Suasana diskusi dan pemutaran film oleh Laboratorium Sosiologi di Gedung 4 Lantai 3 FISIP UNS, Kamis (26/10/2017 (Dok.VISI/Muthi) |
Ingatan penonton
kemudian digiring dalam memori lagu-lagu lawas. Film dibuka dengan gambar
piringan hitam yang bergerak. Sementara musik pengiring film mengingatkan kita pada sebuah soundtrack film horror yang naik daun beberapa waktu lalu “pengabdi
setan,” namun keduanya berbeda, meski sepintas terdengar mirip. Melalui filmnya
yang bertajuk Dendang Nusantara Memori Musik Indonesia, Pria Yudi Pamungkas
mencoba bercerita tentang carut marutnya pengarsipan musik-musik lawas
Indonesia. Mahasiswa yang hampir menjadi alumni Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI)
Bandung itu mencoba menggali kembali memori musik Indonesia lewat berbagai
pengarsipan yang tersisa.
Usai ditayangkannya
film karya Pria yang berdurasi tak kurang dari 30 menit, film kedua kemudian
diputar dengan tampilan berbeda. Kali ini Yolanda yang juga merupakan mahasiswa
ISBI Bandung mencoba membuka tabir di balik peristiwa di gedung Asia Afrika
Culture Center (AACC) Bandung, sebuah peristiwa dalam konser musik cadas yang
menewaskan 10 penonton. Film yang berjudul “Eargasm” tersebut, menjadi sarana
untuk menolak lupa tragedi yang terjadi 9 tahun lalu. Tak berhenti di titik
kejadian, film itu juga bercerita bagaimana peristiwa tersebut kemudian melemahkan gairah musik underground
di Bandung, masuknya corporate dalam
konser-konser musik indie, hingga dampaknya terhadap perkembangan musik di Bandung
saat ini.
Pemutaran film pun
selesai, lampu kembali dinyalakan, acara berlanjut dengan diskusi santai. Dalam
proses diskusi, Danang Rusdyanto salah satu pembicara yang merupakan pegiat
musik dari Lokananta sempat mengungkapkan permasalahan pengarsipan musik di
Indonesia saat ini. “Di Indonesia, musik hanya dianggap sebagai sebuah hiburan
saja, sehingga membedahnya secara mendalam sangat minim, padahal hanya dari sebuah
komoditas musik, akan terdapat banyak
aspek di dalamnya. Kerja-kerja pengarsipan harusnya menjadi kerja-kerja
akademis,” terang Danang.
Sementara itu
Drajat Tri Kartono, Kepala Laboratorium Sosiologi FISIP UNS, sebelum pemutaran
film dimulai, menjelaskan bagaimana esensi film dari kacamata sosiologi. “ Film
dapat menjadi refleksi dan juga cermin. Film merupakan representasi dari
perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Sesungguhnya para sutradara film
adalah sutradara sosial, dimana apa yang mereka lakukan dalam film, secara
sistematis berarti sedang merekayasa pikiran dari para penontonnya,” ungkap
Drajat. Gunawan Wibisono, yang menjadi moderator diskusipun ikut menambahkan, “Film buat kami, dari kalangan
sosiologi, merupakan alat atau tools
untuk melihat suatu peristiwa,” imbuhnya.
Di akhir diskusi,
masing-masing penggarap film, baik Pria dan Yolanda mengungkapkan harapannya.
“Pengarsipan menurut saya menjadi hal yang sangat penting. Dalam musik, apa
yang kita dengar saat ini tidak akan lepas dari apa yang didendangkan pada masa
dulu. Di bidang apapun kita bergerak, salah staunya riset, mulailah dengan
mengarsipkan apa yang kita miliki. Karena apa yang kita arsipkan saat ini,
mungkin di masa mendatang akan di cari,” ungkap Danang. Yolanda kemudian
menambahkan, dengan penjelasan yang lebih singkat, “Ekosistem musik harusnya
sehat, di mana setiap kalangan saling diuntungkan. Ketika musik tak hanya
menyoal materi dan keuntungan, apalagi KPI (Key Performance Indicator-red) dari para corporate,” pungkasnya.
Acara diskusi dan pemutaran film yang diadakan Laboratorium Sosiologi tersebut selesai tepat pukul 17.00 WIB. Acara yang bertajuk Teras Sosiologi itu, nantinya akan diadakan secara rutin, dan diharapkan mampu menjadi ruang diskusi terbuka bagi mahasiswa UNS, khususnya FISIP. Seperti yang diungkapkan Khabib Bima ketua lab sosiologi saat ditemui VISI, “Teras Sosiologi memang sengaja diadakan dalam tempat-tempat seperti ini, di pelataran, tanpa terikat ruang-ruang yang formal, harapannya agar esensi diskusi lebih didapatkan jika dilakukan dengan sederhana,” ungkap Bima. (Muthi)
Acara diskusi dan pemutaran film yang diadakan Laboratorium Sosiologi tersebut selesai tepat pukul 17.00 WIB. Acara yang bertajuk Teras Sosiologi itu, nantinya akan diadakan secara rutin, dan diharapkan mampu menjadi ruang diskusi terbuka bagi mahasiswa UNS, khususnya FISIP. Seperti yang diungkapkan Khabib Bima ketua lab sosiologi saat ditemui VISI, “Teras Sosiologi memang sengaja diadakan dalam tempat-tempat seperti ini, di pelataran, tanpa terikat ruang-ruang yang formal, harapannya agar esensi diskusi lebih didapatkan jika dilakukan dengan sederhana,” ungkap Bima. (Muthi)
0 Komentar