https://pixabay.com |
Oleh : Erna Wati
Setiap hari aku melihat. Setiap hari pula aku mendengar. Aku mengerti apa yang terjadi. Bahkan aku sangat mengerti. Bukankah aku menjadi beban dalam hidupmu?
Aku telah berusaha jadi yang kau mau. Banyak hal telah aku lewatkan untuk dapat memberikan yang terbaik untukmu. Percuma. Semua hal baik dari diriku hanyalah angin lalu yang dengan cepat menjadi badai untuk hidupmu. Ku sadari sekali lagi, aku adalah beban. Selamanya akan menjadi beban.
Baiklah. Kini aku diam. Ku biarkan semuanya berjalan seperti apa yang kau mau. Namun, apa yang ku terima? Makian, kemarahan dan emosi.
"Kapan kamu akan mengerti?" tanyamu padaku.
Kau tanya kapan? Bagaimana mungkin kau tanyakan itu? Haruskah aku tunjukkan betapa jiwa dan ragaku luka ketika mengerti semuanya? Tidak. Kau tidak akan menemukannya. Luka itu sekarang telah membeku.
"Aku berusaha mati-matian untuk kamu. Aku bahkan bersedia menerjang badai agar kamu dapat selalu bahagia. Agar kamu dapat sebahagia wanita lainnya," ungkapmu.
Cukup. Harus berapa kali aku mengatakannya? Aku mengerti. Aku mengerti bahwa kau berjuang keras untuk dapat membuatku bahagia. Tapi kau yang selama ini tidak mengerti. Aku berusaha membuatmu berhenti berjuang demi aku. Berhentilah mempertaruhkan hidupmu untuk hidupku. Yang kau lakukan saat ini hanyalah membuatku terbunuh secara perlahan.
Aku pun menjawab, "Bukannya aku tak mengerti. Aku hanya ingin kau mengerti bahwa kebahagiaanku bukan melihatmu mati ketika menerjang badai untukku Aku ingin bahagiaku adalah ketika kita bersama melewati semuanya. Bahkan jika kita harus mati bersama di tengah badai,"
0 Comments: