Dok. VISI |
Tindakan plagiasi
menjadi masalah serius yang menghantui kalangan akademisi di perguruan tinggi.
Himbauan yang kerap didengungkan untuk para akademisi di lingkungan kampus−baik
dosen dan mahasiswa− nampaknya belum dijadikan perhatian serius dalam membuat sebuah
karya ilmiah.
Disadari atau tidak, larangan untuk
melakukan plagiasi oleh sivitas akademika di perguruan tinggi sudah diatur
dalam Permendiknas No. 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Plagiat di Perguruan Tinggi. Sedangkan, Universitas Sebelas Maret (UNS –red) melarang
tindakan plagiasi sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Rektor UNS No.
828/H27/KM/2007 tentang Tata Tertib Kehidupan Mahasiswa di UNS. Namun, tindakan
plagiasi masih marak ditemukan oleh sivitas akademika pendidikan tinggi, khususnya
mahasiswa. Berikut ini adalah laporan redaksi dalam menelisik tindakan plagiasi
dikalangan mahasiswa UNS.
Motif
Tindakan plagiasi merupakan tindakan
yang dilarang bagi seluruh sivitas akademika perguruan tinggi. Namun, tindak
kejahatan intelektual tersebut masih ‘dihalalkan’ oleh mahasiswa dengan beribu
alasan. Anto (bukan nama sebenarnya –red), mahasiswa S1 Desain Interior
Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD -red) UNS, merasa santai dalam melakukan
tindakan plagiasi. “Santai , dosen mah cuek, ga merhatiin gituan, asal numpuk
tugas aja“, ujar ia.
Senada dengan Anto, Deni (bukan nama
sebenanya –red), mahasiswa D3 Periklanan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
(FISIP –red) UNS, mengatakan bahwa banyak dosennya yang tidak peduli dengan
tindak plagiasi. “Alah skors apa, dosen mah banyak yang ga peduli ama gitu-gituan
plagiasi-plagiasi apalah”, pungkas ia. Ia pun mengatakan bahwa faktor suasana
hati memengaruhi motivasi dalam melakukan tindakan plagiasi. “kalo mood bagus ya baca-baca dikit cari-cari
benar tidaknya, kalo mood lagi jelek
ya wusss... langsung jadi (melakukan
plagiasi –red)”, kata Deni dengan nada santai.
Tindakan plagiasi yang dilakukan
mahasiswa ternyata tidak sebatas karena ada kesempatan. Namun, kekecewaan
mahasiswa terhadap kinerja dosen juga dapat menjadi pendorong tindakan plagiasi
terjadi. Sebut saja Diana (bukan nama sebenarnya –red), yang melakukan plagiasi
karena dosen mata kuliah yang memberikan nilai acak pada tugasnya. “Jadi, mau
ngerjain serius apa nggak, gak akan ada bedanya”, pungkas mahasiswi Program
Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS tersebut. Ia pula mengatakan bahwa ada dosen
yang memberikan nilai acak pada tugas mahasiswa tersebut tidak peduli apakah
pekerjaan mahasiswanya plagiasi atau tidak.
Hal serupa juga dialami dengan Yasmin,
mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi UNS, yang merasa dosennya tidak peduli
dengan pekerjaan mahasiswanya. “Lebih karena dosen yang ga peduli sih, soalnya
mau kita ngerjain serius atau nggak ga ada gunanya, akhir-akhirnya nilainya
cuman random aja”, kata Yasmin. Ia pun menambahkan jika dirinya melihat
karakter dosen terlebih dahulu sebelum melakukan plagiasi. “Kalau dosennya
galak, ya mikir-mikir mau plagiasi. Pasti bakal buat tugas yang orisinil”, ujar
ia dengan ketus.
Selain karena tidak pedulinya dosen
pada plagiasi dan kinerja dosen yang mengecewakan, plagiasi juga dilakukan oleh
mahasiswa karena kekurangan literasi. Mahasiswa tidak mengetahui pembahasan
yang cocok untuk topik tugas mereka. Hal ini terungkap saat redaksi mewawancara
Rama (bukan nama sebenarnya –red), mahasiswa D3 Perpustakaan FISIP UNS angkatan,
yang mengaku menggunakan tugas kakak tingkat sebagai referensi. “Kebanyakan
karena bingung ya mau bahas bahane
gimana, jadi yawes plagiat deh. Jadi
kaya nek udah ada acuan, nah mau
ngembanginnya gimana terus jadi pengen lihat punya kating (kakak tingkat –red)”,
pungkasnya.
Alasan kurangnya literasi juga muncul
dari Bayu (bukan nama sebenarnya –red), mahasiswa D3 Periklanan FISIP UNS, yang
memilih co-paste tulisan kakak
tingkatnya untuk penulisan landasan teori di tugas akhirnya. Selain itu, faktor
kemalasan mahasiswa juga menjadi pendukung kurangnya mahasiswa mencari
literasi. “Ya sebenarnya males juga baca buku, toh landasan teorinya sama
itu-itu juga”, ujar Bayu.
Metode
Beragam metode dilakukan oleh mahasiswa
dalam melakukan plagiasi. Mulai dari copy-paste
sampai dengan plagiasi ide pemikiran tulisan dilakukan oleh mahasiswa. Hal ini
disampaikan oleh Diana sebagai berikut, “Ambil ide tulisannya aja. Nanti tak
tambah-tambahin tak ubah dikit-dikit”, pungkasnya.
Hal serupa juga dilakukan oleh Yasmin,
namun ia mengaku tidak pernah melakukan tindakan copy-paste tulisan orang lain ke tulisannya. “Kalau co-paste total yg 100% ga pernah. Aku
kaya cuman copas idenya tapi tak kembangin sendiri, atau tak ganti pakai
kata-kataku. Kalau co-paste plek bener-bener ga pernah sih”, ujar
ia.
Metode serupa juga dilakukan oleh Anto.
Ia memilih melakukan copy-paste tulisan
orang lain dan mengeditnya agar menyamarkan tindak plagiasi yang ia lakukan. “Kan
gampang tinggal salin tempel , ketik-delete-ketik-delete, kasih pemanis dikit dah jadi”,
pungkasnya dengan tenang.
Mengenai sumber plagiasi, para
narasumber mengatakan bahwa banyak bahan yang dapat dijadikan sumber plagiat.
Sumber yang digunakan mulai dari blog,
paper, sampai tugas akhir kakak
tingkat. Hal tersebut dikemukakan oleh Yasmin, ia berkata, “Semua kelihatannya
tak gabung-gabung gitu. Ebook, jurnal,
blog, makalah, karya ilmiah”, ujarnya.
Selain Yasmin, Rama pun mengatakan hal
serupa. Namun, ia lebih memilih untuk merekonstruksi kembali pekerjaan kakak
tingkatnya yang sekiranya berkualitas. “Pernah. Kalo plagiasi sih buat
tugas-tugas biasa. Kaya punya kating (kakak tingkat –red) yang udah oke sedikit
di remake lah”, kata Rama. Untuk
menyamarkan tindak plagiasi yang dilakukan, ia mengaku mengembangkan kembali
ide tulisan dari sumber yang ia plagiat.
Dalam melakukan tindakan plagiasi,
pemalsuan daftar pustaka juga sarat terjadi. Hal ini seperti yang diungkapkan
Deni. Ia berkata, “Elah, daftar pustaka mah gampang kan di makalah download
gitu juga ada daftar pustakanya, tapi yang susah kalo makalahnya ga ada daftar
pustakanya, suka bingung ngarangnya gimana”, ujar Deni.
Adakah
Tindakan Dosen?
Berdasarkan wawancara yang dilakukan
dengan beragam narasumber dari mahasiswa, redaksi mendapatkan bahwa tindakan
dosen dalam menangani kasus plagiasi masihlah minim. Rizki, mahasiswa D3
Periklanan FISIP UNS mengatakan bahwa dosen hanya memberikan tindakan yang
ringan pada tindak plagiasi. “Aku sih mikirnya aman-aman aja, paling kalo
ketahuan sama cuma suruh revisi dikit ,lagian gak sedikit juga kan yang copas-copas gitu? Ya sebenarnya males
juga baca buku, toh landasan teorinya sama itu-itu juga”, ujar ia.
Hal senada juga diutarakan Fuad, yang
ketahuan melakukan plagiasi saat sidang tugas akhir. “Haha.. pernah pas ujian
kemarin, disuruh revisi daftar pustakanya aja”, kata Fuad. Selain itu, ia
menambahkan bahwa tindakan plagiasi yang dilakukan olehnya tidak terlalu
dipikirkan oleh dosen.
Berbeda dengan Fuad, Diana mengatakan
bahwa ia tidak pernah mendapatkan peringatan dari dosennya karena melakukan
plagiasi. “Engga pernah soalnya dosennya random
banget ngasih nilai, jadi kaya ngga peduli gitu”, ujarnya. Hal serupa juga
dikatakan Yasmin. Ia berkata, “Lebih karena dosen yang ga peduli sih, soalnya
mau kita ngerjain serius atau nggak ga ada gunanya, akhir-akhirnya nilainya
cuman random aja”, kata Yasmin. Ia pun mengatakan pula bahwa dosen terlihat
sepele dengan masalah plagiasi.
