Ilustrasi ayam goreng. (Dok.VISI/Redaksi) |
Pada pertengahan 2017, Kementerian Pertanian (Kementan) merilis data rerata tingkat konsumsi ayam nasional. Data tersebut menyebutkan masyarakat Indonesia hanya mengonsumsi sekitar 10 kilogram ayam setiap tahunnya. Bayangkan, per orang hanya mengonsumsi 10 kilogram dalam kurun 12 bulan.
Pemerintah lantas gusar dan membuat berbagai kebijakan baru. Salah satu yang paling terdengar adalah peningkatan upah guna meningkatkan daya beli masyarakat.
Kegusaran pemerintah bukannya tanpa alasan. Angka 10 kilogram menempatkan rerata konsumsi ayam Indonesia jauh di bawah rerata negara-negara lain di dunia. Bandingkan dengan Thailand misal, yang angka konsumsi ayam per kapita per tahunnya menyentuh angka rerata 17 kilogram, atau Malaysia yang unggul jauh dengan 38,5 kilogram.
Kegusaran pemerintah bukannya tanpa alasan. Angka 10 kilogram menempatkan rerata konsumsi ayam Indonesia jauh di bawah rerata negara-negara lain di dunia. Bandingkan dengan Thailand misal, yang angka konsumsi ayam per kapita per tahunnya menyentuh angka rerata 17 kilogram, atau Malaysia yang unggul jauh dengan 38,5 kilogram.
Uniknya, fenomena rendahnya konsumsi ayam
nasional seolah tak terasa jika kita mengamati kecenderungan pola makan mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS). Di kampus yang konon sering dipromosikan oleh rektornya sendiri ini, tingkat
konsumsi ayam para mahasiswa jauh mengungguli angka rerata nasional.
“Lima kali dalam seminggu saya mengonsumsi ayam,” ujar Rizka Zahra, salah seorang mahasiswi FISIP UNS ketika
diwawancarai VISI pada Jumat (25/8/2017).
Mahasiswi Program Studi Hubungan Internasional itu
menambahkan jika jenis makanan berbahan dasar ayam yang biasa ia konsumsi adalah ayam geprek dan ayam penyet. Rizka menuturkan alasan utamanya sering mongonsumsi ayam disebabkan minimnya jenis makanan lain yang dijual di sekitar kampus.
“Aku suka ayam, ikan, dan seafood (makanan laut-red). Tapi
banyaknya di daerah sini ayam, kan. Seandainya makan prasmanan, kebanyakan juga
ayam. Ayam itu sudah seperti makanan sejuta umat,” imbuhya.
Kecenderungan serupa juga dilakukan Danisa Alda
Razaq, salah seorang mahasiswi Fakultas Teknik angkatan 2016. Berbeda dengan
Rizka, mahasiswi yang biasa mengonsumsi empat porsi ayam dalam sepekan itu memiliki alasan lain.
“Karena ayam itu enak, sehat, dan bergizi,”
tandasnya.
Kesenjangan
Data ini kian diperkuat dengan ‘survei kecil-kecilan’
yang dilakukan Redaksi LPM VISI pada pertengahan bulan Agustus 2017. Dari 50 narasumber yang tersebar acak di 10
fakultas, 21 diantaranya mengaku mengonsumsi ayam minimal enam porsi dalam sepekan.
Sementara itu, 27 mahasiswa lain mengonsumsi ayam empat hingga lima porsi dalam
sepekan. Hanya dua mahasiswa saja yang mengonsumsi ayam di bawah tiga porsi tiap satu pekan.
Dengan asumsi rerata berat satu porsi ayam adalah
85 gram, diperoleh angka konsumsi ayam mahasiswa UNS tiap pekannya
menyentuh angka 0,425 kg. Lalu, jika
angka itu dikalikan 40 (jumlah pekan perkuliahan dalam setahun) akan
diperoleh total 17 kilogram.
Angka tersebut surplus 7 kilogram
dibanding rerata konsumsi ayam nasional. Padahal, total jumlah hanya dihitung selama delapan bulan. Jika hendak dibandingkan dari angka rerata nasional selama 8 bulan (yang hanya 6,6 kilogram), angka rerata konsumsi ayam mahasiswa UNS bisa surplus lebih dari 10 kilogram.
Berkah
Warung Makan
Tingginya tingkat konsumsi ayam di kalangan mahasiswa
UNS menjadi berkah tersendiri bagi para pelaku kuliner sekitar kampus. Warung Ayam Penyet Bandung (APB) misal, yang dalam sehari bisa menjual sekitar 50
ekor ayam.
“Kalau anak kuliah masuk semua ya habis 50 ekor.
Kalau lagi liburan paling 30 ekor. Kalau hari Sabtu paling 40-45
ekor,” ujar Anik Priyati selaku pemilik APB saat diwawancarai
VISI pada Sabtu (26/8/2017).
Ketika ditanyai jumlah pelanggan,
Anik mengatakan APB bisa mendapat 500 hingga 600 pelanggan tiap harinya. Jumlah
ini fluktuatif, tergantung dari rentang masa kuliah. Secara pribadi, Anik mengakui akhir-akhir ini ada kecenderungan mahasiswa kian 'tak pikir-pikir' untuk
mengonsumsi ayam.
“Jika dulu, orang untuk mau makan ayam masih
berpikir lagi. Waktu jaman saya pertama di sini itu kan masih belum rame, kebanyakan
mereka (mahasiswa-red) pilihan makannya ke nasi sayur,” imbuh Anik.
Ayam Penyet Bandung (APB) merupakan salah satu warung makan yang ramai didatangi oleh mahasiswa UNS. Saat ini, daging ayam masih menjadi salah satu menu yang kerap dikonsumsi oleh mahasiswa Kampus Kentingan. (Dok.VISI/Nabilah) |
Berkah dari tingginya tingkat konsumsi ayam
mahasiswa UNS tak hanya dirasakan APB. Kondisi serupa juga dialami para pelaku industri kuliner lain.
Di Kopi Jahat misal, dalam sehari setidaknya ada 90
hingga 100 pelanggan yang memesan porsi makanan berbahan dasar ayam. Angka ini terbilang tinggi, mengingat tempat makan yang berdiri sejak 28 Juli 2016 ini
tidak meniatkan daging ayam sebagai 'sajian andalan' mereka.
Lebih lanjut, Akbar selaku perwakilan
pihak Kopi Jahat menuturkan jika peluang membuka usaha kuliner dengan menu ayam di sekitar UNS masih terbuka lebar. Saat ditemui VISI pada Jumat (25/8/2017) lalu, pria
berusia 26 tahun ini mengatakan hal tersebut disebabkan banyaknya peminat daging ayam di Solo.
“Peminat daging ayam di Solo itu lebih banyak jadi mesti laris untuk menu ayam, kebanyakan begitu saat saya survei sebelum membuka warung. Saya rasa peluang untuk buka bisnis kuliner warung makan ayam di Solo itu tetap nomor satu,” pungkas Akbar. (Fauzan, Nabilah)
“Peminat daging ayam di Solo itu lebih banyak jadi mesti laris untuk menu ayam, kebanyakan begitu saat saya survei sebelum membuka warung. Saya rasa peluang untuk buka bisnis kuliner warung makan ayam di Solo itu tetap nomor satu,” pungkas Akbar. (Fauzan, Nabilah)
0 Comments: