Judul: Laughable Loves | Penulis: Milan Kundera | Penerbit:Papyrus Publishing | Tahun: 2017 | Tebal: vii + 196 halaman | Bahasa: Indonesia (diterjemahkan dari bahasa Inggris) | Penerjemah: Lutfi Mardiansyah |
Oleh: Hedanang A Fauzan
Pada salah satu sesi wawancara dengan jurnalis Plinio
Apuleyo Medoza, bapak sastra dunia, Gabriel Garcia Marquez pernah bertukas
bahwa seorang penulis—sehebat apapun itu—hanya akan mampu menulis satu novel saja di
sepanjang hidupnya. Gabo menyodorkan dirinya sendiri sebagai contoh. Kendati telah
menulis banyak novel, ia menuturkan bahwa semua novelnya cenderung bercerita
tentang hal yang sama: kesepian. Oleh musabab tersebut, Gabo menganggap
semua itu—novel-novel karyanya—tak ubahnya sebagai ‘satu tubuh’ saja.
Senada dengan Gabo, dalam sesi wawancara dengan
jurnal The Paris Review, Milan
Kundera juga pernah berkata bahwa seluruh novelnya bisa diberi satu judul yang
sama: The Unbearable Lightness of Being
(cahaya ringan yang tak tertahankan—red). Dan, memang seperti itulah Kundera. Ia seperti
cahaya yang tak tertahankan, yang sampai-sampai sinarnya mampu menangkap hasrat
paling gelap dalam diri seorang manusia.
Tokoh-tokoh dalam novel Kundera acap kali
digambarkan dengan tingkat paradoks yang kelewat kentara. Di satu sisi, si
tokoh menampilkan sifat pemujian nan agung. Di sisi lain, pada saat bersamaan
tokoh tersebut juga ditampilkan dengan cemoohan yang lebih dari sekedar busuk.
Gaya menampilkan tokoh penuh paradoks tersebut kemudian membawa Kundera
menciptakan semestanya sendiri. Di dalam semesta itulah tokoh-tokoh Kundera
hidup dan saling menghidupi.
Hal yang sama—menurut saya—juga dilakukan Kundera
dalam karya-karyanya yang berbentuk cerpen. Pada antologi cerpen Laughable Loves misal, setiap cerpen di
dalamnya senantiasa menampilkan tokoh-tokoh yang manis sekaligus busuk.
Antologi yang diterjemahkan oleh Lutfi Mardiansyah ini berisi tiga cerpen buah
tangan Kundera, yakni: Tak Seorangpun
Akan Tertawa, Simposium, dan Biarkan
yang Telah Lama Mati Memberi Ruang Kepada yang Baru Mati.
Dalam cerpen Tak
Seorangpun Akan Tertawa, Kundera menggunakan sudut pandang orang pertama
dan menggambarkan sosok ‘aku’ sebagai orang yang memiliki keteguhan, baik dalam
hal karir maupun percintaan. Karena paradoks dalam keteguhan itulah, pada akhirnya si
tokoh utama justru menghancurkan dirinya sendiri. Ia menjadi manis karena bersikeras
menjauhkan wanita yang dicintainya—Klara—dari berbagai macam bahaya. Sedangkan
di saat bersamaan, keteguhan yang membuatnya menolak mereview salah satu artikel
karya Tuan Zaturecky menyebabkan Klara terus menerus
mendapat ancaman dari keluarga Zaturecky.
Pada cerpen Biarkan
yang Telah Lama Mati Memberi Ruang Kepada yang Baru Mati, Kundera juga
menyuguhkan tingkat paradoks tokoh yang hampir serupa. Seorang wanita empat puluh
tahunan yang kehilangan suaminya karena meninggal dunia dihadapkan pada kondisi
yang teramat gelap tatkala ia bertemu kembali dengan lelaki lain yang dulu
pernah memikatnya. Dan, pada titik itulah kepribadian dan pengalaman dalam diri si
wanita kembali bergelut dan merobek-robek diri sendiri.
Ketiga cerpen dalam antologi Laughable Loves menyajikan semesta khas Kundera, di mana setiap
tokohnya saling bergelut dengan kompleksitas kepribadian masing-masing. Kemudian,
di tengah pergelutan tersebut Kundera menciptakan sebuah wadah hitam yang
menampung hasrat-hasrat gelap setiap tokohnya. Di dalam wadah hitam ini juga terjadi—tidak hanya interaksi antar tokoh—tetapi juga interaksi antar
kepribadian satu tokoh dengan kepribadian tokoh lain.
Sebagaimana para pembaca buku kerap
memuji kesederhanaan Hemmingway, maka dengan cara serupa pula sekiranya saya boleh memuji kompleksitas
Kundera. Penjelasannya terkadang memang rumit. Namun, cerita-cerita Kundera membawa kita berani menyusuri sebuah drama unik yang tetap mengasyikkan meski telah berkisah terlalu jauh.
Meminjam istilah Abe Raviz, Milan Kundera adalah
intelektual kelas berat dan virtuoso
sastra sejati. Ia mengambil berbagai kompleksitas untuk kemudian membalikkan semua itu dalam aksi sulap yang sanggup mengungkap hasrat
paling gelap dalam diri kita sebagai seorang manusia. Kundera dan dunianya
begitu rumit, penuh olok-olok dan paradoks.
0 Comments: