Dok. internet/rri.co.id |
Ibarat pepatah, ingin hati memandang pulau, sampan ada pengayuh tiada. Berharap mengerjakan sesuatu tetapi sarana tidak mendukung. Itulah gambaran keberadaan Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia hari demi hari. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 ini lahir dengan mengemban amanat untuk melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan, yang pada pelaksanaan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan pihak manapun.
Namun, kalimat “bebas dari pihak manapun” tersebut sepertinya hanyalah sebuah penghias semata. Pada pelaksanaannya, KPK lebih banyak mendapat kecaman dari berbagai pihak dari pada mendapatkan dukungan. Sepak terjang KPK yang luar biasa dalam menangkap pelaku tindak pidana korupsi, seolah tak kunjung mendapat apresiasi dari lembaga-lembaga tinggi negara yang lain, seperti kepolisian dan kejaksaan.
Berawal dari Cicak VS Buaya
Masih hangat dalam ingatan, konfrontasi Cicak VS Buaya yang pernah menjadi hot topic di Indonesia pada pertengahan tahun 2009. Personifikasi lembaga kejaksaan dan kepolisian sebagai buaya, dan KPK sebagai cicak yang diciptakan oleh salah satu petinggi Polri, Komjen Pol (Purn.) Susno Duadji saat dirinya terlibat dalam skandal kriminalisasi KPK. Pernyataan Susno yang berbunyi “Ibaratnya di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya” telah menimbulkan kontroversi hebat di Indonesia. (Majalah Tempo, 06/07/2009).
Kejaksaan dan kepolisian seolah mulai mengibarkan bendera peperangan setelah banyak oknum dari kedua lembaga tersebut justru merupakan pelaku tindak pidana korupsi. Padahal seperti yang tertera pada profil KPK di laman kpk.go.id menyatakan “KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.”
Sungguh sebuah ironi, lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi kakak dan mampu memberikan contoh yang baik bagi adik-nya malah tidak mampu mendukung kinerja satu sama lain.
Seharusnya Diapresiasi
Sepak terjang KPK selayaknya memang patut untuk diapresiasi. Dalam beberapa tahun, nama KPK mulai menjadi pusat perhatian setelah terungkapnya beberapa kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan para pejabat di lembaga tinggi negara. Pada tahun 2008, KPK berhasil menangkap jaksa Urip Tri Gunawan dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pada tahun 2011, KPK menangkap jaksa fungsional di Kejari Tangerang, Dwi Seno Wijanarto dalam kasus pemerasan terkait penanganan perkara. (Kompasiana, 18/12/2013)
Penangkapan jaksa, seolah semakin membenarkan bahwa menemukan orang bersih dan jujur di Indonesia ini sudah seperti menjari jarum di tumpukan jerami. Padahal kejaksaan merupakan lembaga tinggi negara yang bertugas sebagai penegak hukum yang berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Jika sudah begini, kemana lagi rakyat harus mencari keadilan?
Selama ini, KPK belum memperoleh dukungan yang semestinya baik dari pemerintah, DPR, maupun dari lembaga politik lainnya. Di era pimpinan Abraham Samad, KPK boleh dibilang sukses dalam mengungkap kasus-kasus besar. Banyak anggota DPR seperti Nazarudin, Wa Ode, Angelina Sondakh, dan lainnya. Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Malarangeng, Jendral Polisis Djoko Susilo, Jaksa Aktif Cyrus Sinaga, Mahkamah Konstitusi Akil Muchtar, dan petinggi-petinggi lainnya yang berhasil dihadiahi atribut tersangka oleh KPK.
Tapi lagi-lagi, kinerja lembaga anti korupsi tersebut kembali dijegal oleh pihak-pihak yang mengaku dirinya anti korupsi, namun tak pernah lelah mencari kecacatan dari KPK. Jika dunia adalah panggung sandiwara, mungkin Indonesia menjadi salah satu penggung yang menampilkan pertunjukan komedi yang sungguh lucu dan tak tahu malu. Di awal tahun 2015, Abraham Samad diamankan kepolisian dengan tuduhan pemalsuan dokumen dan paspor milik Feriyani Lim, dan resmi ditetapkan sebagai tersangka.
Kalangan aktivis meyakini, ditangkapnya Samad merupakan upaya pelemahan terhadap lembaga anti korupsi itu. Penyidikan terhadap para ketua KPK adalah langkah balasan setelah sebelumnya KPK menetapkan calon Kapolri Budi Gunawan sebagai tersangka.
Pro Kontra Revisi UU KPK
Baru-baru ini, pimpinan KPK mengadakan rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, berkaitan dengan rencana DPR untuk merevisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dalam draft usulan yang diajukan oleh DPR itu, terdapat beberapa pasal yang dianggap dapat melemahkan bahkan membunuh KPK, salah satunya adalah pembatasan usia KPK yang hanya 12 tahun sejak UU diundangkan. Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas mengatakan bahwa langkah merevisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 amat mungkin melumpuhkan KPK sebagai lembaga yang dilabeli status extraordinary dalam desain besar pemberantasan korupsi sejak reformasi. (Metrotvnews.com, 12/10/2015)
Isra menambahkan, bisa dipastikan bila konsep dalam draft usulan revisi undang-undang tersebut disetujui menjadi undang-undang, KPK akan kehilangan peran dan arti pentingnya dalam desain pemberantasan korupsi di negeri ini. Jika hal ini benar terjadi, mungkin Indonesia akan semakin menjadi sarang terbaik bagi para tikus pencuri untuk melakukan aksinya. Amit-amit jabang bayi.
Tak hanya satu dua pihak yang menganggap banyaknya upaya pelemahan KPK sejak lembaga ini berhasil mengamankan pelaku tindak pidana korupsi di tubuh lembaga-lembaga tinggi negara. Mantan pimpinan KPK, Haryono Umar, menganggap perlahan tapi pasti KPK semakin banyak mendapat tentangan dari kelompok yang tak suka akan langkah pemberantasan korupsi. Upaya membubarkan KPK dengan melemahkan fungsi-fungsinya hanya akan membuat koruptor pesta pora.(BeritaPrima.com, 28/10/2015)
Kembali ke Masyarakat
Pada akhirnya, pihak yang mampu melindungi KPK hanyalah masyarakat sendiri. Dukungan dari segenap elemen masyarakat untuk membabat habis tindak pidana korupsi di Indonesia, menjadi poin tambahan betapa krusialnya keberadaan lembaga anti korupsi ini. Melawan berbagai bentuk kejahatan, salah satunya korupsi memang bukanlah perkara yang mudah. Praktek korupsi di Indonesia seakan telah menjadi budaya yang mendarah daging di kalangan pejabat pemerintahan. Layaknya masalah kemiskinan dan kesejahteraan, korupsi cukup sulit untuk ditangani. Bahkan jika sudah terungkap pun, kebanyakan dari pelaku tindak pidana korupsi hanya mendapatkan hukuman yang tidak lebih lama dari hukuman seorang pencuri sandal. Dengungan kata “tak adil” sudah tak mampu lagi menutupi serangkaian kebobrokan pada keberlakuan hukum di Indonesia.
Jika ada yang mengatakan, uang adalah segalanya, semuanya akan menjadi benar. Ketika uang sudah berbicara, korupsi, suap, dan segala bentuk kecurangan lainnya hanya akan menjadi angin lalu yang tak sedikit pun meninggalkan efek jera. Kalau sudah begini, siapa lagi yang akan dirugikan selain negara dan rakyat? Koruptor pun hanya akan berpesta sembari meneruskan aksinya.
0 Comments: