Ilustrasi.VISI/Fauzan |
Wajah lelaki itu menghadap langit,
menengadah, serupa telapak tangan pengemis yang beberapa jam sebelumnya
meminta koin di sepanjang jalan. Udara keluar dari mulut lelaki itu, namun tak ada
gema. Seratus tiga puluh tujuh anak panah yang menghujam punggungnya seperti meredam
itu semua.
Kelana, begitu orang-orang memanggil lelaki itu.
Tak seperti doa orang yang memberinya nama, pria kurus yang berat badannya tak lebih dari dua karung beras itu belum sekali pun berkelana keluar dari kawasan Prahasta.
Andai harus melangkahkan kaki dari kota kecil itu, paling jauh ia hanya
pergi 13 kilometer ke barat, ke Kota Astana, untuk
menumpas rindu dengan wanita tua yang memberinya nama.
Tapi, siang itu, saat menengadah ke langit Prahasta, Astana
bukanlah tempat yang ada di kepala Kelana. Ia memang sedang
sekarat, karena seratus tiga puluh tujuh kali dirajam oleh jeruji panah Arjuna yang melesat
dari arah belakang, namun bukan kondisi itu yang mengganggu pikirannya.
Kelana tetap saja menengadah ke langit, bukan karena ia memohon pengampunan dari Tuhan. Ia tahu persis soal ajal, namun tak pernah sekalipun terlintas di pikirannya untuk menghampiri neraka lebih cepat dari waktu salat subuh. Bagaimanapun, Resi tua yang dulu mengajarinya sembahyang tak menganjurkan Kelana pergi menjemput ajal.
Kelana tetap saja menengadah ke langit, bukan karena ia memohon pengampunan dari Tuhan. Ia tahu persis soal ajal, namun tak pernah sekalipun terlintas di pikirannya untuk menghampiri neraka lebih cepat dari waktu salat subuh. Bagaimanapun, Resi tua yang dulu mengajarinya sembahyang tak menganjurkan Kelana pergi menjemput ajal.
“Ajal akan datang sendiri
tanpa perlu kau jemput. Ia ibarat seorang ibu, dan kau ibarat balita yang
sedang merangkak ke bangku Taman Kanak-Kanak. Tak perlu risau, ia akan datang
tepat waktu demi keselamatanmu menuju jalan pulang,” begitu kata si Resi entah berapa tahun silam.
Tapi kini Resi itu tak lagi
menemani Kelana. Ia sudah digerogot ajal, secepat petuahnya menancap ke lubuk ingatan
Kelana. Siang itu, Kelana hanya ditemani oleh Arjuna yang tak
mengucurkan setetes keringat pun meski sudah melesatkan seratus tiga puluh
tujuh anak panah ke pungggung si pria kurus.
Ah, mungkin itu salah.
Tepat saat Kelana dalam
usaha terakhirnya menampik ajal, sesosok wanita meluncur dari langit. Wanita itu serupa
ditarik gaya gravitasi, namun sayap-sayap di punggungnya menahan agar daya tarik yang
dipunyai bumi tak rakus membelenggu.
Kelana tahu wanita yang
sedang dalam proses mendaratkan diri itu bernama Amba. Seratus tiga puluh tujuh
tahun lalu hingga sekarang, wanita itulah yang selalu muncul di tidur lelapnya
yang singkat. Ini seperti surga bagi Kelana. Tak pernah dinyana, akhirnya
ia bisa menjumpa Amba dengan mata kepalanya.
Tapi ada situasi baru yang membuat dada
Kelana pilu. Amba, ternyata tak mendarat ke titik di mana Kelana terseok-seok.
Wanita yang perangainya menyerupai bunga krisan itu tetap ditarik gravitasi,
namun menuju arah pukul sebelas. Saat menyadari Amba menuju arah tersebut, Kelana mengubah tatapannya.
Kini ia tahu, tempat di mana Amba akan mendarat. Namun saat memikirkan denah titik jatuh itu, dada Kelana terbakar. Kelana perlahan sadar, perasaan terbakar itu muncul kala ia mendapati titik yang dituju Amba adalah Arsapura, lokasi yang belum pernah dijangkaunya. Bahkan meski tak sedang sekarat oleh jeruji panah Arjuna, Kelana tak mungkin menjangkau Arsapura. Ia sudah bersumpah sehidup semati mengabdikan diri untuk Prahasta, kota yang menjadi musuh Arsapura dalam perang dinasti.
Kini ia tahu, tempat di mana Amba akan mendarat. Namun saat memikirkan denah titik jatuh itu, dada Kelana terbakar. Kelana perlahan sadar, perasaan terbakar itu muncul kala ia mendapati titik yang dituju Amba adalah Arsapura, lokasi yang belum pernah dijangkaunya. Bahkan meski tak sedang sekarat oleh jeruji panah Arjuna, Kelana tak mungkin menjangkau Arsapura. Ia sudah bersumpah sehidup semati mengabdikan diri untuk Prahasta, kota yang menjadi musuh Arsapura dalam perang dinasti.
Pada akhirnya, setelah pikirannya menuntaskan pergelutan, Kelana berkeras bahwa hidupnya adalah Amba. Ia menyerongkan langkah menuju arah pukul sebelas. Tepat saat itu
ia tak mau peduli lagi tentang sekarat atau dendamnya pada Arjuna. Ia hanya
ingin bersua Amba, meski dalam kondisi sudah jadi seonggok mayat. Tekad Kelana
bulat, walau dengan kecepatan berjalan yang seadanya butuh tiga pekan baginya untuk sampai di titik mendarat Amba.
“Aku akan abai, aku akan
abai, jarak adalah jalan dan waktu adalah jembatan, ” batin Kelana.
Tapi bumi tiba-tiba
berhenti berdenyut, seolah mampu membaca batin Kelana. Arjuna, yang berada tepat sepuluh meter di belakang Kelana,
memotong jarak dengan kecepatan penuh. Dengan menunggangi seekor kuda perang, si
pembawa panah berlalu, menyalip Kelana dan menuju arah pukul sebelas, arah yang dituju pula oleh
si pria kurus yang menjadi korban panahnya.
Kelana tahu jika Arjuna
tak puas dengan pencapaian merenggut nyawa musuhnya, dan kini bahkan bertekad
merebut Amba. Kelana tahu pula, dengan kuda itu Arjuna hanya perlu waktu
dua jam untuk berpadu dengan Amba di satu titik. Namun, lagi-lagi Kelana
tak berkelit. Ia tetap melangkah terseok-seok menuju arah pukul sebelas. Pria
kurus itu paham betul jika dirinya mungkin tak akan pernah mewujudkan mimpi bertemu
Amba. Tetapi bukan kemungkinan pilu itu yang ingin diabadikan isi kepalanya.
0 Komentar