Selain itu, tidak ada perbedaan
pemberian nilai tugas mahasiswa antara pekerjaan yang plagiasi dengan yang
tidak. Diana mengatakan bahwa ia pernah mendapatkan nilai lebih rendah daripada
temannya yang melakukan plagiasi, padahal ia mengerjakan tugas itu secara
orisinal.
“Pernah. Karena random yaa nilainya
sama semua sekelas, 70/80 gitu. Malah pernah ada dosen yang killer anti plagiat club, nah salah satu temenku tu copas bener bener copas dari
internet semuanya. Dapet A+. Sedangkan aku yang ngerjain sendiri dapet nilai A-“,
ujar Diana dengan kesal.
Tidak adanya koreksi dari dosen juga
memengaruhi niatan mahasiswa dalam melakukan plagiasi. Seperti yang dikatakan
Anto. Ia berkata, “Gatau sih, selama ini ga dapet teguran atau apa-apa dari
dosen, dosen juga ga ngasih tau kerjaan kita bener apa salah tau-tau nilainya
keluar aja”. Ia juga mengatakan mendapatkan nilai B+ (lebih dari sama dengan 75
-red) dari dosen sudah membuatnya gembira.
Pandangan
Dosen
Di Lingkungan UNS, tindakan plagiasi
sering sekali ditemui oleh mahasiswa dari berbagai angkatan. Hal ini
diungkapkan oleh salah satu dosen Ilmu Komunikasi FISIP UNS, Diah Kusumawati,
“jadi semua angkatan saya selalu bisa menemukan ada saja mahasiswa yang
melakukan tindakan plagiasi.” Sebelum adanya aplikasi pendeteksi plagiasi
secara otomatis, Dosen yang akrab disapa Didi ini mengungkapkan dirinya
melakukan cek terhadap tugas mahasiswa secara manual. “Jadi biasanya ngecek
tugas mahasiswa dalam satu kelas saya mengerjakan selama satu minggu biar gak
lupa.” imbuhnya.
Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi
FISIP UNS, Sri Hastjarjo, mengatakan bahwa tindak plagiasi sering ditemukan,
baik karena unsur teknis maupun kesengajaan penulis.
“Ada beberapa praktek plagiarisme, yang
pertama sifatnya teknis, artinya mahasiswa yang bersangkutan mengambil dari
sumber tertentu tetapi tidak mencantumkan sumber kutipannya. Yang kedua,
penulis menjiplak karya orang lain. Jadi dia benar-benar meng-copy, entah itu makalah, paper maupun pekerjaan yang lain dan
kemudian diganti dengan identitasnya,” ujar Hast.
Ada beragam penyebab plagiasi tumbuh
subur dikalangan mahasiswa. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya bimbingan
penelitian yang kurang maksimal. Hal ini diungkapkan oleh Sudarmo, Wakil Dekan
Bidang Akademik FISIP UNS. Ia mengatakan bahwa seharusnya dosen berfungsi
sebagai gatekeeper dalam
menanggulangi tindak plagiasi. Namun, fungsi gatekeeper tersebut belum berjalan secara maksimal.
“Dosen harus lebih teliti dalam membimbing.
Kita tahu dosen itu tugasnya banyak, dan kalau tugas banyak itu biasanya jadi
kurang cermat. Akhirnya, tugas/ skripsi yang dikonsultasikan mahasiswa ke dosen
tidak diperhatikan,” ujar Darmo.
Hal serupa juga dikatakan Wakil Rektor
Bidang Akademik UNS, Sutarno, yang mengatakan kewajiban mengecek tugas
mahasiswa merupakan hal terpenting bagi dosen. “Makanya Dosen itu harus teliti,
ngajar paling cuman tiga SKS (Sistem Kredit Semester –red), ya mungkin ada
penelitian sama pengabdian itu. Tapi ngajar ini penting, kan ini juga bagian
dari pembentukan karakter,” pungkas Tarno.
Selain meningkatkan ketelitian dosen,
tindakan plagiasi juga dapat dicegah dengan adanya perhatian dan himbauan
secara serius kepada mahasiswa. Adanya sanski tegas untuk plagiator juga perlu
diterapkan. “Kalau ada tindak plagiasi di skripsi, tesis, atau disertasi, ya
tinggal cabut saja ijazahnya. Kalau di tugas kuliah, mahasiswa yang plagiasi
tidak usah dikasih nilai,” ujar Tarno dengan tegas.
Selain itu, adanya regulasi yang pasti
tentang persentase suatu karya ilmiah bisa dikatakan sebagai plagiasi. “Jadi
sebetulnya harus ada aturan yang tegas berapa persen sebetulnya yang masuk
tindakan plagiasi.” ungkap Didi.
Perkembangan teknologi di dunia
pendidikan juga telah merambah kepada antisipasi untuk mengangulangi
plagiarisme. Dalam menghadapi plagiarisme, UNS telah menggunakan Turnitin
sebagai alat pendeteksi plagiasi yang dikelola oleh UPT (Unit Pelaksana Teknis
-red) Perpustakaan UNS.
“Jadi Turnitin ini udah sejak dua tahun
lalu kita sosialisakan ke smua prodi, lewat rapat bidang satu. Kan kita
melanggankan untuk 2000 pengguna, kalo kita punya 1800-an dosen harusnya itu
cukup, semua tugas bisa dimasukkan lewat situ dan dipastikan tidak ada
plagiasi.” Kata Tarno di ruang kerjanya.
Tarno menambahkan bahwa dalam
pelaksanaannya, penggunaan Turnitin belum sepenuhnya dipakai oleh dosen. “Tidak semua dosen mau memakai ya mungkin
karena meribetkan, misal ada 60 mahasiswa per matakuliah, kan cukup makan waktu
juga untuk memakai, itu masalahnya,” pungkas ia.
Kendala
dalam pengimplementasian Turnitin dalam menanggulangi plagiarisme juga terjadi
karena kurangnya sosialisasi. Hal ini dikatakan oleh Sri Hastjarjo di ruang
kerjanya. “UNS sendiri sebenarnya sudah mengadopsi software yang namanya Turnitin,
hanya saja belum disosialisasikan secara luas ya. ... , Itu kayaknya kok saya
belum pernah mendengar sosialisasi ke mahasiswa tentang pelatihan penggunakan
alat tersebut,” ujar ia.
Dalam
hal kurang luasnya sosialisasi, hal ini dibantah oleh Koordinator Layanan
Koleksi Digital dan Koleksi Khusus (Jawa dan Hibah Buku Asing) UPT Perpustakaan
UNS, Riah Wiratningsih. Riah, begitu sapaannya, mengatakan bahwa Turnitin telah
disosialisasikan secara luas oleh UPT Perpustakaan UNS ke setiap fakultas.
“Oh sudah, kami sudah
menyosialisasikan. Kami melanggan Turnitin mulai akhir tahun 2014, sudah 2,5
tahun. Kami membeli kuota 2000 user
dan sekarang sudah ada 1500 user di
UNS yang melanggan Turnitin. Tinggal seperempatnya sekarang akun yang masih free. Tapi saya yakin, karena ada surat
edaran wakil rektor bahwa setiap dosen wajib mengecekkan ke Turnitin jadi sudah
banyak dosen yang minta akun Turnitin,” pungkasnya.
Ia
pula mengatakan bahwa semua informasi terkait sosialisasi Turnitin telah
diumumkan melalui portal library.uns.ac.id. Namun begitu, penyelenggaraan
sosialisasi juga menemui tantangan, yaitu banyak peserta undangan yang ternyata
tidak datang ke sosialisasi. Untuk itu, Riah berkata bahwa sivitas akademika
dapat datang langsung ke UPT Perpustakaan UNS untuk dilatih menggunakan
Turnitin.
“Untuk
mengantisipasi yang belum tahu, sebenernya Pak Rochmadi (Kepala UPT
Perpustakaan UNS –red) mengatakan bahwa para sivitas akademika bisa datang ke
perpustakaan secara langsung. Mahasiwa juga boleh untuk mendapatkan training Turnitin secara langsung oleh
pustawakan. Kalau mahasiswa sudah tahu, mahasiswa bisa kasih tahu ke dosen yang
bersangkutan,” ujat Riah.
Namun sebaik-baiknya sistem yang
dibangun dalam mencegah plagiasi, faktor individu sivitas akademika menjadi
penentu merebak atau tidaknya tindakan plagiasi. “Kejujuran individu menjadi
titik kunci dalam memberantas tindak plagiasi. Walaupun begitu tetep pada
akhirnya balik kepada individu ya. Sebagus apapun sistem, kalau memang
seseorang itu niat untuk nrobos dia
pasti akan menemukan caranya entah bagaimana,” pungkas Sri Hastjarjo.
Selain itu, penekanan untuk mematuhi etika akademis juga dilakukan. “Memang dari segi mahasiswa, penekanan dari etika akademis terus menerus dilakukan. Dikatakan berkali-kali oleh dosen dalam kontrak belajar kalau sampai ada plagiarise resikonya ini, ini, ini. Selain itu juga dosen juga menekankan setiap kali presentasi, penulisan makalah jangan sampai praktek itu terjadi. Tapi kembali lagi balik ke diri tiap-tiap orang ya”, ujar ia. (Redaksi LPM VISI FISIP UNS)
0 Comments: