(Dok. Internet)
Oleh: Herdanang Ahmad Fauzan
Mungkin memang benar, bahwa cara paling gampang untuk menghancurkan peradaban tertentu adalah dengan melenyapkan buku-buku yang dimilikinya. Dalam pertautan sejarah, pemusnahan buku terbukti menjadi jalan yang banyak ditempuh
oleh individu, lembaga, bahkan oleh suatu pemerintahan guna menjatuhkan pihak
lawan yang dianggap memiliki idealisme atau sikap berbeda.
Pada 10 Mei 1933,
sekelompok pemuda Nazi membakar 25.000 buku yang dianggap tidak sesuai dengan
semangat fasisme mereka. Bahkan sebagaimana dilansir oleh
Poets, Essayist, and Novelist (PEN),
selama pergolakan Perang Dunia II setidaknya Nazi telah membakar lebih dari 100
juta buku di daerah pendudukan mereka.
Kasus serupa juga pernah
terjadi di Spanyol. Pada tanggal 15 Januari 1939—usai kekalahan dari pasukan
nasionalis—sisa-sisa barisan pendukung rezim Franco membakar bangunan Perpustakaan Pompeu Fabra beserta seluruh buku
koleksinya. Konon, perpustakaan tersebut merupakan pusat pengarsipan buku-buku berbahasa Catalan.
Tak hanya di peradaban
asing sebagaimana dua contoh di atas, di Indonesia pun pemusnahan buku memiliki riwayatnya sendiri. Jika kita mau mundur ke belakang, sudah merupakan
rahasia umum jika di era orde baru penyalahgunaan wewenang sensor buku mencapai
titik didih paling klimaks. Hampir semua buku bernada kiri diberangas habis oleh
pemerintahan Soeharto.
Pramoedya Ananta Toer
bahkan mengalami nasib yang lebih naas. Di masa pemerintahan Sukarno, karyanya
yang berjudul Hoakiau di Indonesia dilarang
terbit dan berujung pada dijebloskannya Pram ke penjara. Kemudian, Tetralogi
Pulau Buru-nya dikecam oleh era Soeharto. Maka resmilah status Pram sebagai
penulis yang dimusuhi dua rezim sekaligus.
Namun, apakah pengekangan terhadap kebebasan peredaran buku sudah berakhir?
Apakah keberhasilan angkatan 98 meruntuhkan rezim orde baru telah membuka jalan
untuk mengakhiri pembungkaman buku di Indonesia?
Jawabannya adalah tidak.
Bukannya membuka jalan yang lebih lapang untuk kebebasan membaca, reformasi justru menghadirkan tangan-tangan kotor baru dan keleluasaan yang lebih bagi para pembungkam buku.
Lebih parah lagi,
pembungkaman justru sering dilakukan atas nama Undang-Undang. Seperti yang
dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen pada 2009. Atas nama 'UU
Nomor 4/PNPS/1963 Tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum,' JAM Intel melarang beredarnya lima buku yang dianggap
mengganggu ketertiban umum. Termasuk dalam kelima buku tersebut adalah Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa serta Lekra Tak Membakar Buku karangan
Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. Padahal, menurut pakar hukum Mahfud MD sebagaimana dilansir hukumonline.com, Undang-Undang tersebut tidak bersifat mengikat, bahkan justru bertentangan dengan semangat UUD 1945.
Jika mau contoh yang lebih baru, tentu masih
segar dalam ingatan kita ketika pada tahun 2012 lalu Gramedia membakar beberapa
koleksi mereka sendiri karena desakan Front Pembela Islam (FPI). Atawa ketika Kodam Siliwangi dan Pemerintah Kota
Bandung membatasi beroperasinya Perpustakaan Jalanan Bandung pada penghujung 2016 kemarin.
Pembungkaman buku tak
akan pernah berakhir, dan reformasi justru menjadi lampu hijau baru. Oleh
sebab itu, sebagai insan berakal sehat,
sudah sewajarnya jika kita, mahasiswa, berusaha melawan kebiadaban tersebut.
Membela kebebasan peredaran buku adalah hal yang tak kalah penting ketimbang
menimbulkan huru-hara dan membakar ban di tengah jalan untuk kebijakan yang—bisa jadi—rakyat justru
diuntungkan karenanya.
Upaya sejumlah
aktivis di Amerika Serikat untuk mengadakan acara-acara seperti Pekan Buku
Terlarang (Banned Books Week) adalah hal yang juga patut kita contoh dan teladani.
Tentunya mencontoh bukan berarti harus melakukannya dengan cara yang sama.
Sekedar membaca buku lalu menyebarkan pesan-pesan bermanfaat di dalamnya kepada orang di sekitar kita saja sudah merupakan suatu usaha yang tidak kalah suci.
Sebagaimana kata Milan Kundera, melawan pembungkaman buku adalah upaya melawan lupa. Membaca
buku bisa berarti sebagai suatu langkah mengikuti napak tilas sejarah, menggali kenapa filsafat
bisa menjadi candu, serta memahami bagaimana sastra bercerita tentang kebenaran lewat dusta-dustanya. Sebaliknya, membaca buku juga bisa jadi sekadar upaya riuh
membosankan di tengah rutinitas lainnya. Semua tergantung dari bagaimana diri kita memaknai kedudukan buku.
0 Comments: