan negatif, maka kedepannya akan mudah bagi mereka
melakukan hal yang serupa. Terkadang, tindakan negatif
yang mereka lakukan bukan karena niatan terdalam dari diri mereka, namun lingkungan yang menjadikan mereka
melakukan hal tersebut dengan alasan pencarian jati diri yang masih labil. Di
masa-masa pencarian jati diri, mereka butuh dukungan moril dari
lingkungannya, bukan olok-olok yang
menyudutkan mereka hingga mereka seakan mudah melibatkan diri dalam hal negatif
sebagai pelampiasan. Jangan salahkan keadaan karena keadaan tak pernah salah.
Tinggal bagaimana kita sebagai manusia memanfaatkannya dengan baik hingga tak
terjebak dalam keadaan yang sulit. ( Chairunnisa Widya)
0 Comments: