Oleh:
Iim Fathimah Timorria
Saya
merasa bahagia dan tertampar di saat bersamaan meyambut kehadiran uang Rupiah
Tahun Emisi (TE) 2016. Kebahagiaan saya cukup spesial. Pasalnya, beragam wajah
pahlawan dari Tanah Rencong hingga ke Bumi Cendrawasih kini mewarnai lembaran Rupiah
kita. Pemerintah seolah tengah mengakomodir keberagaman pahlawan nasional yang
berasal dari berbagai pulau di Indonesia. Sementara itu, perasaan nyelekit menyapa saya sedetik kemudian mendapati
diri yang tidak benar-benar mengenal sebagian besar pahlawan-pahlawan itu.
“Ealah... Begini kamu ngaku sebagai
bangsa yang besar, Im? Belajar lagi sana!” titah kalbu saya menohok hingga ke
ulu hati.
Saya
akan cepat menghapali figur Soekarno dan Hatta yang tidak pernah alfa menghiasi
uang pecahan seratus ribuan meskipun jarang menyentuhnya. Alasannya sederhana,
seumur hidup saya, uang seratus ribu selalu dua tokoh proklamator itu gambarnya.
Selama belasan tahun mengenyam pendidikan, nama kedua sosok tersebut juga abadi dalam buku teks pelajaran yang saya baca. Hal sebaliknya terjadi ketika
saya mendapati nama Frans Kaisiepo, Dr. K. H. Idham Chalid, Mr. I Gusti Ketut
Pudja, Letjen TNI T. B. Simatupang dan Prof. Dr. Ir. Herman Johannes. Nama-nama
tersebut begitu asing di telinga saya, begitu baru sampai-sampai saya bersusah
payah berselancar di dunia maya untuk sekedar tahu secuil latar belakang
mereka.
Tidak
semua orang merespon munculnya sosok-sosok — yang terasa asing — di uang Rupiah
emisi baru dengan cara mencari tahu. Sebagian mungkin menganggapnya biasa saja,
sebagian mungkin menunggu penjelasan dari yang lain tanpa diminta, dan sebagian
lain memilih untuk memperbarui status di media sosial mereka, berargumen asal,
membuat keributan, hingga menghina tokoh-tokoh tersebut seenak perutnya.
Mulai
dari analisis kosong soal desain uang Rupiah emisi baru yang katanya mirip
Yuan, ciutan perihal foto Tjut Meutia yang tanpa jilbab, hingga wajah Frans
Kaisiepo yang menurut komentar manusia dungu di luar sana, maaf, mirip manusia
prasejarah. Yang terakhir ini saya hanya bisa geleng-geleng kepala sembari
mengutuk dan berdoa semoga dia bisa memperoleh kesempatan berkunjung ke museum
purba di Sangiran. Alasannya? Biar dia tahu bedanya Meganthropus paleojavanicus dengan manusia yang turut berkontribusi
menjadikan Papua masih bersama Ibu Pertiwi.
Saya
jadi teringat semasa kecil dulu diberi uang oleh ibu saya untuk berbelanja ke
warung di dekat rumah. Namanya juga anak kecil yang jarang pegang uang pecahan
besar, uang sepuluh ribuan pun terasa asing bagi saya. “Mah, siapa perempuan
ini?” tanya saya saat itu sambil menuding ke sosok wanita anggun tidak
berjilbab di uang yang saya pegang. Ibu saya lantas menjawab dengan singkat
bahwa itu adalah Tjut Njak Dhien, salah satu pejuang dari Aceh. Jawaban itu
saya ingat-ingat sampai saya nyaris lupa ibu saya tadi minta dibelikan apa.
Kejadian
itu terjadi belasan tahun lalu ketika balada media sosial dan internet belum
populer. Informasi-informasi yang diperoleh kalau bukan dari orang tua, guru,
berita, ya dari sumber bacaan. Pun ketika ingin memperoleh informasi sederhana seperti
siapa tokoh di uang sepuluh ribu. Jadi ketika saya mendapati netizen beramai-ramai menanyakan siapa
tokoh di uang emisi baru tadi dan apa jasanya, saya membatin, “Itu kuota
internet banyak-banyak untuk apa?” Saya Curiga mereka yang malas mencari tahu
ini ternyata menggunakan akses internetnya untuk membombardir akun media sosial
artis mancanegara dengan komentar: Om
Telolet Om. Duh!
Fenomena
enggan mencari tahu pun tampak dari sentimen yang ditunjukkan oleh orang-orang
yang sangat mudah mengeluarkan kata kafir.
“Luar biasa negeri yang mayoritas Islam ini. Dari ratusan pahlawan,
terpilih lima dari sebelas adalah pahlawan kafir,” kira-kira begitu bunyi
sebuah akun milik kader salah satu partai yang mengaku bernapaskan semangat islami. Saya tidak tahu bagaimana perasaan teman-teman saya yang beragama lain tetapi saya sebagai muslim merasa malu dan muak membaca ciutan itu. Dari ciutan si empunya
akun saya berasumsi kalau sebenarnya dia bertanya-tanya kenapa lima dari 12 (ya
12, bukan 11 seperti ciutan akun tadi) tokoh yang muncul di uang terbaru datang
dari kelompok kafir? Indonesia kan negara
mayoritas berpenduduk muslim? Kalau memang anda sangat penasaran dengan latar
belakang pemerintah memilih tokoh-tokoh yang anda sebut kafir itu, kenapa tidak
mencoba mencari tahu?
Yudi
Harymukti, Deputi Direktur Departemen Pengelolaan Uang BI membeberkan kepada Tempo alasan dipilihnya wajah-wajah baru di
uang Rupiah emisi 2016 (21/12/2016). Bukanlah hal yang mudah menetapkan
pahlawan nasional mana yang akan menjadi wajah pecahan-pecahan uang baru. Rentetan
proses panjang dan koordinasi dengan akademisi, sejarawan, tokoh masyarakat dan
keluarga pahlawan terkait harus dilalui sebelum uang-uang ini diluncurkan. Yudi
juga menambahkan harus ada keterwakilan daerah tanpa memperhatikan latar
belakang agama dan gender. Saya ulangi: keterwakilan dan tanpa memperhatikan
latar belakang agama dan gender.
Sebagaimana
yang sempat saya paparkan di awal tulisan, alasan kebahagiaan saya adalah
karena tokoh-tokoh pahlawan di uang baru berasal dari berbagai daerah. Hal ini
seperti pengingat bagi kita bahwa yang berjuang dan berjasa bukan berasal dari
kawasan tertentu, tetapi berasal dari berbagai wilayah di penjuru nusantara.
Kalau sudah begini, apa masih mau beranggapan terdapat muslihat kristenisasi?
Apa sesulit itu untuk tidak nyinyir? Mbok yo cari tahu dulu.
Singkat
cerita begini. Saya hanya penasaran, apakah mencari tahu sekarang sangat sulit
untuk dilakukan? Pramoedya dalam Bumi
Manusia menulis, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam
pikiran apalagi dalam perbuatan.” Berasumsi dan berkomentar tanpa mencoba
mencari kebenaran terlebih dahulu, menurut saya adalah bentuk pengkhianatan
terhadap keadilan dalam berpikir. Saya tidak tahu apakah ini saran yang baik
atau buruk, tetapi izinkan saya berpesan: kenali dulu baru berkomentar, iqra — baca — baru tulis. Salam hangat.
0 Comments: