Judul: Mencintai Sepak Bola Indonesia Meski Kusut | Penulis: Miftakhul Faham Syah | Penerbit: Indie Book Corner | Tebal: 185 Halaman | Cetakan: Kedua, 2016. (Dok.VISI/Fauzan)
Oleh: Herdanang Ahmad Fauzan
Pagi itu, setelah bangun tidur, di halaman belakang
rumahnya Bambang Pamungkas menyempatkan diri menikmati secangkir teh panas
tanpa gula. Kalender menunjukkan tanggal 22 Mei 2008. Sehari sebelumnya, Timnas
Indonesia baru saja menelan kekalahan telak 5-1 dari Bayern Munchen pada laga
uji coba di Stadion Gelora Bung Karno.
Bepe — begitu ia akrab disapa para penggemarnya — tak
mau terlalu lama larut dalam sendu. Pagi itu juga, setelah mengguratkan
beberapa catatan mengenai evaluasi pertandingan kontra Bayern, diraihnya koran
pagi yang belum sempat terjamah penghuni rumah. Perhatian Bepe tersita oleh
salah satu artikel di Jawa Pos yang memuat tentang dirinya. Artikel berjudul
“Ramahnya Oliver Kahn, Arogannya Bambang Pamungkas” tersebut ditulis oleh
Miftakhul Faham Syah, wartawan yang sejatinya merupakan kawan dekat Bepe sendiri. Isi
tulisannya kurang lebih mengkomparasi sikap hangat Oliver Kahn, kiper Bayern
Munchen dengan sikap acuh yang ditunjukkan Bepe ketika keduanya sedang
berhadapan dengan para wartawan di area mixed
zone Gelora Bung Karno.
“Apakah saya
tersinggung? Sama sekali tidak. Bahkan, jujur saya sangat mengapresiasi tulisan
tersebut. Keesokan harinya saya pun menggunakan hak jawab dengan menulis artikel
berjudul ‘Nilai 5’ di website pribadi
saya. Tulisan itu berisi evaluasi saya dalam pertandingan melawan Bayern dan
mengapa saya bersikap acuh kepada rekan-rekan wartawan di area mixed zone Gelora Bung Karno malam itu,”
papar Bepe dalam salah satu pengantarnya.
Tanpa disadari, ada pelajaran berharga dari peristiwa
di atas. Jika kita mau menggali lebih dalam, Miftakhul Faham Syah — si penulis
artikel yang juga sering meliput kegiatan Timnas Indonesia — merupakan
kawan yang memiliki kedekatan personal tersendiri dengan Bepe. Namun, kedekatan
Miftah dan Bepe sama sekali tidak serta merta membuat objektivitas Miftah
terhadap tulisannya terganggu. Ia tetap menulis apa yang ada dibenaknya, menempatkan Bepe sebagai pemain Timnas Indonesia — bukan sebagai rekan dalam kehidupan sehari-hari — serta mengkrtisi sebagaimana mestinya.
Begitulah karakter Miftakhul Faham Syah, atau yang
akrab disapa dengan panggilan Fim. Ia jujur, berani, terbuka, dan apa adanya.
Kejujuran dan keberanian Fim dapat kita rasakan ketika membaca buku pertamanya
yang berjudul “Mencintai Sepak Bola Indonesia Meski Kusut.” Dalam buku
tersebut, Fim menyajikan cerita-cerita sepak bola tanah air dengan pembawaan
yang ringan serta mudah dicerna. Lewat keterampilan teknik menulis, juga
penguasaan kosa kata yang dimilikinya, Fim menuliskan semua isi kepalanya dengan kadar yang pas, tidak berlebihan, sekaligus tanpa mengurangi
pasang surut emosi yang tak cukup berhasil ia sembunyikan.
Pada tulisan berjudul ‘Kostum’ misalnya, Fim
mengisahkan pengalamannya seusai Timnas Indonesia U-19 memenangi pertandingan
final AFF Cup U-19 kontra Vietnam. Fim yang berjumpa dengan Evan Dimas di ruang
ganti stadion mencoba meminta jersey
yang dikenakan kapten Timnas Indonesia tersebut. “Maaf mas, kausnya masih
dipakai lagi,” begitu jawab Evan merespon permintaan Fim dengan nada ramah.
Jawaban polos Evan Dimas seolah menampar keras wajah
persepakbolaan Indonesia. Evan menyadarkan kembali bahwa di tengah kemenangan
Timnas U-19 malam itu, sejatinya persepakbolaan Indonesia masih belum
benar-benar menang. Urusan kecil seperti persediaan kostum saja masih
bermasalah dan serba terbatas. Lalu, ke mana larinya uang-uang dari pihak
sponsor?
Momen singkat seperti di atas kemudian disajikan ulang
oleh Fim dengan gaya kepenulisan yang otentik, tidak berlebihan, sekaligus kaya
akan kesan. Rasanya tepat sekali jika buku ini diberi judul “Mencintai Sepak
Bola Indonesia Meski Kusut.” Judul tersebut merepresentasikan dengan baik dilema-dilema
moral dan mental terkait dunia sepak bola Indonesia dari kacamata Fim sebagai
seorang wartawan.
Seorang pencinta memang seringkali kehilangan
kewarasannya. Dan, dengan gampang Fim memilih menjadi tidak waras ketimbang
menghapuskan cintanya yang getir terhadap sepak bola Indonesia.
0 Comments: