Dok. VISI/ Eko |
Judul :
Sarjana di Tepian Baskom
Pengarang :
Wildan F. Mubarock
Penerbit :
Indie Book Corner
Dimensi :
13,5 x 19,5 cm
Tebal :
194 halaman
Cetakan :
Ketiga, November 2015
Oleh : Eko Hari Setyaji
“Tujuh Desember, Puncak Gantole. Jangan lupa, Gar,
pukul 10.00 WIB! Malam biru tidaklah merindukan pagi, takkan memeluk malam
untuk selamanya.” Ucap Daaris, di akhir perjumpaan singkat yang tak terduga
dengan Tegar saat lomba teater nasional yang bertempat di Taman Ismail Marzuki tahun
ini. Sebuah janji yang tak pernah dilupakan Tegar – salah satu guru pelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di SBI Depok – hingga kini.
Teringat sebuah akronim Jawa, Guru, digugu lan ditiru. Sebuah akronim yang
tampak saat ini tak memiliki makna lebih dari hanya sekedar istilah semata. Di Negeri
makmur loh jinawi. Negeri tongkat dan kayu jadi tanaman. Negeri para wali dan
raja. Negeri para pelaut yang mulai hanyut. Negeri para petani yang perlahan
hampir mati. Negeri yang mulai ngeri oleh serbuan globalisasi. Negeri yang
hampir mati suri oleh jemari luar negeri. Dan masih banyak ungkapan lain bagi
negeri kita tercinta (Indonesia) ini, guru tak lagi dihargai.
Kasus Guru SD diadili karena pukul muridnya dengan
penggaris, hanya karena memberi hukuman kepada sang murid yang berkelahi dan
membuat gaduh kelas; Guru honorer yang diadili karena mencukur dan merapikan
rambut muridnya yang tidak sesuai ketentuan sekolah; Gaji guru non PNS yang
hanya digaji ratusan ribu tiap bulan padahal dirinya rela mengabdikan jiwa
raganya demi mencerdaskan kehidupan bangsa hingga ke pelosok negeri sangat
berbanding terbalik dengan realitas guru di kota besar yang mengejar
sertifikasi tanpa mengajarkan budi pekerti. Potret seperti inilah yang kerap
kita jumpai saat ini. Sungguh miris memang, melihat nasib guru di masa sekarang
ini. Pada dasarnya semua guru ingin memberikan kemampuan
terbaiknya demi terwujudnya cita-cita bangsa yang tertulis rapih dalam UUD 1945
tersebut. Bahkan sudah pula ditempa sejak waktu mereka kuliah. Namun, terkadang
kondisi lingkunganlah yang mempengaruhi.
Novel Sarjana di Tepian Baskom karya Wildan F.
Mubarock ini merupakan novel yang layak dibaca bagi kamu calon guru ataupun
guru. Dikemas secara menarik serta menggambarkan kehidupan sehari-hari saat ini.
Siapa sih yang tidak ingin menjadi sarjana? Siapa juga yang cita-cita masa
kecilnya tidak ingin menjadi guru? Siapa sih yang di rumahnya tidak memiliki
barang murahan bernama “baskom”?
Melalui tokoh utama bernama Tegar, yang tidak lain
merupakan penggambaran tokoh dari penulis itu sendiri – mahasiswa berprestasi
prodi Pendidikan Bahasa Indonesia di salah satu kampus swasta di Kabupaten
Bogor – yang akhirnya mampu mewujudkan cita-citanya mengajar di sekolah
internasional; Didukung tokoh pendamping, Daaris, teman sekelas Tegar dengan
segudang bakat sastra dan IPK pas-pasan yang selalu ia dirindukan; serta
didukung tokoh pembantu lain seperti keluarga Tegar, guru rekan pengajar, dan
murid tentunya, penulis mengalirkan kisah nyata kehidupan sehari-harinya (dulu)
dengan diimbuhi bumbu drama menarik.
Kisah dimulai dari Tegar yang akhirnya berhasil
mendapat gelar sarjana berpredikat lulus dengan pujian (cumlaude) dari kampus swasta yang tak dengar gaungnya di kancah
nasional dan menjadi guru pelajaran bahasa dan sastra indonesia di salah satu
SMP kampungnya. Tegar yang lulusan
sarjana memilih menjadi guru dan hanya
bergaji ratusan ribu tiap bulan tersebut, kerap menjadi bahan gunjingan warga
Kampung Babakan, Desa Sukaraja, Kabupaten Bogor karena nilai gajinya yang kalah
jauh dibanding buruh (kuli) yang hanya sekolah hingga SMA – kuli memiliki gaji
jutaan rupiah tiap bulannya. Mengahadapi keadaan tersebut, Tegar yang menjadi
tulang punggung keluarga – karena sang ayah sudah meninggal dunia – berusaha
tetap sabar dalam menghadapinya sambil mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta
dan mengingat-ingat kenangan bersama Daaris semasa kuliah.
Tak lama bekerja di SMP tersebut, Tegar yang berasal
dari keluarga kurang mampu di kampungnya melamar menjadi salah satu tenaga
pengajar di sekolah bertaraf internasional. Akhirnya berkat segudang
penghargaan dan piagam yang didapat sewaktu masih kuliah, Tegar berhasil lolos
menjadi guru di sekolah tersebut. Suasana baru, iming-iming gaji yang besar, rekan tenaga pengajar yang profesional
dan kompeten tak menjamin tidak adanya konflik. Tegar harus menghadapi
kenyataan, bahwa para murid disini diperlakukan layaknya raja dan ratu di
istana (tidak boleh dimarahi, tidak boleh dibentak, bahkan masing-masing anak
punya pengacara pribadi) – maklum anak orang kaya semuanya, yang setiap
kemauannya pasti terpenuhi. Sehingga guru disini tak terkecuali Tegar harus
ekstra sabar dan memiliki trik tersendiri untuk menghandle hal tersebut.
Lambat laun, setelah mencoba beragam metode, Tegar ulai mampu menemukan metode pengajaran yang cocok dan pas. Tegar pun mulai nyaman bekerja dan berniat mengaplikasikan hobinya bermain teater sewaktu masih kuliah bersama Daaris dengan menjadi guru ekstra teater sekolahnya dan mengikuti lomba teater tingkat nasional. Bermimpi juara 1 pada lomba teater nasional tahun ini, Tegar dihadapkan dengan beragam rintangan, mulai dari minimnya peminat seni karena lebih berorientasi sains, hingga track record sekolah yang tak pernah mencicipi gelar juara di ajang teater tingkat nasional.
Diiringi dengan bumbu-bumbu kehidupan sehari-hari
Tegar dirumah serta kenangan-kenangannya bersama Daaris, cerita dalam novel ini
mengalir seperti air di kali Bengawan Solo. Pelajaran tentang moral dan
kehidupan banyak dipetik dari karya pertama edisi “guru” ini. Meskipun banyak
diselipkan logat daerah, namun bahasa yang digunakan dekat dengan kehidupan
sehari-hari sehingga mudah dicerna dan dipahami. Jika kamu bercita-cita menjadi
guru, seperti Tegar, atau sudah menjadi guru, bahkan (mungkin) tidak sengaja
menjadi guru dan belum menemukan pola yang cocok dalam mengajar, buku ini cocok
menjadi bacaan kamu. Bagi kamu yang bukan atau tidak berkeinginan menjadi guru,
buku ini juga cocok menjadi teman menikmati senja sore hari karena penuh dengan
pesan moral kehidupan sehari-hari dan dibuat ngeh: oh begitu!.
0 Comments: