Dok. Internet |
Judul : Kisah Sang Penandai
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Mahaka Publishing
Cetakan : VII, Desember 2015
Jumlah Halaman : 295 Halaman
Oleh : Pitaloka Palupi
Pencinta Sejati tidak akan pernah menyerah sebelum kematian itu sendiri datang menjemputnya
-Tere Liye
Kalimat iti seakan-akan menjadi benang merah dari seluruh kisah. Dongeng masa kecil yang biasa kita dengar sebelum tidur ternyata bukan bualan semata. Adalah Sang Penandai yang bertugas menggurat dongeng-dongeng yang dibutuhkan dunia, menceritakan dan menjaga agar tetap abadi dikenang setiap generasi. Melalui dongeng lah, nilai-nilai luhur dan kebudayaan tertanam kuat dibenak setiap anak yang mampu memahaminya.
Diawali dengan kisah kesedihan Jim yang kehilangan cinta sejatinya, Nayla, akibat dari ketidakberaniannya memperjuangkan pujaan hati. Dengan perasaan bersalah, Jim menjalani hidup tanpa sedetikpun melupakan Nayla-nya. Hingga suatu takdir membawanya bertemu dengan Laksamana Ramirez yang juga digariskan membawa dongeng miliknya serta Pate yang berusaha menemukan dongeng sejatinya.
Perjalanan laut menuju Tanah Harapan dilewati Jim yang lebih dikenal sebagai Kelasi Rendah Yang Menangis karena beban masa lalunya yang tak kunjung terlupakan. Dilain kisah, Laksama Ramirez berjuang memenuhi janji dongengnya pada Sang Penandai untuk menggurat dongeng yang sesuai benar dengan masa lalu, masa sekarang, dan masa depannya. Tak kalah, Pate yang pada awal cerita hanya seorang kelasi kulit hitam rendahan, berubah menjadi Kepala Pasukan di Pedang Langit yang memilih dongengnya sendiri.
Betul bahwa segala penyesalan tak kan ada ujungnya bila kita tidak benar-benar mampu memeluk semua rasa sakit dan mengucap kata “damai” dengan masa lalu. Nilai-nilai kesabaran, ketulusan hati, dan memaafkan selalu dihadirkan Tere Liye pada setiap karyanya. Melalui Kisah Sang Penandai, Jim belajar mengenai harga sebuah penantian kesabaran dengan memeluk semua rasa sakit yang dideranya bertahun-tahun ditinggal kekasih hatinya, Nayla.
Masih dalam zona nyamannya, Tere Liye menjaga ciri khas karya yang dibuatnya dengan tetap menanamkan nilai-nilai kebaikan. Namun, novel yang digadang-gadang best seller ini tidak cukup menyaingi novel karangannya sendiri. Dalam 294 halaman, alur dibuat sedemikian rupa hingga pembaca dibuat bosan. Sebagian besar latar tempat dihabiskan di tengah laut, dengan kegiatan yang itu-itu saja. Meskipun konflik yang dihadirkan membuat kekecewaan pembaca sedikit banyak terobati.
Terlepas dari itu, novel ini cocok dibaca selagi mengisi liburan akhir semester bagi mahasiswa/i penerus bangsa. Sifatnya yang lebih sering galau tentang cinta dibanding tentang IPK, membuat pembaca diajak menerima semua rasa sakit yang pernah dialami dan mencari hikmah dibalik terjadinya suatu peristiwa. Tiada apalah cinta pertama pergi meninggalkan, dosen memberi nilai sesuai suasana hati, namun dibalik semua rasa pedih itu tersimpan pelajaran yang selalu berharga bak mutiara hitam di dasar samudera.
0 Comments: