Dok. VISI/Fauzan |
Oleh: Herdanang Ahmad Fauzan
*Opini ini merupakan pandangan pribadi, bukan atas nama kelompok atau golongan manapun. Dan pandangan pribadi ini saya sampaikan dengan tanpa ada maksud untuk menyinggung, mendisriminasi, ataupun mempengaruhi pihak-pihak tertentu.
Membincang perihal Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender (LGBT) memang seolah tiada berujung. Terlebih semenjak Amerika Serikat (AS) selaku kiblat dunia melegalkan pernikahan sesama jenis di sebagian wilayah negara mereka. Imbasnya, keberadaan kaum penganut LGBT di berbagai belahan dunia — termasuk Indonesia — seolah makin terasa.
Sudah hal yang lumrah apabila di Indonesia (yang mayoritas penduduknya beragama Islam) isu LGBT selalu dipertautkan dengan siksa hujan batu dan petir yang ditimpakan Allah kepada kaum Nabi Luth. Bukan rahasia pula jika sebagian besar kaum Luth pada saat itu merupakan kumpulan pendusta sekaligus pendosa yang tidak ada dalam diri mereka selain nafsu hewani dengan sesama jenis.
Sebagai seorang muslim — sebagaimana rekan-rekan muslim lainnya — sejak kecil guru agama dan guru “ngaji” saya di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) telah mengenalkan saya dengan 20 sifat wajib Allah. Salah tiga diantara sifat-sifat wajib yang dimiliki Allah tersebut adalah Qudrat (Kuasa), Iradah (Berkehendak), dan Ilmun (Pengetahuan). Dari situ pula saya mulai meyakini bahwa kekuasaan Allah tidak terbatas dan kehendak-Nya tidak dapat dipahami sebagaimana manusia atau makhluk lain berkehendak. Keilmuan-Nya pun sungguh tak pantas disejajarkan dengan makhluk.
Sikap saya terhadap kaum LGBT, saya sandarkan pada keimanan saya terhadap ketiga sifat wajib Allah di atas. Dengan Kekuasaan, Kehendak, dan Pengetahuan-Nya, Allah Maha mampu untuk melakukan hal-hal diluar perkiraan makhluk. Jangankan menciptakan manusia dengan orientasi seksual berbeda, menciptakan bayi tanpa lengan dan kaki pun Dia bisa.
Tidak Mengambil Peran
Manusia dengan orientasi seksual berbeda (LGBT) merupakan fakta. Mereka ada dan hadir di dunia ini atas Kuasa (Qudrah), Kehendak (Iradah), dan sepengetahuan Allah. Jikapun Allah tidak berkehendak demikian, pasti mereka tidak akan terlahir di dunia ini.
Sebagai sesama makhluk ciptaan-Nya, sudah kewajiban saya untuk menghormati dan memperlakukan mereka dengan baik. Sikap saya ini merupakan wujud tawadhu’ (rasa hormat) saya kepada Allah sebagai pencipta mereka.
Peran untuk menghakimi ataupun menghukum mereka menurut saya adalah hak mutlak yang dimiliki oleh Allah. Karena keterbatasan saya sebagai manusia, bisa jadi keputusan saya untuk menghakimi dan menghukum mereka tidak sesuai dengan kehendak Allah.
Mari terus berusaha mengintrospeksi dan mengevaluasi diri, serta berusaha mewujudkan kebaikan bersama. Salam.
0 Comments: