Ilustrasi. VISI/Fauzan |
Oleh: Herdanang Ahmad Fauzan
Sudah
berulang kali Tegar memainkan konflik itu dalam hidupnya. Ia memang kerap melakukan
kenakalan khas remaja tanggung seusianya. Mulai dari meminjam senapan angin Pak
Subarja tanpa izin dan menghabiskan pelurunya untuk menembaki burung, mencuri buah
mangga ranum di kebun beberapa tetangga, hingga melempari sepupunya sendiri dengan
tahi ayam. Itu semua tak menghentikan cinta ibunya terhadap Tegar. Tidak, kecuali
konflik yang sedang dimainkannya kali ini, yang membuat Marsinem naik pitam dan
hilang sabar pada putranya itu.
“Bahkan
jika ayahmu adalah bajingan dan kamu tak kalah bajingan, kamu tetap anakku. Ah,
tidak. Kamu tak punya ayah, aku ibu sekaligus ayahmu,” Marsinem, dalam satu sore
yang kuning pernah menghunus Tegar dengan kalimat itu.
Tapi
kini kalimat Marsinem seperti menguap. Serupa uapan seceret air yang mendidih
setelah dijerang 13 jam. Air itu telah menguap jadi udara, dan Socrates maupun
Gandhi bahkan tak lagi mampu mengenalinya.
“Sekarang,
ada baiknya kamu kemas semua barangmu. Aku tak mau Tuhan melihatku memelihara
iblis,” umpat Marsinem di ruang tamu rumahnya, tepat di depan mata Tegar.
Setelah
melempar kalimat yang lebih serupa jarum suntik itu, Marsinem membalik badan dan masuk ke kamarnya. Tak lupa adegan itu dipungkasinya dengan sebuah bantingan
pintu.
Tegar
tak bergidik. Ia masih berdiri terpaku, menunduk dan menahan air mata. Jika air
mata adalah sungai, maka kelopak mata Tegar adalah tanggul paling tangguh di dunia. Ia
terbuat dari beton-beton kelewat matang. Rapi dan mampu menahan berbagai beban,
kecuali umpatan Marsinem dan selembar foto seseorang yang tersimpan di tas
punggungnya.
Perkara
tas itu, Tegar jadi teringat lagi. Itu adalah barang yang dibelinya dari uang upah bermain peran sebagai pemain bola di kompetisi tarkam tujuhbelasan.
Tegar ingat betul saat itu ia bingung membelanjakan upahnya untuk apa. Bingung
untuk membeli novel bersampul hijau karangan Kundera atau tas punggung, karena saat itu ia belum kecanduan sastra
sebagaimana sekarang.
Dan
soal sastra, Tegar tak akan lupa bahwa ada orang selain Marsinem yang
membuatnya kecanduan barang tersebut. Orang kedua yang gambarnya saja sudah
mampu menjebol tanggul mata Tegar. Orang lain yang bahkan usianya masih
setengah usia Marsinem.
Sempat
terpikirkan bagi Tegar untuk lari menghampiri orang itu. Tapi pikiran tersebut bertahan
tak lewat dari dua menit. Tegar ingat bahwa ia pernah merundung orang itu
dengan konflik yang sama dengan yang dilakukannya pada Marsinem saat ini.
“Kau
adalah pria paling bengis di dunia. Tak ada manusia yang betah di sampingmu dalam
waktu selama ini, kecuali aku,” orang itu, di kota lain pernah menyerang Tegar
dengan kalimat tersebut.
“Kau
salah. Ada lainnya, dan wanita itu bernama Marsinem,” saat itu Tegar bergumam demikian,
namun itu semua hanya dilafalkannya dalam hati.
Dan kini Tegar tak yakin kalimat itu benar. Lagipula Marsinem sudah mengatainya
iblis karena konflik naif yang dibuatnya, sebagaimana orang kedua kini muak
dengan Tegar.
Jika
boleh berpledoi, Tegar tak ingin jadi seperti ayahnya. Namun justru keinginan
untuk jadi diri lain itulah yang membunuh eksistensi seorang lelaki bernama
Tegar. Dan Tegar telah kehilangan itu, kehilangan Marsinem dan orang kedua.
Soal
orang kedua itu, nampaknya Tegar harus merumuskan ulang definisinya. Selama ini
Tegar menyebutnya “orang” karena tak paham jenis kelamin yang dimiliki si orang kedua. Ia
bukan laki-laki yang gemar memotong kalimat, bukan pula wanita yang kerap distigmakan
sebagai pengikut taat.
Pada
akhirnya, di dalam rumah itu, waktu Tegar habis karena terlalu keras memikirkan
kemungkinan jenis kelamin orang kedua. Bagaimanapun, tegar mencintainya bukan
karena berkelamin perempuan ataupun laki-laki, dan memikirkan orang kedua justru
membuat tegar semakin gila.
Sepuluh menit berlalu. Marsinem membuka pintu yang tadi dibantingnya.
Ia keluar menghampiri Tegar sambil membawa senapan angin Pak Subarja. Tegar
ingin berlari, menyahut tas punggungnya dan berharap orang kedua yang
dicintainya menunggu di ambang pintu.
Ia berharap orang itu dan Marsinem akan
menjadi seperti dulu, seperti ketika Tegar belum memainkan konflik terlarang. Sungguh,
tidak ada mimpi lain yang ingin diwujudkan Tegar selain membersamai Marsinem
dan orang kedua.
Dua
detik berlalu dan Tegar tetap bingung. Ia masih terpaku, berdiri di posisi
sama, gagal memulai langkah untuk meraih tas punggungnya dan berlari. Lalu
tiba-tiba kebingungan Tegar dan langkah Marsinem terhenti. Seseorang mengetuk
pintu rumah dari luar. Seseorang yang Tegar tahu persis siapa itu, meski mungkin
Marsinem tidak.
Gantung ee mas ceritane
BalasHapus