Setelah membuminya drama Korea dalam pertelevisian Indonesia,
pertengahan tahun 2014, Indonesia kembali diguncang dengan kemunculan drama-drama manca
yang kali ini berasal dari India. Dengan mengangkat kisah yang memiliki
kemiripan dengan kisah wayang yang menjadi salah satu budaya Jawa.
Mahabarata dengan mudahnya menarik beribu-ribu pasang mata masyarakat Indonesia
untuk menonton tayangan tersebut. Bukan tanpa alasan ketika daya tarik
Mahabarata begitu memikat penonton dari segala kalangan. Tak hanya dari
pemainnya yang dapat dikatakan “sangat pas,” setting
dari Mahabarata digambarkan cukup nyata di tambah dengan pesan moral yang
selalu dapat dipetik dari setiap episodenya. Banyaknya jumlah episode yang
mencapai 230 episode, tak lantas membuat pecintanya bosan untuk menontonnya.
Tak cukup sampai di sini, melihat antusiasme penonton yang cukup
tinggi, beberapa stasiun televisi swasta bahkan berlomba-lomba menayangkan
berbagai judul drama India. Mahadewa, Jodha Akbar, Navya dan juga Shakuntala, beberapa waktu lalu menjadi bukti mulai menjamurnya drama India di Indonesia setelah melihat rating
yang tinggi pada tayangan Mahabarata yang muncul terlebih dahulu. Didukung
dengan jam tayang yang tepat, yaitu pada pukul 18.00-23.00 WIB, mayoritas masyarakat menonton drama-drama manca yang diputar non-stop
oleh salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Saat ini, drama-drama India dengan judul Ashoka, Abad Kejayaan, Baalveer dan Cinta di Langit Taj Mahal menjadi tayangan baru yang menarik perhatian masyarakat.
Menjadi sebuah ironi ketika tak banyak masyarakat Indonesia yang
menyukai tayangan-tayangan hasil karya anak bangsa, mengingat bahwa drama tak
berbeda jauh dengan sinetron. Mengapa bisa demikian?
Pertanyaan ini mungkin akan mudah untuk dijawab oleh mereka para
pecinta drama manca. Sebenarnya tak menjadi persoalan berat ketika mereka tak memiliki
ketertarikan dengan tayangan sinetron dalam negeri. Semua
akan kembali kepada hak mereka untuk memilih. Entahlah, dalam setiap
kemunculannya, sinetron baru di Indonesia cukup memiliki rating yang tinggi, namun,
seolah bersikap “arogan,” sinetron-sinetron ini terus berlanjut hingga beratus-ratus bahkan
beribu-ribu episode dengan alur cerita yang semakin
rumit dan tak jarang “menyimpang” dari judulnya. Parahnya lagi, bahkan pemeran
utama dalam sinetron tersebut pun sudah “enyah” dari setiap adegan di sinetron
tersebut alias udah bosen syuting—mungkin.
Sebenarnya, perkara jumlah episode yang banyak dan alur cerita yang
menyimpang serta rumit bukan menjadi faktor utama tenggelamnya kejayaan
sinetron dalam negeri. Kurang adanya pesan moral yang dapat dipetik oleh
penonton menjadi sebab utama kurangnya minat untuk menyaksikan
sinetron-sinetron tersebut. Pesan moral menjadi suatu hal yang dinilai penting
untuk setiap tayangan di Indonesia. Untuk setidaknya mampu memberikan
pembelajaran mengenai kehidupan kepada para khalayaknya. Sebuah pesan moral
mampu memberikan manfaat tak hanya pada penonton,namun juga kepada tim produksi
sinetron itu sendiri.
Untuk itu, tak hanya berharap akan kemajuan dan perkembangan
tayangan-tayangan sinetron di Indonesia, kualitas dari alur cerita dan pesan
moral yang akan di sampaikan diharapkan mampu bersaing dengan drama-drama manca, sehingga
masyarakat pun turut berbangga dan mampu mengangkat kembali kejayaan sinetron
yang pernah ada. Juga dapat membuktikan kepada seluruh dunia karya anak bangsa
yang bermutu, bermoral dan tetap memegang teguh nilai-nilai budaya bangsa di
kancah dunia. (Salma Fenty Irlanda)
0 Comments: