Judul: Le
Petit Prince (Pangeran Cilik) | Penulis: Antoine De Saint-Exupery | Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama | Tahun: 2015 | Tebal: 120 halaman | Bahasa: Indonesia (diterjemahkan dari bahasa Perancis).
|
Oleh: Aisyah Nur'ayni
Menjadi dewasa
terkadang memang menyenangkan, karena bisa melakukan ini itu tanpa banyak
larangan. Tapi, bagaimanapun masa kecil yang dialami sebelumnya toh nyatanya
kita akan tetap merindukannya dan bahkan ingin kembali ke sana.
Kisah ini diawali
dari tokoh 'aku' yang menceritakan masa kecilnya. Ia adalah seorang anak
kecil yang senang menggambar, namun kegemarannya itu terpaksa ia tinggalkan
karena dianggap oleh orang dewasa sebagai suatu hal yang tidak terlalu penting
untuk masa depan. Ia kemudian mempelajari ilmu yang dianggap lebih penting
seperti ilmu bumi, sejarah, ilmu hitung, dan tata bahasa.
Hingga ketika
beranjak dewasa, tokoh 'aku' menjelma menjadi seorang yang gemar dengan dunia
penerbangan dan bahkan ia telah mengelilingi dunia dengan kemampuannya
mengendalikan burung bersayap besi kala itu. Kemudian, suatu ketika ia
dan pesawatnya terjatuh di dataran Afrika yang mana tempat tersebut ribuan mil
jauhnya dari pemukiman manusia. Di tempat itulah
kemudian ia bertemu dengan seorang anak laki-laki dari planet lain, yang ia
sebut sebagai Pangeran Cilik. Pangeran Cilik-lah yang menemani hari-hari tokoh 'aku' selama terdampar di dataran Afrika.
Banyak hal janggal dari kehadiran Pangeran Cilik yang dirasakan oleh tokoh 'aku'. Mulai
dari kedatangannya yang tiba-tiba—padahal tempat itu sangat jauh dari pemukiman
penduduk—hingga perkataan-perkataan Pangeran Cilik yang penuh teka-teki dan
sulit untuk dipahami.
Secara
keseluruhan, cerita Pangeran Cilik mungkin dianggap seperti dongeng pengantar
tidur bagi anak-anak karena konfliknya begitu sederhana. Namun, kisah-kisah yang
diceritakan di dalamnya justru mengandung nilai-nilai yang mampu menyentil
batin orang dewasa. Salah satunya terdapat pada bagian awal yang dengan gamblang
menyebutkan bahwa: orang dewasa cenderung tidak mengerti apa-apa, maka sungguh
menjemukan bagi anak-anak, perlu memberi penjelasan terus-menerus.
Buku yang ditulis
saat Perang Dunia II ini sesungguhnya merepresentasikan kondisi psikologis
penulis saat itu. Antoine yang kala menulis buku ini sedang dalam pengasingannya
di Amerika, kemudian menulis fabel anak-anak yang penuh teka-teki ini.
Pendeknya, ia menggunakan sudut pandang sederhana dari anak-anak untuk
melihat bagaimana cara pandang orang dewasa terhadap sesuatu. Meskipun novel ini
terkesan ringan dengan jumlah halaman yang saya yakin mampu anda selesaikan
dalam satu atau dua jam, dibutuhkan analisa mendalam untuk tahu persis apa
maksud sebenarnya yang ingin diungkapkan penulis.
Sampulnya yang
sederhana mungkin akan membuat kita enggan untuk membaca Le Petit Prince. Namun, kurang tepat jika pembaca hanya menilai dari sampulnya, karena buku ini luar biasa. Terbukti
dengan telah disadurnya Le Petit Prince ke dalam 230 bahasa asing. Bukan jumlah yang main-main
untuk ukuran sebuah cerita yang dianggap sebagai buku pengantar
tidur. Berkat buku ini pula, nama Antoine mulai melambung dan bahkan masih
hangat diperbincangkan hingga saat ini.
Le Petit Prince adalah buku klasik anak-anak yang memiliki pesona tak
lekang oleh waktu dan daya tariknya yang mampu melampaui batas usia sehingga menjadikan buku ini sebagai buku berbahasa Prancis yang
paling banyak diterjemahkan. Bagaimana? Penasaran ‘kan, dengan kisah-kisah
dalam buku ini? Saya sarankan membacanya sambil menyeruput teh
atau kopi di pagi hari, supaya lebih fokus dan dapat memahami setiap pesan yang terkandung di dalamnya. Selamat membaca!
0 Comments: