Oleh:
Metta Tysdya Maggandhini.
Mahasiswi
Ilmu Komunikasi FISIP UNS Angkatan 2013
Setelah sempat dibombardir oleh sinetron bermuatan drama
musikal ala Hollywood, Korea Selatan, dan cerita kerajaan India, kini tren layar kaca dipenuhi
serial-serial yang dimainkan bintang berwajah khas Eropa dengan judul unik.
Telenovela kembali lagi ke
televisi meskipun bukan dari Latin, melainkan Turki. Telenovela milik Turki
saat ini menjadi yang terpopuler di antara sinetron lokal. Fenomena ini tentu
menjadi perbincangan dan pertanyaan besar, megapa Indonesia diserbu oleh serial
Turki? Vice president Marketing PR Trans TV, Hadiansyah Lubis menyatakan bahwa
unsur mayoritas agama Islam di Indonesia menjadi salah satu unsur elemen
pendorong maraknya tren tersebut. Meski cerita dan look-nya modern, masih ada
aspek sosial-budaya yang terasa dekat bagi penonton Indonesia. Norma-norma
kepantasan pada serial Turki juga tidak dilanggar, sehingga tontonannya masih
akan terasa nyaman bagi penonton Indonesia (Detik.com, 07/08/2015).
Kehadiran
serial drama Turki ini menjadi
angin segar bagi penikmat sinetron di Indonesia. Setelah muncul banyak komentar
miring tentang sinetron-sinetron yang tayang di Indonesia, yang cenderung
dipaksakan, munculnya tayangan Turki menjadi pilihan dan hiburan yang sama
sekali baru bagi penontonnya. Berbeda dengan kehadiran drama Korea yang
notabene memanjakan kaum muda dan menonjolkan cerita cinta yang dimainkan oleh
artis-artis yang terlampau ‘cute’, serta serial drama india yang banyak
menyuguhkan cerita kerajaan yang begitu kental, tayangan Turki ini hadir dengan
aspek sosial budayanya yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Sehingga, tidak
perlu banyak waktu untuk menyesuaikan diri ketika menonton tayangan Turki ini,
karena rasa-rasanya dekat dengan kehidupan rakyat Indonesia, mulai dari
kesehariannya, alur ceritanya, dan konflik yang terjadi.
Jika diperhatikan, tayangan Turki yang sedang marak di
Indonesia seperti : Cinta di Musim Cherry, Abad Kejayaan, Shehrazat,
Cansu&Hazal, Gang Damai, Yamak Ahmet, dan Elif ini tidak hanya berhasil meng-gaet kalangan muda saja, namun
tayangan inipun sukses digandrungi kalangan ibu-ibu. Ketika kaum perempuan
sudah menjadi penguasa televisi dirumah, terutama ibu-ibu, sudah bisa
dipastikan remote televisi sudah tidak bisa diambil alih pihak lain. Kaum
wanita sangat mudah terbius oleh sesuatu yang memuaskan perasaannya, jadi
merupakan strategi yang tepat sasaran dengan menyuguhkan cerita drama Turki ini
sehubungan dengan kekuatan drama Turki di Indonesia. Topik dan cerita serial
turki menjadi obrolan hangat yang diperbincangkan kalangan ibu-ibu ketika
bertemu dengan rekan kerja, tetangga, atau keluarganya. Hal yang sama pun berlaku
juga bagi kaum muda. Ketika saling bertemu, mereka merasa semakin puas untuk
terus menikmati alur cerita dengan tujuan untuk berinteraksi secara peer group (teman sebaya).
Kekuatan tayangan Turki adalah menjadi hiburan yang
sangat memanjakan pemirsanya. Bagaimana tidak, poin kenyamanan yang berhasil
diberikan, kesamaan cerita dan kemiripan segi sosial-budayanya, ditambah ajakan
kepada pemirsa untuk menikmati keindahan kota Turki secara gratis, membuat
pemirsa betah menatap layar kaca setiap harinya ketika tayangan berlangsung.
Lagi, artis-artis yang rupawan, tak kalah menjadi kekuatan didalamnya.
Dari sisi lain, berbicara mengenai serbuan tayangan
Turki, setelah Korea dan India, kapan ya Indonesia mau meyerbu? Atau tidak usah
muluk-muluk mencuri hati, paling tidak menarik simpati dari penonton dulu saja,
kapan akan tercapai? Jika di negara sendiri saja, industri sinetron lokal tidak
menjadi minat masyarakat, malah menimbulkan komentar-komentar yang kurang
memuaskan? Rasa-rasanya, tayangan Indonesia sedang lelah dan tidak bergairah.
Cerita yang itu-itu saja dengan konflik yang tak berujung sehingga menimbulkan
kesan membosankan, membuat diri merasa tidak berani dan mengatakan ‘jangan’
untuk keluar kandang. Apresiasi yang kurang dari banyak pihak terhadap industri
pertelevisian Indonesia mungkin menjadi salah satu faktornya. Juga ruang bagi
para kreator untuk menciptakan dan menjalankan idenya masih sangat kurang.
Menuruti
tren masyarakat sampai menjadi latah adalah ciri khas pertelevisian indonesia.
Tren selalu berganti, tren korea berganti india, lalu sekarang berganti Turki.
Lebih memilih membanjiri layar kaca dengan tren yang ada, daripada menciptakan
tren itu sendiri.
0 Comments: