Ilustrasi.VISI/Fauzan |
Oleh: Dita Khairunnisa
“Yah, hujan.” Aku mendengar
keluhan-keluhan setiap orang. Berbagai macam ekspresi tak mengenakan keluar
dari wajah mereka. Sedih, kecewa, kesal. Tak ayal, aku yang terjebak hujan di
sebuah stasiun kecil ini pun menjadi bagian di antaranya. Aku pun mencari kursi
kosong di antara penuhnya kursi yang berjejer saling berpunggungan.
“Hujannya lumayan juga ya,”
tiba-tiba kudengar suara seseorang dari belakangku. Spontan, aku pun menoleh
tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Beberapa punggung kutemukan berjejer di belakangku.
Aku ragu, haruskah aku menjawab atau tidak? Entahlah, ada banyak orang di sini
dan aku pun tak tahu kepada siapa suara itu ditujukan.
“Sendirian aja, Mbak?” Ujar
suara itu lagi. “Nggak dijemput?”
“Nggak,” Jawabku singkat. Aku
tak tahu mengapa tapi naluriku mengatakan pertanyaannya untukku.
“Akhirnya dijawab juga,”
pelan. Sangat pelan hingga kurasa tak ada orang yang mendengarnya, kecuali aku.
Sedikit bersyukur mendengarnya karena aku takut menjawab suara yang bukan
untukku.
“Mau ke mana?” Tanyanya yang
kurasa untuk menutupi pernyataan yang sebelumnya.
“Pulang,” jawabku singkat
yang membuatnya tetawa kecil.
“Ya masa udah malam masih ke
kantor aja. Emang di mana rumahnya?”
“Di situ,” jawabku dengan
singkat lagi. Aku bukan tipe orang yang dengan gamblang memberi tahu
informasi pribadi. Terlebih dari suara yang bahkan aku saja masih sanksi
pemilik suara itu.
“Lagi bete banget
kayaknya. Ada masalah? Atau karena hujan?”
Aku tersenyum sinis sebelum
menjawab pertanyaan yang tepat sasaran. “Hujan.”
“Segitu bencinya sama hujan?”
“Ya. Kurasa semua orang juga
tidak suka hujan. Dan karenanya aku pun terjebak di sini,” jawabku dengan nada
kesal. Bukan karena pertanyaan-pertanyaan dari suara itu yang entah mengapa
membuatku senang.
“Semua orang? Benarkah?”
tanya suara itu. Tanpa berpikir lagi, aku pun menjawab, ya, dengan cepat. Namun
jawaban itu hanya sampai di tenggorokanku dan berubah menjadi sebaliknya.
“Aku tahu seseorang yang
sangat menyukai hujan,”
***
Hari ini hujan turun dengan derasnya. Menggantikan matahari yang sesaat lalu membuat langit cerah. Hampir semua orang kesal dengan peristiwa ini. Namun tidak dengan gadis dihadapanku. Senyumnya merekah dengan mata berbinar menatap tetes demi tetes air yang turun. Sesekali mengadah ke langit untuk melihat sumber air itu.
Aku tersenyum melihat
wajahnya bagai anak kecil. Menggeleng melihatnya berubah seketika hanya karena
hujan. Aku yakin dirinya akan bergabung dengan air-air itu jika ia tak
sadar diri sedang di kelas. Dan satu hal yang kutakutkan pun terungkap dari
wajahnya. Dia berharap hujan tak akan berhenti.
Namun ada satu hal yang kusukai. Ia selalu
bercerita mengenai hujan. Bagaimana hujan membuatnya bahagia dan menjabarkan
bau hujan yang menjadi favoritnya. Aku menduga ia akan membuat parfum hujan setelah
ini. Hingga, entah bagaimana, aku seperti melihat pelangi di sela-sela hujan.
***
“Kenapa kau benci hujan?”
tanya suara itu.
“Kenapa? Ada sesuatu, ya.
Pasti punya kenangan buruk,” ujarnya yang lagi-lagi tepat sasaran. Aku merasa
sedikit was-was kalau aku sedang berbicara dengan cenayang.
“Begitulah.” Kataku sambil
tersenyum hambar mengingat kenangan itu.
“Kenangan apa?” Tanyanya.
Sesaat aku pun terdiam, mencerna kata-kata yang akan kukeluarkan, sebelum
akhirnya aku bercerita. Tentang bagaimana hujan yang pernah terlihat indah kini menjadi
kelam, layaknya warna langit yang nampak saat tetesan air turun.
Sebuah buku mengenai hujan di
otakku pun terbuka. Dimulai saat hari di mana air turun dengan lebatnya.
Menghalangi pandangan siapapun. Saat itulah sebuah kecelakaan menimpaku dan
ayahku. Entah bagaimana aku selamat namun tidak dengan ayahku. Hal itu pun berlanjut
hingga di mana kakakku pergi.
Aku juga menceritakan lembaran
terakhir. Saat di mana sahabatku, gadis penyuka hujan, meninggalkanku tak lama
setelah kekasihku pergi entah kemana. Meninggalkan hati yang tak pernah kosong
namun berubah menjadi hampa. Dan semua terjadi pada waktu hujan turun. Saat itulah, aku
tak pernah memiliki alasan untuk menganggap bahwa hujan itu indah.
“Maaf. Aku tak bermaksud
meninggalkanmu.” Seketika aku menoleh ke arah suara itu. Mendapati seorang pria
yang masih singgah di hatiku. Sesaat aku seperti melihat pelangi di sela-sela
hujan. Namun, aku hanya bisa terdiam menatapnya. Tak tahu harus berbuat
apa.
0 Comments: