Judul: Rumah dan Dunia | Penulis: Rabindranath Tagore | Penerbit: Bentang Budaya | Tahun: 2002 | Tebal: 301 halaman | Bahasa: Indonesia (diterjemahkan dari bahasa India) | Penerjemah: Hartono Hadikusumo. |
Oleh: Herdanang A Fauzan
Hingga
detik ini, saya masih percaya bahwa cara terbaik untuk mengenali seseorang
adalah dengan membaca tulisannya. Saya punya sahabat yang tiap menulis
acap kali menggunakan istilah-istilah barat. Dan benar saja, sahabat saya
tersebut memang seorang penggila tren-tren barat. Sama halnya ibu saya, di mana
ia sering menuliskan sesuatu dengan paragraf-paragraf deduktif karena memang
dirinya—sejauh yang saya kenal selama 19 tahun menjalani hidup—adalah seorang
pribadi yang memiliki kecenderungan gaya bertindak ‘umum ke khusus’.
Tulisan,
terkadang juga dapat merefleksikan selera baca seseorang. Adalah hal yang lazim
ketika penggemar karya-karya Yasunari Kawabata dan Gao Xingjian cenderung
menarasikan suatu cerita dengan plot lamban. Sebaliknya, sangat mungkin para
pembaca cerita-cerita beralur cepat akan menuliskan karya atau tulisannya
secara cepat pula.
Kepercayaan
di atas pula yang saya gunakan untuk mengenali sosok Rabindranath Tagore.
Sebagaimana yang sering kita baca dari buku-buku sejarah, Tagore adalah salah
satu sosok yang berpengaruh bagi India. Bersama sahabat
seperjuangannya, Mahatma Gandhi, ia menelurkan berbagai pemikiran-pemikiran anti-kekerasan
yang cukup merevolusi kedewasaan mental orang-orang di negeri Bengala. Maka tak
berlebihan pula jika pada akhirnya jasa-jasa tersebut mengantarkan Tagore
menjadi orang Asia pertama yang berhasil mendapat penghargaan nobel di bidang kesusastraan,
tepatnya pada tahun 1913.
Salah satu
karya yang mencerminkan pemikiran-pemikiran Tagore adalah Ghare Baire. Karya ini sendiri sudah diterbitkan ke Bahasa Indonesia
oleh Bentang Budaya dengan judul Rumah dan Dunia. Diterjemahkan oleh Hartono
Hadikusumo, Novel setebal 301 halaman ini mengisahkan konflik idealisme
antara Nikhil, istrinya yang bernama Bimala, serta seorang sahabat Nikhil yang bernama
Sandip.
Tagore
menggambarkan ketiga tokoh utama tersebut dengan tegas dan tidak
setengah-setengah. Nikhil si protagonis misalnya. Ia digambarkan sebagai sosok
saudagar arif dan bijaksana yang menentang praktik swadesi dengan cara-cara brutal dan merugikan. Sedangkan Sandip yang
menjadi tokoh antagonis digambarkan sebagai sesosok pria picik dan khianat yang
menghalalkan segala cara untuk memperjuangkan kemerdekaan India. Salah satu
praktik yang dihalalkan Sandip untuk menentang kolonialisme adalah dengan membakar
barang-barang buatan Inggris yang beredar di India.
Dalam novel
ini, sangat terlihat tujuan Tagore untuk menggambarkan kondisi pergolakan
internal di India pada awal abad 20. Baik Nikhil dan Sandip sejatinya memilliki
tujuan yang sama, yakni untuk memerdekakan negeri mereka. Hanya saja, keduanya
memiliki idealisme yang berbeda. Jika Sandip melegalkan dan mendorong
praktik-praktik swadesi dengan cara brutal, Nikhil justru berpikiran sebaliknya.
Si protagonis berpandangan bahwa melakukan swadesi dengan cara membakar
barang-barang produksi asing justru akan merugikan para pedagang kelas bawah di
India yang masih memasarkan produk-produk asing. Hal ini dikarenakan
pedagang-pedagang tersebut harus merelakan dagangan mereka dibakar
oleh sekelompok ekstrimis tanpa ada ganti rugi.
Nikhil digambarkan
sebagai sebaik-baiknya malaikat, sementara Sandip digambarkan sebagai
seburuk-buruknya setan. Keduanya kemudian memperebutkan Bimala yang digambarkan
sebagai senaif-naifnya manusia. Posisi Bimala seolah menentukan idealisme siapa
yang lebih unggul. Di satu sisi, Bimala ingin setia kepada Nikhil sang suami.
Di sisi lain, Bimala juga mulai tergoyahkan oleh daya tarik Sandip yang selalu
mengucapkan kalimat berapi-api di hadapan para pengikutnya.
Dari segi
penulisan, Rumah dan Dunia sejatinya tidak bisa begitu saja dikategorikan
sebagai ‘karya sastra yang baik’. Banyak transisi cerita yang terkesan melompat
dan dipaksakan. Misalnya pada bagian akhir ketika Nikhil hendak mengajak Bimala
untuk pindah rumah, sangat terasa nuansa ‘memaksa’ agar cerita cepat selesai.
Tagore juga
terkesan terlalu banyak menjelaskan hal-hal yang sebenarnya berada di luar
konteks cerita. Sekilas, penjelasan-penjelasan tersebut sebenarnya bukan hal
yang anti-mainstream, khususnya di
kesusastraan Asia. Banyak penulis-penulis Asia lain macam Yasunari Kawabata dan
Mo Yan yang juga kerap melakukan hal serupa. Hanya saja, baik Kawabata maupun
Mo Yan melakukannya pada cerita yang plotnya bergerak lamban.
Menjadi
aneh ketika Tagore banyak menyisipkan 'penjelasan di luar konteks' pada cerita
Rumah dan Dunia yang plotnya tergolong cepat. Hal ini mengakibatkan Rumah dan
Dunia terlihat seperti sebuah novel berkonten tipis yang dipaksakan sedemikian rupa agar terlihat
tebal.
Kekurangan
dari segi penulisan ini sebenarnya merupakan hal yang wajar apabila dikaitkan dengan
latar belakang Tagore yang bukan murni sastrawan. Tagore adalah seorang filsuf,
seniman, aktivis, penyair, sastrawan, serta musikus. Barangkali hal tersebut pula yang
mengakibatkan tulisan Tagore terkesan seperti ‘campur aduk’.
0 Comments: