Indonesia
merupakan salah satu negara kepulauan terbesar yang ada di dunia dengan tingkat
pengangguran yang dapat dikatakan masih cukup tinggi. Masalah ketenagakerjaan menjadi
masalah yang tetap pelik selain
masalah-masalah lain, walaupun kepala negara sudah berganti beberapa kali.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seolah menjadi hal yang lumrah untuk menjadi masalah bagi ketenagakerjaan di Indonesia
setiap tahunnya. Padahal, di dalam setiap kampanyenya, calon-calon presiden
yang mencalonkan diri dalam pemilu, tak bosan untuk selalu mengangkat
“peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata” dalam setiap janji-janjinya.
Lantas di mana perginya janji tersebut? Menjadi ironi, bahkan ketika para
petinggi negara yang katanya bekerja
keras demi kesejahteraan rakyat belum bisa untuk mengatasi masalah ini.
Beberapa
waktu yang lalu pemberitaan mengenai PHK lagi-lagi menjadi satu topik yang
tidak pernah absen untuk diberitakan oleh media. Yogyakarta merupakan salah
satu kota yang tak luput dari pemberitaan ini. Jumlah karyawan di Yogya yang
mengalami PHK pada 2015 meningkat ketimbang tahun sebelumnya. Data yang
dihimpun dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnakertrans) Yogya menyebutkan
rata-rata tiap bulan terdapat 27 karyawan dari dua perusahaan yang bergerak di
bidang jasa dan pendidikan mengalami PHK.(Harian Jogja, 16/10/2015).
Mantan
Presiden RI periode 2004 hingga 2014, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan
pernah mengatakan bahwa Indonesia menganut tiga pilar ekonomi. Pertama, ekonomi
untuk kesejahteraan. Kedua, demokrasi makin hidup tapi bermartabat, dan
terakhir adalah keadilan yang menyeluruh, justice
for all. Keadilan ekonomi dan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi,
apakah ini yang dinamakan dengan bentuk keadilan ekonomi? Membiarkan para
tenaga kerja kehilangan pekerjaan tanpa menghiraukan hak-haknya sebagai warga
negara yang juga butuh kesejahteraan.
Visi
Ekonomi Indonesia 2025 bahwa Indonesia yang maju dan mandiri, adil dan
demokratis serta makmur bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang dapat dipahami dengan salah satu butirnya adalah Indonesia yang maju dan
mandiri adalah mendorong pembangunan yang menjamin pemerataan yang
seluas-luasnya, didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas,
infrastruktur yang maju, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
berwawasan lingkungan, serta didukung oleh pelaksanaan politik luar negeri yang
bebas dan aktif. Dengan arahan pendapatan per kapita pada 2025 mencapai sekitar
US$6.000 dengan tingkat pemerataan yang relatif baik dan jumlah penduduk miskin
tidak lebih dari 5 persen. (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
2011:39).
Berkaca
dari Visi Ekonomi Indonesia 2025 tersebut, seharusnya pemerintahan yang baru,
paling tidak “menyicil” untuk menggarap pekerjaan rumah yang diberikan oleh
pemerintahan sebelumnya khususnya dalam hal meningkatkan kesejahteraan tenaga
kerja. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang lama untuk mencapai target-target yang
telah direncanakan bagi kemajuan perekonomian di Indonesia, jika masalah
ketenagakerjaan semacam PHK pun belum mampu untuk ditangani.
Akhir
tahun 2015 nanti menjadi puncak di mana Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
digencar-gencarkan akan mulai diberlakukan. MEA sendiri adalah istilah bagi
pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara bentukan para pemimpin Asean satu dekade
yang lalu. Hal ini dilakukan agar daya saing Asean meningkat serta bisa
menyaingi Cina dan India untuk menarik investasi asing. Penanaman modal asing
di wilayah ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan
meningkatkan kesejahteraan (BBC Indonesia, 27/08/2015).
Namun,
pada kenyataannya persiapan pemerintah untuk menghadapi MEA masih kurang.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Akhmad Heri
Firdaus menilai persiapan yang dilakukan pemerintah untuk menghadapi MEA pada
2015 masih di bawah 50 persen. Kurangnya persiapan tersebut dimulai dari
sosialisasi, tenaga kerja, logistik hingga infrastruktur (Republika Online,
29/04/2014). Jika untuk menghadapi MEA saja pemerintah belum sepenuhnya siap,
lantas bagaimana pemerintah akan menentukan sikap terhadap kurangnya
kesejahteraan bagi tenaga kerja di Indonesia?
Dalam
rangka menghadapi MEA, pemerintah diharapkan mampu melakukan pengawasan dan
antisipasi agar masyarakat Indonesia dapat bersaing di pasar global. Pengawasan
itu dapat diaplikasikan dalam bentuk dua kebijakan strategis untuk melindungi
nasib tenaga kerja Indonesia dan perekonomian negara. Pertama, pemerintah perlu
untuk membuat regulasi yang berpihak kepada pekerja lokal. Dan yang kedua,
pemerintah harusnya membuka lapangan kerja bukan berdasarkan prasyarat dari
investor yang justru lebih menguntungkan pihak asing. Karena, jika idealnya
para tenaga kerja asing bekerja di Indonesia dalam kurun waktu enam bulan, pada kenyataannya di dalam
lapangan kerap kali melebihi waktu tersebut, bahkan hingga dua tahun lamanya.
Jika sudah begini, jangan salahkan jika nantinya banyak demonstrasi buruh yang
menuntut haknya. Dan lagi-lagi, hari buruh pun akan diperingati dengan cara
yang sama seperti – banjir demo buruh -setiap tahunnya.
Kondisi
perekonomian Indonesia yang lebih sering mengalami penurunan dari pada
peningkatan harusnya tak hanya jadi sekedar “tontonan” bagi pemerintah, yang
hanya akan menjadi perhatian sementara dan akan menguap tanpa penyelesaian
begitu saja. Namun juga diperlukan penanganan yang nyata bagi para tenaga kerja
yang belum terpenuhi hak-haknya. Sehingga, apa yang menjadi harapan oleh semua
rakyat tak hanya sekedar harapan. Apa yang menjadi janji oleh para petinggi
negara, tak hanya sekedar bualan belaka yang memupuskan harapan-harapan rakyat
yang menaruh kepercayaan. (Salma
Fenti Irlanda)
0 Comments: