(Dok.Internet)
Oleh: Herdanang Ahmad Fauzan
“Semua (politikus) akan bodoh pada waktunya saat nekat bicara sepak bola”
–Zen RS
Sejujurnya, akhir-akhir ini saya sama sekali tidak tertarik dengan dunia perpolitikan yang semakin terkalut oleh drama. Apa lagi menyoal Pilkada Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Khusus kasus Pilkada DKI, saya punya alasan yang terbilang ringan untuk tidak melibatkan diri: Lha wong saya bukan warga DKI, buat apa ikut sikut-sikutan? Ndak ada untungnya juga bagi saya. Toh sekaya-kayanya para cagub dan cawagub DKI, ndak mungkin saya yang cuma mahasiswa ber-KTP Klaten ini kebagian jatah amplop.
Nyatanya ketika orang-orang di sekeliling saya sibuk mendebatkan perihal Si Petahana yang sedang jadi tersangka kasus penistaan agama, saya justru sibuk mentersangkakan diri bersama dakwaan tugas kuliah dari dosen yang kian tak masuk akal. Pun dengan ketika para wanita di luar sana sedang dimabuk kagum oleh kegantengan pewaris tahta Kerajaan Cikeas yang konon juga nyalon jadi 'DKI 1', saya justru dimabuk kesibukan menemani wanita pujaan saya yang saban hari mondar-mandir ngapel ke tempat mas-mas agen JNE belakang kampus.
Nyatanya ketika orang-orang di sekeliling saya sibuk mendebatkan perihal Si Petahana yang sedang jadi tersangka kasus penistaan agama, saya justru sibuk mentersangkakan diri bersama dakwaan tugas kuliah dari dosen yang kian tak masuk akal. Pun dengan ketika para wanita di luar sana sedang dimabuk kagum oleh kegantengan pewaris tahta Kerajaan Cikeas yang konon juga nyalon jadi 'DKI 1', saya justru dimabuk kesibukan menemani wanita pujaan saya yang saban hari mondar-mandir ngapel ke tempat mas-mas agen JNE belakang kampus.
Namun, saya tak bisa tidak tergelitik ketika tak sengaja mendengar janji kampanye terbaru salah satu pasangan cagub - cawagub DKI terkait dunia si kulit bundar. Janji tersebut bukan keluar dari mulut Si Petahana, bukan pula dari tutur si Pangeran Cikeas. Janji yang saya maksud justru datang dari pasangan Anies Baswedan – Sandiaga Uno. Sepasang cagub-cawagub DKI yang konon sering dieluh-eluhkan kecemerlangan berpikirnya ini belakangan mendadak jadi dungu karena kedapatan menjanjikan mimpi kelewat tak masuk akal. Dalam salah satu sesi kampanyenya di hadapan Jakmania (pendukung Persija) di daerah Cakung pada Kamis (17/11/2016) kemarin, tak tanggung-tanggung Anies-Sandi menjanjikan kehadiran sebuah stadion megah setara Old Trafford, kandang Manchester United. "Stadionnya nanti bertaraf internasional ya. Rumputnya nanti seperti di Manchester United. Tempat duduknya bakal seperti di Jerman, Bayern Munchen ya," ucap Sandi sebagaimana dilansir oleh detik.com.
Mendengar janji tersebut, sontak batin saya tertawa dengan gelinya. Bayangkan saja, berapa persen dari keseluruhan APBD DKI akan terkuras untuk membangun proyek mimpi tersebut?
Untuk menghitungnya, tak usah repot-repot mengkonversi nilai pembangunan Old Trafford yang sudah kelewat usang karena pembangunannya sudah dilakukan sejak 107 tahun silam. Tentu nilai poundsterling kala itu sudah berbeda drastis jika dibandingkan dengan nilai poundsterling saat ini. Mari kita perandaikan saja kira-kira berapa dana yang akan dihabiskan Anies-Sandi untuk mewujudkan proyek mimpi di atas apabila berpatokan dengan total biaya pembangunan Allianz Arena, kandang Bayern Munchen yang juga dijadikan Anies-Sandi sebagai patokan dalam janji kampanye mereka.
Perlu saudara-saudara ketahui, sebagaimana analisis tirto.id, dana yang dihabiskan untuk membangun stadion berkapasitas 75.000 penonton ini kurang lebih mencapai angka 340 juta poundsterling, atau sekitar Rp. 5.684.309.721.832,00 (lima triliun enam ratus delapan puluh empat miliar tiga ratus sembilan juta tujuh ratus dua puluh satu ribu delapan ratus tiga puluh dua rupiah). Padahal, sebagaimana yang kita ketahui bahwa di tahun terakhirnya saja APBD DKI kurang lebih nilainya ada pada kisaran 62,91 tirliun rupiah. Artinya, 9% dari keseluruhan APBD DKI akan terkuras hanya untuk biaya pembangunan stadion. Bukankah hal tersebut terlalu berlebihan?
Belum lagi soal biaya perawatan stadion dan gaji karyawan. Jika kembali melihat Old Trafford yang menjadi rujukan utama Anies-Sandi, perlu diketahui bahwa stadion berkapasitas 75.643 kursi ini menghabiskan biaya perawatan 3 juta poundsterling atau sekitar 50 miliar rupiah setiap tahunnya. Stadion berjuluk Theater of Dreams ini juga mempekerjakan 400 karyawan di hari biasa dan 2.500 karyawan pada hari ketika Manchester United berlaga. Dengan asumsi Upah Minimum Rata-Rata (UMR) DKI senilai 3,1 juta rupiah per orang, bayangkan betapa tidak kecilnya dana yang harus dianggarkan Pemprov DKI setiap tahunnya.
Tak melulu soal permasalahan dana, urgensi proyek pembangunan stadion megah berkapasitas sekitar 75.000 penonton tersebut juga patut dipertanyakan. Jika kita menghitung rata-rata penonton yang datang ke stadion untuk menyaksikan pertandingan secara langsung tiap laga di kompetisi sepak bola nasional, kenyataannya masih sangat jauh dari angka 75.000. Ambil contoh Indonesia Super League (ISL) musim 2012 di mana saat itu kompetisi masih berjalan “normal”, bukan dalam situasi luar biasa seperti liga tahun ini. Menurut data dari PT Liga Indonesia, jumlah total penonton yang datang ke stadion dalam 101 laga ISL terhitung hingga 8 Februari 2012 adalah 970.599 orang atau rata-rata 9.607 penonton tiap pertandingan. Artinya, seandainya proyek stadion megah Anies-Sandi jadi terlaksana, akan ada kurang lebih 65.000 bangku penonton yang kosong melompong ketika Persija sedang melangsungkan laga kandang di Jakarta.
Anies-Sandi seharusnya bisa lebih realistis lagi. Menjanjikan stadion yang layak untuk home base Persija agar tidak lagi terusir dari rumah sendiri memang penting. Namun, pengadaan stadion tersebut tak perlu dibuat berlebihan. Cukuplah dibangun sebuah stadion representatif yang tidak menelan dana terlalu besar. Karena rakyat Jakarta bukan hanya The Jakmania saja. Masih banyak kebutuhan rakyat di sektor-sektor lain yang lebih memerlukan perhatian.
Nasi sudah menjadi bubur. Walau bagaimanapun, Anies-Sandi tetaplah politikus. Meminjam pernyataan Zen RS yang sempat saya kutip pada awal tulisan ini, “Semua (politikus) akan bodoh pada waktunya saat nekat bicara sepak bola.” Lupakan sejenak ketegangan konflik politik yang ada. Untuk sementara, mari kita bersama-sama menertawakan kebodohan Anies dan Sandi. Salam olah raga!
0 Komentar