(Dok. Internet)
Oleh: Saad Fajrul Aziz
(Penulis adalah mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional, FISIP UNS)
Mendapati berita terkait dugan keterlibatan bupati Klaten,
Sri Hartini dalam kasus suap sebenarnya tidak terlalu mengagetkan. Toh kepala
daerah lain pun sepertinya melakukan hal yang tidak jauh beda. Kabar yang sebenarnya
cukup membuat saya menggelengkan kepala adalah ketika mendapati bahwa suaminya
yang juga mantan bupati Klaten pun pernah terlibat kegiatan korupsi.
Jika merujuk kepada Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka suap juga termasuk dalam kategori
korupsi. Dengan kata lain, pasangan suami istri tersebut telah sama–sama melakukan
tindakan korupsi ketika sedang menjabat di posisi yang sama. Frasa yang
sekiranya tepat untuk menggambarkan pasangan tersebut adalah partner in crime. Yang dimaksud crime disini tentu sana kriminalitas
yang sesungguhnya, bukan sekadar menggunjing dosen sebelum kelas dimulai.
Namun, dalam tulisan ini saya tidak akan menyinggung
lebih jauh kegiatan korupsi maupun dampaknya pada stabilitas nasional. Saya
lebih ingin membayangkan nasib seseorang andai menjadi anak mereka.
Jika seorang anak memiliki orang tua koruptor maka
yang terjadi setidaknya anak itu akan menjadi sassaran bully teman sekolahnya. Belum lagi pandangan tidak sedap dari
tetangga yang akan beranggapan bahwa kaos kaki sampai tas si anak tersebut
adalah hasil korupsi. Tekanan macam ini tentunya akan berpengaruh pada
pertumbuhan si anak.
Si anak yang tidak terlalu paham apa itu korupsi tiba–tiba
mendapati juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) muncul di televisi dan
menyebut–nyebut bahwa bapak dan ibunya mencuri uang negara. Ia yang hanya tahu
sekolah dan tempat bimbingan belajar harus selalu mendapat tatapan merendahkan.
Mau pergi ke mana si anak untuk sembunyi? Yang saya bayangkan adalah sampai
dewasa si anak akan selalu merasa tertekan. Ia yang sedari kecil selalu
dianggap apa–apa yang dimilikinya sebagai hasil korupsi akan berpikir bahwa
meski ia memperoleh sesuatu secara halal pun akan tetap dianggap hasil korupsi.
Akhirnya si anak akan melaksanakan amanat dari sebuah
frasa "terlanjur basah mencebur saja sekalian.”
Lalu ia betransformasi menjadi seorang koruptor profesional seperti orang tuanya—itu
pun jika dia belum terlanjur bunur diri.
Tindakan korupsi tidak dapat dibenarkan apa pun
alasannya. Sedikit atau banyak negara tetap saja dirugikan. Saya yakin perilaku
korup tidak muncul secara genetik sebagaimana beberapa penyakit seperti AIDS.
Namun perlu disadari bahwa buah tidaklah jauh dari pohonnya. Sebuah pepatah
lama yang kiranya dapat diambil hikmah darinya. Perilaku anak cenderung akan
mengikuti orang tuanya. Karena harus diakui bahwa orang tua adalah tempat
pertama anak belajar. Kecuali tentu saja anak yang sial karena dibuang orang
tuanya.
Santai saja, saya tidak sedang menyindir kelakuan kaum
adam yang masih lajang. Pengalaman bergaul selama ini membuktikan perilaku
teman–teman saya tidaklah jauh dari orang tuanya. Seorang anak yang kamar
kosnya selalu rapi ternyata juga tinggal di sebuah rumah yang senantiasa rapi
ketika saya berkunjung.
Bayangkan saja jika perilaku korup orang tua menurun
ke anaknya. Terlebih, dalam kasus ini kedua orang tuanya sama–sama korupsi.
Tidak bisa dibayangkan potensi seperti apa yang mereka turunkan ke anaknya.
Namun ini hanyalah imajinasi dari saya. Toh saya adalah buah yang jatuh jauh
dari pohon. Orang tua saya pandai mengumpulkan uang, saya pandai menghabiskannya.
0 Comments: