Proses mencanting Alquran batik yang dilakukan oleh salah satu pekerja di Batik Mahkota, Laweyan. Terinspirasi oleh ide metode membaca follow the line, proyek yang dimulai pada Oktober 2016 tersebut diperkirakan akan selesai pada awal tahun 2018. (Dok.VISI/Fauzan) |
Matahari bersinar terang. Kesan hangat yang ditimbulkan langit seirama dengan geliat kampung bersejarah yang terletak di sisi barat Kota Solo itu. Di perkampungan seluas 24,83 hektar tersebut, masih banyak kendaraan hilir mudik. Wisatawan—baik yang berwajah lokal maupun satu dua orang berwajah bule—berjalan di sepanjang trotoar, menenteng ransel mereka masing-masing.
“Saya
ke sini mau lihat proses pembuatan batik. Sekalian cari oleh-oleh, mumpung di
Solo,” kisah Handi (38), wisatawan asal Bandung ketika ditemui VISI di sela-sela kunjungannya ke Kampung
Batik Laweyan pada Rabu (22/3/2017).
Laweyan
sudah pasti akan jadi destinasi pertama yang terlintas di pikiran kita apabila
mencari garis hubung antara Kota Solo dengan sejarah batik nusantara. Sebagaimana
dilansir oleh situs resmi Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL), kegiatan
membatik di wilayah ini sudah dimulai sejak sebelum abad ke-15 Masehi, tepatnya
pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya. Selain itu, berdasarkan dokumen resmi
FPKBL, wilayah yang hingga kini masih mempertahankan lorong-lorong serta arsitektur
bangunan-bangunan tingginya ini juga merupakan saksi bisu perjuangan para
pengrajin batik bumiputera bersama Sarekat Dagang Islam-nya Kyai Haji
Samanhudi.
Jumlah
rumah industri batik yang menembus angka 200 menggambarkan betapa tingginya
tingkat ketergantungan ekonomi warga Laweyan terhadap si industri kain bermotif.
Di sisi lain, hal tersebut juga menuntut tiap rumah industri batik yang ada untuk
menemukan ide-ide kreatif agar pamor usaha mereka tidak kalah dari para
tetangganya.
Hal
itu pula yang dilakukan oleh Batik Mahkota. Berlokasi di Sayangan Kulon Nomor
9, Laweyan, rumah batik yang sudah berdiri sejak tahun 1956 ini merupakan satu
dari sedikit produsen batik asal Laweyan yang produk-produknya sudah diberi
jaminan memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).
“Yang khas dari Mahkota adalah desain produk. Di almari koleksi kami, produk satu dan yang lain desainnya beda. Satu desain hanya untuk satu produk, kecuali apabila ada pesanan (desain-red) dari pihak tertentu,” papar Eko Margiyanto selaku Humas Batik Mahkota ketika ditemui VISI di kantornya pada Rabu (22/3/2017).
Bicara
soal produk, saat ini Batik Mahkota sendiri sedang mengerjakan proyek Alquran batik. Proyek non-profit ini bertujuan untuk membuat kitab Alquran dengan
material kain bermotif batik.
Setiap
selembar kain berukuran 85x110 cm mewakili satu halaman Alquran. Teknis
pembuatannya dimulai dengan menggandakan Alquran yang ukurannya sudah
diperbesar. Kemudian, Alquran tersebut dijiplak dan dilukis di atas kain
menggunakan pensil dan spidol. Kain yang sudah dilukis kemudian dicanting,
dicelup, dan dilorot seperti halnya prosesi pembuatan batik tulis pada umumnya.
“Ini akan kami buat 30 juz. Nantinya setelah jadi kain-kain akan dijilid dan dijadikan satu seperti Alquran,” imbuh Eko.
Proses
pengerjaan Alquran batik sendiri memakan waktu yang tidak singkat. Untuk
membatik satu halaman Alquran saja, rata-rata memakan waktu pengerjaan
sekitar dua hari.
Proyek yang dimulai sejak tanggal 2 Oktober 2016 lalu ini pun tidak hanya melibatkan unsur internal. Batik Mahkota turut mengundang perwakilan dari Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) guna melakukan verifikasi terhadap kebenaran huruf-huruf hijaiyah yang sudah ditorehkan di atas kain batik.
Proyek yang dimulai sejak tanggal 2 Oktober 2016 lalu ini pun tidak hanya melibatkan unsur internal. Batik Mahkota turut mengundang perwakilan dari Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) guna melakukan verifikasi terhadap kebenaran huruf-huruf hijaiyah yang sudah ditorehkan di atas kain batik.
Biasanya,
tahap verifikasi ini dilakukan setiap sepuluh halaman kain sudah dilukis dengan
pensil. Tujuan dari verifikasi sendiri adalah agar apabila ada kesalahan penulisan huruf,
penggantian bisa dilakukan dengan lebih mudah tanpa perlu membuang-buang kain. Mengenai
kesalahan yang sering terjadi, biasanya tidak terlalu fatal.
“Paling
hanya beberapa huruf melenceng. Tidak sampai salah tulis huruf atau tanda. Soalnya,
pelukisan garis polanya dengan cara ngeblat
(menempelkan kain di atas kertas yang sudah digambar, kemudian menjiplaknya
-red),” ujar Eko.
Lebih
lanjut, Eko juga menuturkan bahwa proses pembuatan Alquran batik tidak
mengganggu jalannya pekerjaan produk-produk lain. Hal ini karena di Batik
Mahkota sendiri pekerjaan Alquran dan batik-batik komersial dilakukan secara
terpisah dan oleh pekerja yang berbeda.
Kondisi
tersebut juga diamini oleh Warti (49), salah satu pekerja di Batik Mahkota.
“Sudah dibagi-bagi. Untuk pengerjaan Alquran Batik dilakukan di halaman
belakang (oleh pekerja lain -red),” tutur Warti.
Awal
mula ide membuat Alquran batik sendiri bersumber dari salah satu kerabat
Alpha Fabela, pemilik Batik Mahkota. Kerabat Alpha saat itu berpikir untuk
mempopulerkan kembali cara membaca Alquran dengan metode follow the line.
Follow the line merupakan
metode membaca Alquran dengan cara menuliskannya terlebih dahulu. ‘Membaca
belum tentu menulis, tapi menulis sudah pasti membaca’, kurang lebih filosofi
itulah yang dijadikan acuan sebagian umat muslim untuk menggunakan
metode ini dalam pembacaan kitab suci. Alquran
yang digunakan dalam metode follow the
line pun berbeda dengan Alquran pada umumnya.
“Kalau Alquran follow the line biasanya hurufnya terdiri dari titik-titik, bukan garis. Jadi kita harus menghubungkan titik tersebut dengan pena supaya menjadi garis-garis yang bisa dibaca,” jelas Wilih (43), salah satu pemasok buku yang sempat ditemui VISI tak jauh dari kompleks perbukuan Sriwedari.
“Kalau Alquran follow the line biasanya hurufnya terdiri dari titik-titik, bukan garis. Jadi kita harus menghubungkan titik tersebut dengan pena supaya menjadi garis-garis yang bisa dibaca,” jelas Wilih (43), salah satu pemasok buku yang sempat ditemui VISI tak jauh dari kompleks perbukuan Sriwedari.
Follow the line
dirancang dalam berbagai macam tahap yang harus dikerjakan secara berurutan. Tahap
paling awal adalah keharusan untuk bisa membaca huruf arab; tingkat berikutnya
adalah menulis; lalu memahami bahasa yang digunakan; dan yang terakhir adalah
fase di mana seseorang diasah berulang-ulang kemampuannya sehingga dapat
memahami logika dan bahasa Alquran dengan benar. Berangkat dari situ, Batik
Mahkota kemudian menggagas ide untuk menerapkan follow the line dalam industri batik, yakni dengan menuliskan motif
Alquran terlebih dahulu sebelum mencantingnya.
Bila
sesuai perkiraan, proses pembuatan Alquran batik sendiri baru akan selesai
pada awal tahun 2018 mendatang. Nantinya, Alquran batik akan dijadikan aset oleh
showroom Batik Mahkota. Melalui
Alquran batik ini, pihak Batik Mahkota berharap para pengunjung showroom akan tergugah untuk lebih
mempelajari ajaran agama.
Keberadaan
Alquran batik mendapat respon positif dari warga Laweyan. Sukamto (39)
misalnya, warga Laweyan ini menuturkan apresiasinya kala ditemui VISI pada Rabu (22/3/2016) kemarin.
“Bagus
sih, bisa jadi bukti kalo budaya lokal juga bisa berdampingan
dengan agama,” ungkap pria yang akrab disapa Kamto tersebut. Lebih lanjut ia
juga berharap agar pengerjaan Alquran ini juga dibantu oleh para pengrajin
batik selain Batik Mahkota, sehingga pengerjaannya dapat lebih cepat.
Respon
positif juga datang dari Fina. Meski bukan merupakan warga Laweyan dan
merupakan pendatang baru di Solo, perempuan asal Banyumas yang sedang menempuh
studi di salah satu perguruan tinggi di Solo ini juga menuturkan hal tak beda
jauh dari Kamto . Namun, Fina menambahkan bahwa akan lebih baik lagi jika
keberadaan Alquran batik tersebut tidak hanya sekedar jadi sarana simbolik
belaka.
“Jangan
hanya simbolik, harus diikuti dengan nambah iman pada Tuhan,” jelas
Fina.
Pada
akhirnya, Alquran batik tidak hanya dimaknai oleh publik sebagai suatu cara
mempopulerkan kembali follow the line.
Lebih dari itu, Alquran batik justru dimaknai sebagai suatu langkah positif
untuk menekankan kembali nilai-nilai agama sekaligus nilai-nilai kesenian pada
saat bersamaan. Laweyan
masih akan tetap jadi benang merah yang menghubungkan Kota Solo dengan sejarah
batik nusantara, sebagaimana Alquran batik yang mulai menempatkan diri
sebagai benang merah penghubung kearifan lokal Laweyan dengan kearifan firman
Tuhan. (Fauzan)
0 Comments: