Mahasiswa
FISIP UNS sedang melakukan presensi kuliah. Kehadiran mahasiswa minimal 75% dari jumlah pertemuan tiap semesternya menjadi salah satu syarat untuk mengikuti UTS dan UAS. (Dok. VISI/Mekar)
|
Di kalangan mahasiswa saat ini terdapat istilah yang bermakna ganda. TA,
bagi para dosen dan sebagian mahasiswa istilah ini memiliki arti sebagai Tugas
Akhir. Akan tetapi, penggunaan istilah ini dapat diartikan pula sebagai Titip
Absen (TA). Fenomena titip absen—baik sebagai penitip maupun yang dititipkan—semakin marak terjadi di kalangan mahasiswa. Beragam hal
dijadikan alasan oleh
mahasiswa saat melakukan perilaku tidak jujur ini.
“Saya melakukan TA biasanya kalau ada acara seperti seminar atau workshop yang ingin saya ikuti. Karena
tidak bisa memberi surat izin dengan alasan ikut seminar, akhirnya lebih memilih TA,” ungkap Ardea Ningtias, mahasiswi Ilmu Komunikasi 2016 saat
diwawancarai reporter VISI, Rabu
(15/3/2017).
Berbeda lagi dengan Dwi Aprilia Wahyuningtiyas. Mahasiswi D3 Advertising 2015 ini
mengaku jika ia hanya melakukan
TA ketika terlambat atau sakit dan belum sempat membuat
surat izin. Sedangkan saat dititipi TA oleh teman sekelasnya, “Kalau saya dititipkan biasanya karena teman saya yang
merasa sedang tidak mood kuliah
ataupun malas,”
imbuh Dwi.
Banyaknya mahasiswa yang melakukan TA merupakan problematika yang perlu
penanganan dan perhatian khusus oleh semua pihak, termasuk dosen.
Salah satu dosen yang menaruh perhatian lebih terhadap presensi mahasiswa
ialah Rosyid Ridlo. Dosen yang kesehariannya mengampu mata kuliah Pendidikan
Agama Islam tersebut rajin melakukan pengecekan presensi mahasiswanya di kelas,
terutama jika kelas terlihat sepi tetapi presensi mahasiswa penuh.
“Saya
tanya siapa yang memalsukan tanda tangan pasti kan
banyak yang tidak ingin mengaku, paling mahasiswa yang TA itu saya ancam tidak
diberi nilai dan suruh menghadap saya. Setelah itu ada pengurangan nilai pada afektif
atau sikapnya,” papar Rosyid saat
ditemui reporter VISI di ruangannya, Senin
(20/3/2017).
Berdasar Peraturan Rektor No. 316/UN27/PP/2012, tiap
semester jumlah persentase
kehadiran mahasiswa di kelas minimal harus mencapai 75% dari jumlah total pertemuan
perkuliahan. Jika tidak bisa memenuhi syarat itu, maka mahasiswa
terkait tidak boleh mengikuti Ujian
Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS).
Pada dasarnya, dalam suatu sistem perkuliahan tidak semua dosen dapat mengontrol
kehadiran para mahasiwanya di kelas. Apa lagi jumlah mahasiswa dalam suatu kelas sendiri
dapat mencapai 50 mahasiswa atau lebih. Akhirnya, beberapa dosen seperti Dwi Tiyanto—salah
satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi—lebih memilih percaya
terhadap kejujuran mahasiswanya dalam mengisi daftar presensi.
“Secara pribadi saya lebih memilih percaya pada mahasiswa atas tindakan
yang diambilnya, walau terkadang saya akan memberikan pelajaran berupa moral
bagi mahasiswan yang ketahuan melakukan titip absen,” ujar dosen yang akrab disapa Dwi tersebut saat ditemui
reporter VISI di ruangannya, Rabu (15/3/2017).
Saat ini beberapa kampus di Indonesia sudah menggunakan sistem presensi digital
untuk mahasiswa, baik berupa finger print
maupun barcode dengan kartu.
Penggunaan sistem ini mempunyai kelebihan dan kekurangan masing masing.
Kelebihannya berupa pencegahan fenomena titip absen, sedangkan kekurangannya
dosen tidak dapat secara langsung mengontrol kehadiran dari mahasiswanya.
Meskipun memiliki kelemahan, sistem ini dianggap lebih efektif
menanggulangi fenomena TA yang terjadi di FISIP UNS. Hal senada juga
diungkapkan Dwi Tiyanto. Menurut Dwi, penggantian ke sistem digital dapat menjadi solusi untuk mengurangi jumlah pelaku TA di kampus.
Sementara itu, berbeda
dengan Dwi, Rosyid justru kurang
sependapat jika sistem absensi di UNS harus diganti menjadi sistem digital. “Sepertinya kurang
efektif untuk dosen bisa mengontrol siswa secara langsung di dalam kelas,”
pungkas Rosyid. (Mekar, Rifa)
0 Comments: