Salah satu peserta Solo Batik Carnival 9 memperagakan busana bertemakan candi. (Dok. VISI/Bima) |
Matahari terasa terik di Kota Bengawan. Waktu menunjukkan sekitar pukul 14.00 WIB, sekelompok orang nampak begerombol di dekat taman kota sekitaran jalan Slamet Riyadi. Tampak pula beberapa petugas perlindungan masyarakat (Linmas) yang berjejer di pinggir salah satu jalan utama Kota Solo tersebut. Minggu (24/07) ternyata merupakan Grand Carnival Solo Batik Carnival (SBC) 9, tak heran jika banyak warga Solo dan sekitar yang berbondong-bondong rela menunggu di bawah teriknya matahari demi melihat rancangan desain kostum unik nan indah berjalan.
“Minggir-minggir jangan duduk di taman, nanti tanamannya rusak,” teriak beberapa petugas linmas yang berada di sekitar jalan, meminta pengunjung untuk agak maju ke jalan raya atau mundur sekalian ke jalur pedestrian. Valentinus Darmadi, salah satu petugas linmas yang turut mengamankan jalan jalur SBC tahun ini menuturkan bahwa personil pengamanan SBC tahun ini berasal dari linmas kelurahan yang masuk Kecamatan Pasar Kliwon dibantu beberapa kelurahan di Kecamatan Jebres. Ditemui reporter VISI di sela-sela tugasnya, Valentinus menjelaskan jika petugas pengamanan event besar di Kota Solo—salah satunya SBC ini—biasanya adalah petugas linmas yang dapat jatah piket siang (pukul 14.00 WIB-22.00 WIB). Pria berbadan tegap yang sudah lebih dari 20 tahun mengabdi sebagai linmas ini juga mengatakan sudah empat kali bertugas membantu mengamankan jalannya event tahunan Kota Solo ini.
Gelaran SBC merupakan acara tahunan yang masuk dalam agenda rutin Kota Solo. Mulai diselenggarakan sejak tahun 2008, dan dibuka secara langsung oleh Menteri Perdagangan kala itu, Mari Elka Pangestu, SBC menjadi agenda rutin bulan Juni di kota ini. SBC ke-9 tahun ini mengambil tema “Mustika Jawa Dwipa” yang berarti pusaka dari Pulau Jawa. “Ada empat sub tema yang ditampil tahun ini, yakni unsur senjata yang diwakili oleh keris, bangunan yang diwakili oleh candi (candi Prambanan), musik yang diwakili oleh gamelan dan barang antik yang diwakili oleh lampu,” tutur Yanuar Pribadi selaku art director perhelatan SBC 9 tahun ini.
Penampilan hiburan panggung yang terletak di Benteng Vastenburg (Dok. VISI/Bima) |
Ada Perbedaan
Dalam gelaran yang ke-9 ini, gelaran SBC menyajikan sejumlah perbedaan. Selain tema yang terus berganti setiap tahun, SBC yang di tahun-tahun sebelunya digelar hanya dalam satu hari kali ini diselenggarakan dalam tiga hari selama 22-24 Juni 2016. Dua hari pertama dialokasikan untuk pameran yang berlokasi di area Benteng Vastenburg, pameran ini menampilkan tari tradisi, band, dan komical dance. Kemudian di hari ketiga, Grand Carnival SBC 9 2016 yang merupakan pucak SBC pun dilaksanakan. Di sinilah beraneka kostum unik bermotif batik dipertontonkan di sepanjang Jalan Slamet Riyadi. Hal menarik lain yang membedakan SBC tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya adalah adanya penilaian untuk kostum terbaik bagi peserta karnaval.
Untuk pemilihan venue kegiatan, SBC kali ini menjadikan Benteng Vestenburg sebagai titik akhir karnaval batik, berbeda dengan sebelumnya yang berakhir di Balaikota dan Bank Indonesia. Pergeseran lokasi ini bukan tanpa alasan, Yanuar turut menjelaskan bahwa hal ini dilakukan dengan mengacu pada instruksi Walikota Solo, “Event-event besar akan lebih banyak difokuskan di Benteng, karena salah satu alasannya takut merusak taman jika diadakan Balaikota,” paparnya.
Pengunjung mengajak foto selfie salah satu peserta SBC 9 di jalan Slamet Riyadi (Dok. VISI/Bima) |
Ajang Berkreasi
Solo Batik Carnival 9 tahun 2016 ini diikuti sekitar 235 peserta karnaval dan 60 penari yang melenggak-lenggok di sepanjang catwalk jalan Slamet Riyadi. Diawali dengan iring-iringan mobil pemadam kebakaran yang menyemprotkan air di jalan agar jalan lebih sejuk, diikuti rombongan bapak ibu yang membawa spanduk bertuliskan “Solo Menyapu” serta ucapan selamat kepada Kota Solo yang menerima anugerah Adipura Kirana bersama 5 kota lainnya dalam kategori kota besar di Indonesia berkat kemampuan mendorong pertumbuhan ekonominya melalui Trade, Tourism, and Investment berbasis pengelolaan hidup (attractive city).
Peserta SBC 9 tahun ini selain berasal dari kota Solo ada pula yang berasal dari luar kota, di antaranya Magetan dan Madiun. Mereka rela menetap sementara di Solo demi ikut serta dalam gelaran acara tahunan ini. Tenaga, waktu, pikiran pun tak menjadi halangan bagi mereka agar bisa berpartisipasi. Salah satunya adalah Rani, satu-satunya siswi SMP 24 Surakarta yang ikut memeriahkan acara ini. Total biaya pembuatan kostum yang terbilang tidak sedikit tak menghalangi niatnya untuk ikut berpartisipasi dan melestarikan batik lewat SBC ini. “Kalau aku sendiri habisnya sekitar Rp 1.124.000,” ceritanya sambil tersipu malu saat ditanyai reporter VISI di belakang panggung saat sedang istirahat dan membereskan kostum. Dengan dibimbing 15 instruktur dan 35 volunteer, Rani dan kawan-kawan peserta lain diberi pelatihan pembuatan kostum selama 2,5 bulan.
Sarana Hiburan
Tak diragukan lagi, kehadiran SBC telah menjadi daya tarik wisata Solo. Di antara sekian banyak pengunjung yang hadir, salah satu yang turut menikmati karnaval adalah Sania Damayanti (18). Gadis yang baru saja lulus Sekolah Menegah Atas (SMA) asal Kartasura ini mengaku mencari hiburan di tengah-tenah liburan yang ia jalani. Hal senada juga diutarakan oleh Budi Santoso (32) yang mengaku mencari hiburan di tengah penatnya rutinitas kerja sehari-hari. Budi yang sehari-hari bekerja sebagai Linmas di Balaikota serta memilki sambilan sebagai pembuat shuttercock di rumahnya daerah Pringgolayan, Tipes ingin sekedar melepas lelah serta menghindari kejenuhan di rumah dengan melihat acara-acara yang diadakan Pemkot. Sedikit berbeda dengan Sania dan Budi, Joni mahasiswa Universitas Brawijaya yang kebetulan pulang dari tanah rantau yang memilih menunggu di sekitaran Benteng mengaku acaranya sudah cukup baik, namun masih dianggap kurang meriah.
Meskipun panitia sudah berusaha membuat inovasi dalam penyelenggaraan acara ini, namun tentu saja masih ada beberapa kekurangan yang masih perlu diperhatikan ke depan, seperti masalah kebersihan tempat pasca acara. Solo memang “jualan event” untuk menarik pengunjung dan wisatawan masuk, akan tetapi masalah sampah seringkali kurang diperhatikan. Jangan terlena dengan Adipura Kirana yang baru saja didapat, kebersihan kota juga penting untuk diperhatikan secara seksama. (Eko)
0 Komentar