Tulisan jenaka di gerbang masuk Taman Budaya Yogyakarta yang digunakan untuk menarik minat pengguna jalan agar mau berkunjung ke Pasar Kangen 2016. (Dok.VISI/Fauzan) |
Di sidang BPUPKI—berdetik-detik usai merenung dalam diam—Mohammad Yamin tiba-tiba bangkit dari kursinya yang mulai panas dan mengeras. Sambil berapi-api ia mengucap sepenggal frasa, “Bhinneka.. Tunggal Ika…”. Ucapan yang kemudian disambung dengan “Tan Hana Dharma Mangrwa” serta dibarengi senyum haru oleh para hadirin lainnya.
Usai sidang itu, Soekarno semakin yakin jika Yamin adalah orang yang tak kenal menyerah ketika berhadapan dengan sejarah. Si Bung paham betul bahwa sejatinya Yamin mengunduh frasa tersebut dari bait kelima metrum ke-139 Kakawin Sutasoma gubahan Rakawi Prapanca semasa era kejayaan Majapahit. Keyakinan Soekarno inilah yang kemudian turut mendorong sang orator untuk mendengung-dengungkan istilah jasmerah (jangan sekali-sekali melupakan sejarah), yang hingga sekarang masih sering menghiasi beberapa bab di buku pelajaran sejarah SD.
Namun sungguh ironis jika kita menengok kondisi terkini di negeri ini. Bhinneka Tunggal Ika seolah hanya diusung sebagai sebait mantra kosong. Tiga kata yang sejatinya melambangkan suasana damai di tengah perbedaan Buddha dan Syiwa ini gagal teradopsi dengan baik. Isu SARA masih menyala, berkobar dengan ganasnya, menyebar dan membakar setiap sudut penjuru negeri.
Berangkat dari keprihatinan semacam di atas, segelintir kaum muda Ngayogyakarta ingin melakukan perubahan besar. Lewat acara bertajuk Pasar Kangen, mereka berusaha menghadirkan kembali nuansa-nuansa sejarah yang terwakilkan dalam wujud puluhan stand nan rapi berjejer. Stand-stand ini menghadirkan berbagai hal yang menggambarkan masa lalu—bahkan inovasi-inovasi dan penemuan dari masa lalu—khususnya yang berasal dari Yogyakarta dan sekitarnya.
Ribuan pengunjung memadati Taman Budaya Yogyakarta pada hari ketiga Pasar Kangen 2016, Kamis (21/07/2016). (Dok.VISI/Fauzan) |
Pasar Kangen merupakan agenda tahunan yang sudah rutin digelar sejak 2007 silam. Mengambil tempat di Taman Budaya Yogyakarta, pagelaran Pasar Kangen kesembilan kali ini telah berlangsung sejak Selasa (19/7/2016) kemarin dan direncanakan akan berakhir pada hari Rabu malam (27/7/2016) mendatang. Adapun Pasar Kangen tahun ini mengusung tema “Pasar aja ilang kumandhange,” yang dalam Bahasa Indonesia berarti “Pasar jangan kehilangan eksistensinya.”
Dalam pembukaannya, Ong Hariwahyu selaku ketua panitia penyelenggara Pasar Kangen kembali menegaskan bahwa kegiatan tahunan ini dilakukan untuk memberi ruang pada pelaku-pelaku tradisi, budaya, dan seni di Yogyakarta. Ia juga mengingatkan kembali bahwa sejatinya acara ini digelar terutama ditujukan bagi mereka yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisi.
Tidak hanya menjadi daya tarik bagi warga Yogyakarta, dari tahun ke tahun—termasuk tahun ini— Pasar Kangen juga berhasil menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan luar kota maupun mancanegara.
Ketika mengunjungi pagelaran ini, saya bertemu dengan Dias (24), salah satu pengunjung yang jauh-jauh datang dari Pekanbaru. “Ternyata seru, barusan saya sudah mencoba minuman wedang kluthuk dan bir djawa,ini mau keliling lagi,” tutur Dias dengan nada semangat ketika diwawancari oleh reporter VISI di sela-sela keramaian Pasar Kangen pada Kamis (21/7/2016) kemarin.
Sementara itu, Wardana (40), salah satu pengunjung asal Gianyar, Bali mengaku alasan utamanya berkunjung ke Pasar Kangen adalah untuk mencari koleksi-koleksi piringan hitam kuno dan melihat kesenian-kesenian kontemporer khas jawa. “Kalau kulinernya bukan tujuan utama, prioritas saya yang lain,” ungkap Wardana.
Pada pagelarannya tahun ini Pasar Kangen menampilkan setidaknya 68 stand kuliner dan 51 stand barang-barang lawasan. Stand-stand yang turut tampil untuk memamerkan diri pun telah terjamin kualitasnya, mengingat sebelumnya sudah dilakukan seleksi terlebih dahulu terhadap setiap pendaftar stand. Tidak sembarang stand boleh masuk dan turut menghiasi Pasar Kangen.
Suroto, salah satu pedagang di stand barang lawasan mengaku sangat antusias. Pria kelahiran Kulon Progo 44 tahun silam ini juga sekaligus mengapresiasi antusiasme pengunjung yang dari tahun ke tahun terus meningkat. “Sudah tiga kali saya ngisi stand di Pasar Kangen, dan dari tahun ke tahun antusiasmenya cenderung naik (meningkat-red),” papar Suroto.
Keramaian di bagian dalam tidak sepadat di bagian luar Taman Budaya Yogyakarta. (Dok.VISI/Fauzan) |
Kalaupun ada yang yang belum maksimal, menurut Suroto adalah komposisi jenis stand yang ada. Menurutnya akan lebih baik jika jumlah stand kerajinan dan kuliner dapat lebih berimbang. “Kelihatan sekali kalau lebih banyak penjual makanannya, semoga tahun depan lebih banyak lagi yang menggelar stand barang dan kerajinan,” pungkas Suroto.
Yang juga membedakan Pasar Kangen kali ini dari tahun-tahun sebelumnya adalah dalam hal penampilan para penjaga atau pedagang stand. Pada pagelaran kali ini mereka diwajibkan mengenakan pakaian tradisi. Terobosan ini tentunya terbilang unik dan cukup berdampak terhadap kian kentalnya nuansa sejarah yang ada.
Masih ada beberapa hari, tertarik berkunjung ke Pasar Kangen 2016?
Seandainya Bung Karno dan Mohammad Yamin masih hidup, saya yakin mereka akan menyempatkan berkunjung, minimal sekedar mampir mencicipi kuliner-kuliner yang ada. (Fauzan)
0 Komentar