Ilustrasi.VISI/Hernowo |
Oleh: Hernowo Prasojo
Hari
Selasa pukul tujuh di hari Minggu. Suasana hari ini sangatlah damai, mengingatkan diriku tentang masa-masa indah di remaja dahulu. Sudah beberapa
hari ia berada dalam naunganku. Seorang anak laki-laki berumur 12 tahun yang
selalu ingin tahu tentang dunia dan yang ada di sekitarnya. Setiap hari ia
berlari ke sana ke mari mencari sepenggal kisah dari tiap sudut ruang tamuku. Mataku tak pernah jemu melihat setiap tingkah konyolnya. Kadang
ia bermain anggar dengan sapu, kadang ia melaju melawan sofa, kadang ia menari
dengan meja serta kursi. Setiap diriku pulang, tak pernah jemu mataku melihat tingkahnya.
Tak terkecuali Minggu pagi ini.
Sambil
menikmati secangkir teh dan duduk meresapi keindahan pagi. Kupandangi ia yang
sedang terlarut dalam pesta teh bersama beberapa pasang sepatu. Dia terlihat
asik bercakap-cakap dengan setiap pasang sepatu. Sesekali terlihat raut muka
sedih, namun tak jarang muka bahagia terpancar dari wajahnya. Entah mengapa, aku
mulai mendekatinya.
“Sedang apa kamu?” Ujarku dengan seulas senyuman kecil
“Hsssttt….. jangan berisik. Dodot bau tidur,” katanya sembari menunjuk sebuah sepatu yang
tergeletak dilantai.
Mendengar
jawabannya, aku pun kembali ke sofaku dan untuk menikmati secangkir tehku.
Waktu
berlalu bagaikan kilat. Berlalu cepat dan tak meninggalkan apapun, kecuali
hanya sedikit. Anak laki-laki tersebut kini berusia 20 tahun. Ia telah cukup
dewasa untuk mengetahui dunia di sekitarnya. Ia tak lagi menari dengan sapu,
maupun minum teh dengan sepatu. Ia mulai menjadi manusia. Manusia seutuhnya
yang ingin mengetahui lebih jauh tentang dunia. Dunia yang ada di sekitar
ruanganku kini terasa kecil baginya.
Ia
pun meminta izin padaku untuk pergi. Aku tau bahwa hal ini pasti terjadi suatu
saat nanti. Cepat atau lambat dia akan pergi meninggalkanku sendiri. Ingin
diriku menahannya. Namun aku tahu, bahwa hal itu hanyalah keegoisanku yang justru
akan menyusahkannya. Aku pun memberinya sepenggal nasihat tentang kehidupan. Ia menerimanya dengan mata tertunduk dan air mata yang menetes.
Ingin
rasanya diriku menangis terisak di hadapannya. Namun aku menyadari, bahwa
aku tak pernah punya hak untuk melakukannya. Akhirnya ia pun pergi. Ia pergi
meninggalkanku sendiri bersama ruangan hampa yang kini tak lagi terasa seperti
dahulu kala.
Setahun... dua
tahun… sepuluh tahun berlalu sejak ia meninggalkanku di ruangan ini. Rasa rindu tak
henti-hentinya menyerang diriku. Ya… rasa rindu akan kepulangannya.
Bagaikan
kejaiban, tepat pada hari Minggu, dua belas tahun sejak kepergiannya, ia
kembali. Ia kembali dengan raut muka yang berbeda. Muka teduhnya kini berubah
menjadi garang. Rambutnya kini acak-acakan berwarna perak terang. Bajunya yang
dulu syahdu, kini berwarna hitam legam menyeringai ganas. Sejenak diriku
ragu untuk memeluknya, namun pada akhirnya diriku menyadari bahwa aku tetap
menyayanginya. Kupeluk ia dengan erat. Walaupun hatiku ragu, tapi inilah dunia
yang ia pilih dan aku hanya bisa menerimanya.
“Bagamimana
kabarmu selama ini?” tanyaku dengan senyuman kecil
Namun ia hanya diam. Setiap diriku bertanya tentang apapun, yang ia berikan
hanyalah kesunyian dan tatapan kosong. Selama hidupku, tak pernah aku
merasakan kehancuran sebesar ini. Aku pun bertanya kembali,
“Apakah
ada sesuatu yang bisa kubantu?” Ia pun mulai memandangku dengan tatapan nanar,
dan berkata dengan lirih
“I….ya,”
jawabnya dengan penuh keraguan
Aku
pun mulai menyadari betapa rapuhnya ia, seolah-olah ia akan hancur jika aku
mengatakan sesuatu yang salah.
“Apakah
yang bisa kubantu?” aku melanjutkan dengan senyum kecil yang kuharap memberinya kekuatan.
“Apakah
diriku bisa meminta hatimu?” ujarnya, masih dengan keragu-raguan yang sama.
Sejenak aku mulai berfikir. Inilah yang mengganggu harinya, menghapus tawanya, dan
membelenggunya dalam kegelapan.
“Tentu
saja,” jawabku dengan percaya diri dan tanpa keragu-raguan.
Ia
pun mulai menangis, menangis tersendu-sendu dan berteriak histeris. Di dalam
hatiku, aku menyadari bahwa ia berharap aku berkata tidak. Namun, dia tak
pernah tau bahwa aku menyayanginya lebih dari diriku sendiri.
Aku
pun memberikan hatiku, dan ia pun menerimanya masih dengan keraguan. Kupegang
erat tangannya sambil memberi isyarat, bahwa aku baik-baik saja. Ia pun kembali
pergi meninggalkanku.
Setahun…Dua
Tahun...Sepuluh Tahun...ia tak kunjung kembali. Rasa rindu dalam diriku semakin dalam. Dan kali ini pun Tuhan kembali mendengarkan doaku. Lima belas
tahun sejak kepergiannya yang terakhir, ia kembali padaku. Kali ini ia datang dengan
keteguhan hati yang terpancar jelas. Aku pun merasa amat bahagia, melihat ia
yang dulu telah kembali. Empat hari kulalui penuh kebahagiaan bersamanya. Penuh
canda serta gelak tawa. Tepat pada hari kelima sejak kepulangannya, ia
tiba-tiba menatapku dengan tatapan tajam.
“Bolehkah
aku meminta kedua kaki dan tanganmu?” tanyanya.
Sejenak
aku berfikir. Aku tak pernah sedikitpun keberatan memberikan kedua kaki dan
tanganku padanya. Namun, melihat raut mukanya, aku menyadari bahwa ia tidaklah
jujur. Dan aku menyadari bahwa pilihan salahku akan menghancurkannya sekali
lagi. Walaupun merasa berat, aku menyadari bahwa hanya inilah yang dapat
kulakukan untuk membantunya.
Aku
pun memintanya duduk di Sofa. Setelah ia duduk, aku meminta izin untuk
pergi ke dapur. Saat tiba di dapur, tanpa keraguan kuambil sebilah pisau. Kulihat
di ruang tamu, ia masih asyik memandang halaman dengan tatapan damai.
Kemudian aku mulai mendekatinya dari belakang dan kugorok lehernya. Darah segar mengalir
dari lehernya dan meresap merah ke dalam sofaku. Bersama dengan tubuhnya yang
tergeletak di sofa, kulihat wajahnya untuk terakhir kali. Kulihat senyum
bahagia merekah dari wajahnya yang kini tak bernyawa.
Setelah
kupastikan ia tak bernyawa, aku mulai menaiki tangga menuju atap rumahku.
Aku meloncat dari atap ke bagian luar. Tubuhku terjun bebas menuju jalanan. Dalam setiap detik
menuju kematianku, wajahnya tak pernah hilang dari pikiranku. Seperti
sebuah potret kecil, aku ingat kembali kelucuan dan tingkah konyolnya di
ruanganku dulu, wajah bahagia, serta keceriannya.
“Kini
Dodot akan tidur.”
“Dodot
terlalu lelah untuk bermain.”
“Namun,
Dodot berjanji. Dodot akan menemani minum teh di lain hari.”
0 Comments: