(Dok. VISI/Hernowo)
Oleh : Hernowo Prasojo
Setiap hari aku selalu melewati
jalan yang sama. Sawah, hutan, pohon serta dedaunan yang rindang selalu
menemani perjalananku pulang. Jika boleh kugambarkan secara sederhana,
perjalananku pulang bukanlah sekedar kesenangan, namun kedamaian. Walaupun
demikian, kadang kedamaian bukanlah sesuatu yang kita cari, bukan? Hal ini
bermula dari lima hari yang lalu, dan entah mengapa saat ini aku berada di tepi
tebing. Lelah dan takut nyawaku hanya berbatasan dengan genggaman tangan gadis
kecil mungil yang sedang berusaha menarikku dari tepi tebing. Dialah gadis
penunggu hujan, orang yang telah menghancurkan hari-hari penuh kedamaianku. Well, kedengarannya mungkin buruk, namun
percayalah, hal ini tak seburuk itu. Kurasa aku akan mulai bercerita dari lima
hari yang lalu saat pertama kali aku bertemu dengannya.
Hari Senin pukul tiga sore, kelas
selesai dan saatnya untuk pulang. Pulang adalah hal yang paling aku senangi di
antara hari-hari kelabu kehidupan sekolahku. Pulang berarti aku akan melewati
hutan dan pepohonan yang berwarna hijau, melihat langit yang berpendar biru,
dan kadang bertemu pelangi yang memancarkan berjuta warna. Namun hari ini
berbeda dengan hari-hari biasanya. Hari ini hujan deras dan sialnya aku tak
membawa perangkat rahasia penangkal air atau disebut juga payung. Dengan
terpaksa aku menunggu di perpustakaan sekolah layaknya seonggok daging di sudut ruangan. Setelah menunggu
dengan muka masam, hujan pun mereda di kala malam tiba. Perjalanan pulang yang
seharusnya penuh warna pun berubah menjadi perjalanan monoton berwarna hitam
pekat.
Di tengah perjalanan, aku melihat
sesuatu yang tak pernah kuperhatikan sebelumnya. Di tengah hutan aku melihat
rumah sederhana berdinding hijau dengan lampu kecil yang menyala. Di balik
tirai jendela, dapat kulihat sepasang mata takut-takut mengawasiku. Akupun
menatap balik. Dan bayangan pemilik sepasang mata tersebut perlahan-lahan menghilang.
Entah mengapa aku tak terlalu peduli, dan terlalu lelah untuk peduli. Namun,
terlihat sekilas bahwa orang yang memandangku adalah seorang gadis kecil.
Keesokan harinya di perjalanan
pulangku, sepasang mata itu terus memandangi dari pangkal sampai ujung jalan.
Entah mengapa hal tersebut menggangguku dan sulit bagiku untuk menghiraukannya.
Rasanya sepasang mata itu membuat warna pelangi menjadi redup, warna pohon
menjadi kusam dan warna langit menjadi gelap. Perjalanan pulangku yang damai
menjadi tak sama lagi. Sudah tiga hari sepasang mata itu mengawasiku tiap kali
aku melewati rute pulangku. Entah, karena sebal atau hanya penasaran, di hari
keempat, aku mendapati diriku mengetuk pintu rumah tersebut saat perjalanan
pulang. Perlahan, aku mendekat ke rumah tersebut, kulirik sekilas dan gadis itu
masih mengawasiku dari balik tirai jendela.
Tok…tok…tok, bunyi ketukanku pada pintu tak kunjung memperoleh respon. Tak ada
tanda-tanda pintu akan dibuka. Agak
lama aku menunggu, pintu kembali kuketuk. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Nihil.
Tak ada tanda-tanda aku akan mendapat sambutan untuk masuk. Dengan langkah
ragu, aku pun berpaling dan bersiap meninggalkan rumah tersebut. Entah mengapa
terdapat sedikit rasa kecewa di hatiku. Namun, sesaat setelah berpaling, pintu
tersebut terbuka dengan suara derikan kecil. Akupun kembali berpaling dan
kulihat gadis kecil yang selalu menatapku saat perjalanan pulang. Tubuhnya
disembunyikan sebagian di belakang pintu dengan mata yang masih terlihat
takut-takut.
Sejenak
aku berpikir, apa alasanku ke sini? Hatiku ragu, tapi sudahlah, lagi pula aku
tak berniat jahat. Aku pun mendekat ke pintu. Kulihat gadis tersebut lebih
dekat. Gadis belia dengan rambut sebahu, usianya sekitar empat tahun di
bawahku. Kulihat gadis itu terlihat semakin takut disertai sedikit raut
keraguan.
“Orang
tuamu ada, Dik?” kataku asal sambil tersnyum.
“Hiks…..Hiks….Hiks……
HWAAAAAAA!!!” tiba-tiba mata bulat itu berlinang air mata.
Seketika
itu aku bingung harus berbuat apa. Aku pun mengajak gadis itu keluar, ke taman
di belakang rumahnya. Aku sengaja memilih tempat ini karena selain
pemandangannya indah, juga dekat dengan jalan setapak. Jadi aku tidak akan
diangap berniat buruk.
“Kamu
kenapa, Dik?” Tanyaku lagi dengan nada
selembut mungkin.
“Hiks..hiks…”
terlihat air mata masih menetes di pipinya.
Setelah itu suasana hening selama
hampir satu jam. Jujur aku bingung apa aku harus meninggalkan gadis ini atau
tetap di sini. Satu jam berikutnya berlalu dan ia tetap tak mengatakan sepatah
katapun. Sempat diriku menengok ke rumahnya, namun tak ada siapapun. Yang ada
hanyalah tumpukan sampah yang baunya dapat membuat orang muntah. Saat ini aku
hanya duduk memandangi hamparan hutan di bawah tebing. Andaikan tak ada gadis
ini di sampingku pasti aku sudah meresapi setiap keindahan warna yang ada.
“Dik, ini sudah sore, Kakak balik
dulu ya,” ujarku seraya berdiri tanpa sedikitpun meminta persetujuannya.
“Kapan hujan?” kata gadis itu begitu
lirih yang sulit kutangkap.
“Eh, iya, Dik?” tanyaku bingung.
“Kapan hujan?” ia ulang tanyanya
dengan suara lebih keras.
“Mungkin besuk,” jawabku asal dengan
raut bingung sekaligus tak peduli.
“Semoga hujan cepat datang,”
gumamnya pelan dengan raut sedih.
“Iya, Dik. Semoga... Kakak pamit
dulu ya...” aku beranjak dan mulai melangkahkan kaki, kuputuskan bahwa pamitku
kali ini harus benar-benar ditunaikan.
Kulihat gadis itu tetap termenung
saat aku meninggalkannya. Aku pun pulang dan tertidur pulas, tanpa merasa
terganggu atau merasa penasaran. Keesokan harinya aku masih tak memikirkannya
hingga akhirnya waktu pulang tiba. Hari ini hujan, dan lagi-lagi aku tak
membawa payung. Aku kembali merasa seperti seonggok daging di sudut ruangan.
Hujan hari ini sangat deras, dan entah mengapa membuatku teringat dengan gadis
itu. Dalam hati aku berpikir apa yang akan dia lakukan saat hujan yang ia
harapkan datang. Didorong oleh rasa penasaran, akupun melakukan sesuatu yang
paling kubenci, yaitu hujan-hujanan. Basah, lembab dan tak bisa melihat dengan
jelas, bahkan ini lebih buruk dari gelapnya warna malam. Akupun berlari menuju
rumah itu, aku ingin segera mengentaskan rasa ingin tahuku dan pulang.
Namun, betapa terkejutnya diriku.
Saat kujumpai gadis itu berada di pinggir tebing dan hendak melompat, akupun
secara refleks berlari secepatnya, memegang tangannya dan menyentaknya ke
belakang. Namun sialnya, kakiku tersandung, alhasil beginilah nasibku sekarang.
Lelah dan takut, nyawaku hanya dibatasi oleh gengaman seorang gadis mungil.
Ukuran tangannya yang kecil membuatku sadar bahwa dia tak akan bisa menarikku
ke atas. Pilihannya hanya dua jika aku tidak mati, maka kami berdua yang akan
mati. Sekejap di dalam pikiranku muncul berbagai macam pertanyaan tentangnya.
“Siapa namanya?”
“Kenapa dia ingin bunuh diri?”
“Mengapa dia menunggu hujan?” serta
banyak pertanyaan lainnya.
Mungkin benar kata orang, saat ajal
mendekat waktu terasa melambat. Aku memikirkan banyak hal dan pada akhirnya aku
harus memilih. Kulihat wajah gadis itu, walaupun basah terkena hujan namun
tangisannya sama sekali tak tersamarkan.
“Tersenyumlah, bukankah hidup penuh
warna?” kataku sambil tersenyum dan menatap wajahnya. Seketika itu pula
kulepaskan genggaman tanganku.
Pada hari itu aku jatuh dari tebing
dan mati.
Mungkin
kalian berpikir bahwa ini sesuatu yang buruk. Tapi sejujurnya tak seburuk itu,
bukankah mati demi orang lain itu sesuatu yang cukup keren? Dan satu hal luar
biasa yang tak akan pernah kusesali, jutaan warna yang bersatu dan berpendar di
kala jatuh. Percaya atau tidak hal tersebut lebih indah dari hal apapun yang
pernah kulihat.
***
0 Komentar