Beberapa
pekan lalu, di Kota Salatiga, sebuah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) menerbitkan
sebuah terbitan yang menggemparkan bukan hanya kota kecil tersebut, namun jagad
Indonesia. Banyak tulisan dalam sosial media menyebarkan sebuah talutan berisi Majalah Lentera. Hal yang
membuat gempar sebenarnya adalah reaksi berlebihan dari pihak kepolisian
setempat dan juga jajaran tinggi universitas tempat LPM tersebut bernaung.
Dalam
sebuah pemberitaan media online, Sekretaris Jendral PPMI, Abdul Somad
mengatakan “Tindakan Dekan Fiskom (Fakultas Ilmu Komunikasi) UKSW (Universitas
Kristen Satywa Wacana) Daru Purnomo merampas majalah tersebut adalah bentuk
pengekangan kebebasan pers.” Hal tersebut benar adanya.
Masa
sekarang ini, kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah sebuah hal yang
tidak dapat dibelenggu. Dukungan undang-undang serta pengalaman masa lalu (era pemerintahan
Soeharto) menjadi pendukungnya. Namun sebelum berbicara kebasan berpendapat, sebelumnya
mungkin perlu dilihat dari sudut pandang lain, yakni bahasa.
Bahasa
Media
massa dikenal sebagai pilar keempat demokrasi, tapi tak banyak yang tahu bahwa
media massa juga pilar keempat pendidikan, setelah keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Dalam hal ini terbitan mahasiswa tidak terlepas dari konteks
tersebut. Sebagai salah satu sarana pendidikan, terbitan mahasiswa harus
bertanggung jawab dan dapat dipertanggungjawabkan.
Di
ranah media massa, bahasa adalah alat utama. Sirikit Syah, dalam bukunya Membincang Pers, Kepala Negara dan Etika
Media berpendapat bahwa bahasa membentuk dunia, bukan mencerminkannya.
Bahasa bukan lagi alat untuk menyampaikan pesan, namun bahasa dianggap sebagai
pesan itu sendiri.
Sebagai
sebuah pesan, hendaknya bahasa disampaikan dengan cara-cara yang lebih mudah
dicerna, terutama media massa yang dilihat oleh publik yang luas. Pekerja
media, dalam hal ini jajaran redaksi Majalah Lentera, dapat melihat apakah
bahasa yang tertulis telah memiliki makna yang tepat, sesuai dengan konteks dan
tidak menimbulkan kerancuan. Kecuali jika tujuan penggunaan bahasa tersebut
hanya sekadar membuat kontroversi seperti yang dilakukan media ecek-ecek yang bersebaran di dunia maya. Saya tidak tahu.
Judul
di halaman kover dianggap banyak pihak—termasuk kepolisian—terlalu provokatif,
begitulah yang tertulis di beberapa pemberitaan online. Dibanding kata provokatif, mungkin lebih tepat menyebutnya
ambigu—bermakna ganda—sehingga dapat menimbulkan kekaburan dan ketidak jelasan. Judul
yang tertera di halaman kover bertuliskan ‘SALATIGA KOTA MERAH’, dicetak dengan
uppercase, font berwarna merah, dengan
gambar berwarna hitam putih dari sebuah kerumunan yang membawa papan bergambar palu arit.
Merah
memiliki banyak makna. Merah di bendera RI bermakna berani. Merah di lampu
APILL bermakna berhenti. Lalu merah dalam sampul Majalah Lentera bermakna apa?
Apakah pihak redaksi Lentera ingin mengatakan bahwa di Kota Salatiga merupakan
kota yang berani, ataukah bahwa di kota tersebut pernah terjadi sebuah kejadian
merah (berdarah)—seperti pada Bandung Lautan Api—seperti di salah satu
tulisannya, atau bahwa Salatiga adalah sarang PKI?
Dari
berbagai respon masyarakat di sosial media, sepertinya judul tersebut ditangkap
seperti makna terakhir diatas. Sayangnya isi tulisan dari majalah tersebut
tidak menggambarkan hal serupa. Beberapat tulisan menggambarkan kejadian di
luar Kota Salatiga. Judul tersebut tidak mencerminkan isi dari majalah dan tak
menggambarkan situasi Kota Salatiga di tahun 1965.
Hendaknya
pihak redaksi, mengerti konsekuensi dari pengangkatan isu 65 masih berdampak,
terlebih lagi banyak pihak-pihak yang masih terlalu takut mengungkit hal
tersebut. Penggunaan bahasa yang tepat dalam mengangkat kembali isu tersebut
selayaknya dipertimbangkan matang-matang, atau mungkin para pegiat terbitan
mahasiswa masih terlalu malas dalam mengkaji bahasa. Bisa jadi.
Malas
Di
dunia media massa cetak, proses pembuatan berita dilakukan dengan alur yang
lebih panjang. Dari sejak laporan ditulis, diedit, diverifikasi, ditata, dicetak
kemudian diterbitkan dan disebarluaskan. Kesalahan-kelasalahan seharusnya dapat
lebih diminimalisir dengan alur kerja yang sedemikian panjangnya. Juga ketidak
sesuaian dalam penggunaan bahasa.
Andreas
Harsono dalam bukunya, ‘A9ama’ Saya
Adalah Jurnalisme sempat menyinggung satu hal yang kerap menjadi
permasalahan dalam dunia jurnalisme modern, yakni kemalasan. Andreas menuliskan
bahwa dalam kerja jurnalisme sering kali awak media luput dalam melakukan beberapa hal terkait penulisan, terutama
verifikasi dan penggunaan bahasa yang tepat.
Hikmat
dan Purnama Kusumaningrat dalam buku Jurnalistik
Teori dan Praktik juga menuliskan hal yang serupa, penggunaan diksi yang
tidak tepat sering kali menjadi permasalahan dalam dunia pers. Pekerja media
agaknya terlalu malas melakukan pengkajian kepada bahasa yang mereka tulis.
Hal
yang sama mungkin saja terjadi di kasus Majalah Lentera ini. Sebagai pegiat
pers mahasiswa, saya juga sering kali melihat hal serupa. Tidak untuk
mengeneralisasi apapun, namun selayaknya mereka yang berkaitan dengan publik
luas seyogyanya menjauhi kata ‘malas’, terlebih lagi para pegiat media.
Hendaknya
dalam era kebebasan berpendapat dan berkespresi ini, tidak serta merta belaku
tanpa batas. Suatu pristiwa memiliki konteks, suatu bahasa memiliki makna,
hendaknya pers mahasiswa dapat lebih arif dalam menggunakannya. Meski
demikian, saya tetap memberi apresiasi pada tulisan teman-teman UKSW yang telah
menyajikan cerita yang menarik dan berita yang memberi gambaran baru pada
narasi dalam sejarah. (Radityo Kuswihatmo)
0 Comments: