Judul: Seorang Dokter Desa | Penulis: Franz Kafka | Penerjemah: Widya Mahardika Putra | Penerbit: OAK | Tahun: 2016. (Dok. Internet)
Oleh: Herdanang Ahmad Fauzan
Malam Minggu, 12 November 2016. Saya membuka laman google.com untuk mencari tahu sesuatu. Namun, ketika putaran logo lingkaran di tab google chrome sudah berhenti berputar, perhatian saya seketika tersita oleh gambar dua pasang sepatu di layar monitor. Dua pasang sepatu yang ditumpuk sedemikian rupa dengan tulisan ‘Google’ tersebut memang tidak biasanya muncul di hadapan sepasang mata pengunjung search engine rintisan Larry Page dan Sergey Brin. Usut punya usut ternyata hari itu Google sedang merayakan Hari Ayah Indonesia.
Belum benar-benar usai menerka maksud gambar dua pasang sepatu yang berukuran “bapak dan anak,” pikiran saya terbang ke masa lalu. Pada tanggal yang sama dua bulan silam, tepatnya pada hari Senin 12 September 2016, sebuah paket meluncur begitu saja dari tangan tukang pos menuju muka halaman rumah kost tempat saya tinggal. Paket yang dibungkus rapi dengan kertas payung berwarna coklat kekuningan tersebut memang bukan suatu kejutan. Sudah sejak beberapa hari sebelumnya saya menunggu kehadiran paket itu.
Benar saja. Sesuai dugaan, paket itu berisi surat yang disusun rapi menyerupai buku. Dengan sampul beraksen putih, surat setebal 116 halaman tersebut disertai pula dengan sebuah pembatas buku dan notes kecil bertuliskan “Selamat membaca, mas Fauzan.” Belakangan saya ketahui ternyata notes tersebut ditulis oleh Mas Eka, pemilik salah satu toko buku online langganan saya.
Usai mengendap beberapa hari karena kesibukan yang ada, saya menyempatkan diri membaca 116 halaman bersampul putih yang saya maksud. Franz Kafka, begitu si penulis surat menyebut namanya. Nama yang cukup familiar di beberapa telinga meski tak banyak yang membaca pemikirannya. Di sepetak halaman depan usai judul dan bunga rampai, dengan mesra Kafka menuliskan sepenggal kalimat: “Untuk ayahku…” Saya sempat bingung menerka maksud kalimat itu. Bukankah surat ini jatuh ke tangan saya? Bukankah surat berbentuk buku ini seharusnya ditujukan ke saya yang notabene adalah pembacanya?
Kebingungan itu terus saja terlintas sepanjang saya membaca hampir seperempat isi awal tulisan Kafka. Namun, sejurus kemudian kebingungan yang saya rasakan mulai terkikis sedikit demi sedikit. Rupanya benar, sebagian besar dari isi surat (buku) berjudul Seorang Dokter Desa itu sengaja ditulis Kafka untuk ayahnya sendiri. Dari 14 bagian yang ada—yang kesemuanya dikonotasikan dalam bentuk cerpen fiksi—tak sedikit bagian yang menurut persepsi saya memang sengaja ditulis Kafka untuk sang ayah.
Beberapa tergolong sangat menarik. Salah satunya adalah cerpen berjudul Elf Sohne (Sebelas Anak). Dalam cerpen tersebut, Kafka memang tak banyak bertutur cerita. Ia hanya menarasikan kepribadian sebelas orang bersaudara yang tinggal di satu atap melalui sebuah monolog. Dalam keberjalananan monolog itu, Kafka memposisikan dirinya sebagai ayah dari kesebelas bersaudara tersebut. Dan Kafka, sebagai ayah dalam monolog itu, menggambarkan diri sebagai sosok seorang ayah yang tidak pernah puas terhadap anak-anaknya. Ia mengkritik setiap cacat—baik besar maupun kecil—yang dimiliki oleh setiap anaknya. Konon, cerpen tersebut ditulis Kafka untuk mengekspresikan ketidakpuasannya kepada sang ayah, Hermann, yang dinilai selalu menuntut anak-anaknya untuk menjadi pribadi yang sempurna dan lengkap.
Cerpen di atas juga merupakan kelanjutan surat Kafka kepada sang ayah beberapa waktu sebelumnya. Dalam dua karyanya, yakni Metamorfosis dan Brief an den Vater (Surat untuk Ayah), Kafka secara terang-terangan mengkritik kepribadian sang Ayah yang dinilai kurang memperhatikan anak-anaknya.
Tak melulu soal hubungan keluarga, Kafka juga menyelipkan beberapa karya cerpen terbaiknya dalam buku Seorang Dokter Desa. Dua diantaranya adalah Schakalke und Araber (Jakal dan Orang Arab) serta Ein Bericht fur eine Akedemie (Pidato di Hadapan Sebuah Akademi). Kedua cerpen tersebut konon pernah dimuat di Der Jude, sebuah majalah Yahudi berbahasa Jerman yang terbit dari tahun 1916 sampai 1928.
Cara Kafka menceritakan keluh kesahnya dengan gaya absurd dan surealis namun memukau memang tak perlu diragukan lagi. Kalimatnya selalu sederhana secara fisik, namun rumit secara substansial. Tapi rumit bukan berarti buruk. Terkadang hanya dengan kerumitan-lah seseorang dapat menangkap pesan dan nilai dengan lebih membekas dan utuh. Saya sependapat dengan beberapa kritikus sastra, bahwa tulisan Kafka hanya layak dibaca oleh orang-orang yang mau berpikir.
Membaca beberapa tulisan (lebih tepatnya kumpulan cerpen) karya Kafka dalam Seorang Dokter Desa seolah membuat sadar diri saya sendiri tentang betapa kuatnya pertalian antara seorang anak dan ayah. Dan di momen Hari Ayah Indonesia ini, bila ada di antara kita sedang memerlukan buku bacaan yang dapat menggugah kembali nilai-nilai pertalian serupa, saya kira tidak ada salahnya untuk membaca tulisan-tulisan Kafka—tentunya dimulai dari Seorang Dokter Desa.
Buku harus menjadi kapak yang memecah lautan beku dalam diri kita. Agaknya Kafka memang ingin memecah lautan beku dalam diri kita dengan karya-karya yang amat surealis layaknya mimpi.
0 Komentar