Dok. Internet |
Oleh: Iim Fathimah
Freya pertama kali mendengar suara-suara aneh di benaknya sekitar dua bulan yang lalu. Suara seorang pria yang ringan, seperti bunyi percikan hujan di bulan November yang manyapa jendela kamar. Suara itu berbicara, sesekali menyebut namanya, bertanya apakah Freya bisa merasakan kehadirannya.
Suara itu muncul secara acak, seringkali saat malam, ketika Freya hendak bergulat dengan kasur kesayangannya atau di tengah hari saat Freya sedang menikmati makan siang. Freya sempat berpikir mungkin itu suara hantu atau sebangsanya, namun pikiran itu segera enyah. Ia tidak pernah percaya dengan keberadaan hantu atau makhluk halus yang suka menganggangu manusia. Baginya, yang telah tiada tidak punya urusan lagi di dunia.
Kalau bukan suara hantu, itu suara apa? Barangkali tugas-tugas kuliah secara perlahan membuat Freya menjadi gila sehingga ia menciptakan semacam kawan imajinatif di dalam otaknya. Freya bahkan sempat berkonsultasi dengan temannya yang kuliah di jurusan psikologi mengenai suara-suara aneh itu. Temannya yang baru memasuki semester tiga hanya memicingkan mata dan menjawab, “Kamu lelah, istirahatlah,” sembari mengibaskan tangan sebagai isyarat agar Freya segera melaksanakan saran tersebut. Sudah barang pasti, saran yang demikian tak akan membantu. Suara-suara itu tetap menyapa Freya, seperti alarm pukul lima subuh yang senantiasa membangunkannya.
Beberapa hari diteror sesuatu yang tak dikenalnya membuat Freya frustrasi. Seringkali ia mengabaikan suara-suara itu, menganggapnya sebagai angin lalu. Namun, mengabaikan pun bukan jawaban. Akhirnya, Freya memutuskan untuk berbicara dengan suara aneh tersebut, mencoba bernegosiasi dan mengenalnya, sekalipun hal itu bertolak belakang dengan nilai-nilai kenormalan yang selama ini dianutnya.
Malam itu, setelah malam-malam sebelumnya harus berkutat dengan perasaan horor karena merasa dihantui, Freya mengenyampingkan semua ketakutan yang ia rasakan. Ia bersedekap dalam pembaringan, menunggu, mencoba mendengar kalau-kalau suara itu datang lagi. Demi menenangkan hatinya, ia bersumpah akan mengajak suara itu berdiplomasi, paling tidak agar suara itu tidak muncul di malam hari ketika ia sedang sangat ingin tidur.
“Kau di sana?” suara itu datang. Freya menarik napas dalam.
“Aku di sini,” bisik Freya perlahan dengan rasa takut yang teramat sangat. Ia bisa merasakan ritme detak jantungnya yang meningkat tanpa dikomando. Apakah para nabi juga ketakutan saat mendengar malaikat Jibril menyampaikan wahyu pertama kali?
“Kukira kau tidak merasakan suaraku..,” tandas suara itu lagi
Freya mendengus kesal, bagaimana mungkin Freya tidak mendengarkan suara itu. Si pemilik suara yang entah darimana asalnya inilah yang sudah menciptakan malam-malam panjang mencekam bagi Freya.
“Aku mendengarmu, hampir setiap saat,” balas Freya mencoba kalem.
“Tolong pastikan padaku bahwa kau benar-benar Freya...”
“Kau siapa? Apa kau nyata? Tolong pastikan bahwa aku tidak gila!” Freya balik mencecar.
“Ah... tentu saja kau Freya. Freya gila yang berbicara sendiri di malam hari. Apa kau tidak takut jadi bahan gosip teman-teman satu kosmu esok pagi?”
Freya menarik napas dalam-dalam. Jam 11 malam dan suasana bangunan yang ia tempati sudah sepi. Ia pasti benar-benar gila karena berbicara sendiri di tengah malam seperti ini. Suara asing itu benar-benar mulai menguji kesabarannya.
“Jadi... siapa kau sebenarnya?” tanya Freya kemudian, dengan nada pelan yang terkontrol.
Suara itu tidak segera membalas. Ada interval panjang yang bahkan sesuatu berkecapatan cahaya tidak bisa tembus. Freya bisa mendengar bunyi jangkrik-jangkrik di kedalaman tanah, ia bisa merasakan berkas-berkas sinar lampu koridor yang menembus fentilasi pintunya lebih redup dibanding hari-hari sebelumnya.
“Aku dirimu, 4,37 tahun cahaya dari bumi.”
Dan Freya bisa merasakan pikiran seseorang menyapanya dari salah satu pendar cahaya di langit malam itu.
***
Suara itu kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Sho. Sho saja, tanpa imbuhan apa-apa. Ia berada 4,37 tahun cahaya dari bumi yang berarti berada di salah satu planet yang mengitari bintang-bintang di alam semesta. Bintang yang mana satu? Entahlah, Sho bilang planetnya mengitari bola gas bernama Roxena dan bola gas dengan ukuran lebih kecil yang ia sebut Dumas. Jika jaraknya hanya 4,37 tahun cahaya, barangkali Freya bisa melihatnya dari bumi di malam hari.
Sho bilang ia bisa membaca pikiran Freya, ia bisa mengetahui apa yang diinginkan Freya atau bagaimana ia merasakan sesuatu, ia bisa menggambarkan apa yang dilihat Freya di dalam pikirannya, ia bisa melakukan semua itu sementara Freya hanya bisa mendengar suara Sho seperti gema.
“Bagaimana kau melakukan itu semua?” Tanya Freya lebih kepada diri sendiri saat ia sibuk mencari teleskop hadiah dari ayahnya. Kenyataan bahwa ada spesies ekstrateretrial yang mengawasinya dari jauh membuat ia bergidik ngeri. Hal ini bahkan lebih buruk dari aksi spionase yang sempat heboh diberitakan di media massa.
Ia menemukan teleskop yang lama tidak ia gunakan tersebut di salah satu sudut lemari pakaiannya. Masih tersimpan rapi dalam kotak penyimpanan. Freya memandangi kotak itu lama, sembari mengingat-ingat kapan terakhir kali ia naik ke balkon dan mengamati langit malam hanya untuk memuaskan ketertarikannya terhadap jejeran konstelasi bintang. Sepertinya sudah lama sekali, sebelum tugas-tugas kuliah datang menyambangi.
“Aku bisa melakukannya karena kau menginginkan hal itu,” jawab Sho, terdengar begitu dekat. Rasa-rasanya hampir mirip seperti ketika berbicara lewat sambungan telepon.
Malam itu, sehari setelah komunikasi dua arah antarkeduanya terjadi, Freya memutuskan untuk mengamati bintang, mencoba mencari tahu dari mana Sho sebenarnya. Freya sangat bersyukur saat mendapati langit yang cukup cerah terhampar di atas balkon. Ia mengenali satu per satu bintang bermagnitude rendah yang ia lihat.
“Apa mungkin kau berasal dari salah satu planet yang mengitari Alpha Centauri?” Tanya Freya dengan mata yang fokus mengamati salah satu bintang di langit selatan dengan menggunakan teleskopnya. Alpha Centauri atau Rigil Kent, bintang yang paling terang di rasi Centaurus dan berada di dekat horizon.
“Aku bisa merasakan kau melihatku. Tapi karena pikiran kita bergerak lebih cepat dari cahaya, kau mungkin sedang melihat masa lalu.”
“Sepertinya kau memang benar dari sana. Aku baru ingat Alpha Centauri terdiri dari dua bintang yang mengitari satu sama lain,” Freya kemudian melepaskan pandangannya dari teleskop, lebih memilih memandang bintang dengan mata telanjang.
“Jadi kalian menyebutnya Alpha Centauri?” Sho bertanya.
“ Ya, kira-kira seperti itu... nama lainnya Rigil Kent dan jangan tanya kenapa kami menyebutnya seperti itu.”
“Aku tidak akan mempertanyakannya…”
“Bagaimana kalian menyebut matahari, bintang yang planetku kelilingi?” tanya Freya, dalam hati.
“Kami menyebutnya NG-1069,” jawab Sho di sana.
Freya yang mendengar jawaban itu hanya mengerinyitkan dahi, “Kenapa namanya sangat tidak menarik?”
“Entahlah, nama itu muncul sudah sejak lama, leluhur kami yang memberikan nama itu.”
Sudah sejak lama... Sebuah pikiran tiba-tiba lewat di benak Freya. Namun sebelum mengutarakan langsung pikiran itu, Sho segera bersuara, “Jika kau ingin menanyakan sejak kapan kehidupan di sini dimulai, kau tidak akan mengerti. Kita memiliki pemahaman yang berbeda akan konsep waktu.”
Freya mendengus kesal, ia lalu membalas dengan suara cetus, “Oke tuan yang berasal dari bintang.”
Sho tidak membalas lagi dan Freya tidak terlalu ambil pusing. Mungkin dia sedang punya urusan di planetnya yang sangat jauh itu atau dia sudah lelah bertelepati dengan Freya.
“Kenapa kau diam? Tanyakan padaku, apapun. Aku lebih mengenalmu dibanding dirimu sendiri, jadi aku tidak akan banyak bertanya.”
“Bagaimana kau bisa melakukan ini semua? Melihatku? Mendengarku? Dan kenapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama? Aku ingin bisa melihat kehidupanmu di sana,” pertanyaan bertubi-tubi itu terlontar tanpa suara, bertransformasi menjadi sinyal yang berlari ke salah satu sudut angkasa.
Ada jeda yang cukup lama sebelum akhirnya Sho menjawab, “Baiklah... demi memuaskan rasa penasaranmu, aku akan menjelaskannya. Jadi, dengarkanlah dengan seluruh kemampuan pendengaran yang kau miliki. Karena kisahku akan panjang.”
Bola mata Freya membesar, ia sampai jatuh terduduk demi mendengar kisah yang akan dituturkan Sho. Sambil mengarahkan pandangannya ke arah langit selatan, tempat bintang Alpha Centauri bernaung, Freya mulai mendengarkan.
“Secara fisik kita tidak jauh berbeda, aku memiliki anatomi yang menyerupai manusia di planetmu. Yang membedakan mungkin, di sini semua warna rambut kami sama, tinggi badan kami sama, begitu pun berat badan, yang tampaknya menjadi masalah bagimu?” Sho terkekeh, Freya mendengus, “yang membedakanku dengan yang lainnya hanyalah bentuk hidung, bibir, mata, dan telinga.”
Freya lalu membayangkan semua orang di dunia memiliki tinggi 175 sentimeter. Tidakkah hidup menjadi begitu menyenangkan? Ia tidak perlu mendengarkan kucilan teman-teman kuliahnya yang jauh lebih tinggi karena semua memiliki tinggi badan yang sama.
Sho kemudian menceritakan tentang sebuah sistem yang membuat semua manusia di planetnya hanya bisa membeli sesuatu dengan kebaikan. Semakin banyak kebaikan yang dilakukan, maka ia akan semakin mampu memenuhi kebutuhannya. Kejahatan adalah sesuatu yang terasa janggal di dunia Sho karena jika seseorang berlaku jahat, maka perlahan tapi pasti ia akan jatuh miskin. Pilihan agar tidak menjadi miskin hanya satu, berbuat baik.
“Bagaimana kalian menentukan bahwa suatu hal adalah tindakan yang baik atau buruk? Bukankah yang baik dan buruk itu relatif?” Freya bertanya, hampir-hampir tidak mengerti.
“Sistem telah melakukan standardisasi untuk menilai apakah perilaku kami tergolong baik atau tidak.”
“Siapa yang membuat sistem seperti itu? Pemerintah? Kalian percaya pemerintah?” kejar Freya.
“Tidak. Hanya Yang Terpilihlah yang bisa menentukan standar, mengubah, dan memperbaikinya.”
“Yang Terpilih?” suara Freya lirih mengawang di udara, dibawa angin entah kemana.
“Kami menyadari terdapat sekelompok orang yang terlahir dengan tanda-tanda yang berbeda, kami meyakini alam telah memilih mereka, Yang Terpilih.”
“Tanda-tanda seperti apa?”
“Seperti yang tengah kita lakukan saat ini,” jawab Sho tenang di ujung sana.
Kedua alis mata Freya bertaut, ia kemudian berkata, “Kau adalah Yang Terpilih?”
“Aku tidak ingin jumawa tapi memang begitu adanya,” dari nada suara Sho, Freya berani bertaruh saat ini Sho tengah tersenyum bangga.
“Jadi hanya Yang Terpilih yang bisa bertelepati seperti yang kau lakukan?” tanya Freya kemudian.
“Mengenal isi terdalam hati manusia memungkinkan kami—Yang Terpilih—mengetahui apa yang ideal dan tidak,” terang Sho lebih lanjut, mengingatkan Freya pada kelas teori hubungan internasional dengan salah satu paradigma yang digunakan adalah idealisme. Nilai-nilai kebaikan dan keluhuran umat manusia yang secara alami ada di dalam diri setiap insan... benarkah ada?
“Sulit membayangkan hidup di planetmu Sho...” suara Freya tiba-tiba terdengar sendu, “dengan kemampuanmu tentu kau bisa melihat bagaimana kehidupan manusia di sini.”
“Dengan kemampuanku juga, aku bisa melihat orang-orang sepertimu masih ada.”
Freya menghembuskan napas keras-keras, seolah tengah menghempaskan beban berton-ton dari kepalanya. Semakin jauh obrolan ini terasa utopis. Membandingkan kehidupan di bumi dengan kehidupan di planet Sho tak berbeda dengan membandingkan jurnal ilmiah dengan novel imajinatif yang kemudian diangkat ke layar lebar. Jurang antara yang nyata dan fana adalah pikiran manusia itu sendiri. Freya merutuk dalam hati. Masa bodoh kalau Sho tahu isi pikirannya! Telanjangi saja aku dengan pikiranmu!
“Freya...”
“Ya?”
“Tidakkah kau ingin tahu warna langit di sini?”
“Hmm... ya. Tapi bagaimana caranya?”
“Itu kejutan.”
***
Setelah obrolan malam itu, secara aneh Sho tidak muncul dalam pikiran Freya. Fakta bahwa Sho adalah Yang Terpilih tentu membuat dirinya sibuk. Ia mungkin tengah berkutat dengan sistem yang harus dijaganya. Atau mungkin ia sedang dihadapkan dengan suatu masalah yang kompleks di sana? Freya tidak tahu. Yang ia tahu hanyalah ia merasa rindu. Sedang kemarau di sini dan suara Sho yang menenangkan seperti hujan itu entah kenapa membuat Freya senang. Ia ingin mendengar lebih banyak. Ia ingin bercerita lebih banyak.
Pada malam sebelum tidur, Freya memandangi langit-langit kamarnya lama sembari menduga-duga kapan Sho akan menyapa. Stiker-stiker bintang yang menempel di langit-langit dan dinding kamarnya berpendar halus, mengingatkan Freya pada Alpha Centauri, Hadar, Sirius, Canopus, dan bintang-bintang lain yang ia lupa namanya.
“Sho... kau dimana?” tanyanya tanpa jawab. Matanya yang berat lambat laun mengalahkan keinginannya untuk terjaga. Freya tertidur, dengan pikiran yang berkelana.
***
“Freya...” suara itu membangunkan Freya. Ia memandang sekelilingnya dengan wajah linglung. Saat ini ia tengah terbaring di sebuah kasur dalam sebuah ruangan dengan aksen putih di setiap sudut. Mirip seperti ruangan-ruangan di rumah sakit.
“Sho?” bisiknya nyaris tanpa suara, di sampingnya seorang pria berdiri dengan wajah khawatir. Freya mengucek-ucek mata, ia pasti sedang bermimpi. Namun saat membuka mata lagi Sho masih di situ. Apa ini nyata?
“Kau baik-baik saja?” tanya Sho, suaranya tidak berbeda dari terakhir kali Freya mendengarnya. Yang berbeda hanyalah kali ini Freya mendengarnya secara langsung, lengkap dengan keberadaan Sho di sisinya.
“Di mana aku?”
Mendengar pertanyaan Freya, Sho hanya melayangkan sebuah senyum simpul.
“Selamat datang di planet Aruna. Bukankah aku berjanji untuk menunjukan warna langit di sini?”
Freya memiringkan kepalanya. Tidak. Dia pasti sudah gila. Ini pasti hanya imajinasinya saja.
“Oh... dan aku lupa mengatakan padamu,” Sho tampak berpikir sebelum kemudian melanjutkan, “Yang terpilih hanya bisa bertelepati dengan sesama yang terpilih. Dan adalah suatu kehormatan bagiku untuk bisa membawamu ke sini. Kebaikan hatimu akan membuat kehidupan menjadi lebih baik lagi di sini.”
Yang ada setelahnya adalah kebingungan di benak Freya dan pikiran-pikirannya yang terus berkecamuk. Ia berharap pikiran itu dapat sampai ke bumi. Ia berharap ada yang mendengar pikirannya. Ia hanya tidak ingin di sini. Ia mau pulang ke bumi.
0 Comments: