Judul : Zadig | Penulis: Voltaire | Penerbit : Penerbit OAK | Cetakan : Oktober 2015 | Tebal: 154+
(Dok. Internet) |
Pertama kali melihat buku
kecil dengan ornamen potongan tubuh tak utuh ini, saya pikir “Zadig” hanyalah
novel roman biasa. Namun, pikiran itu terpatahkan ketika saya menemukan kejutan-kejutan
di dalamnya.
Cukup sulit untuk
menginterpretasi cerita ini. Rasanya, butuh lebih dari sekali tandas buku ini
dilahap. Buku ini perlu dilumat perlahan supaya detil manis-asinnya tidak
terlewat begitu saja. Saya sempat terpikir hendak menutupnya lalu beralih ke
lain buku. Akan tetapi, rasa penasaran terus mengejar saya untuk berimajinasi
tentang sosok Zadig hingga saya bertekad menuangkannya dalam tulisan cacat ini.
Saya akan menarasikan Zadig dan Voltaire dalam satu garis khayal yang sejajar.
Zadig menggebrak paham-paham yang
dianut pada masanya dirasa salah kaprah. Zadig juga dapat dikatakan sebagai
perantara Voltaire−sang penulis−dalam menyampaikan keresahannya pada dunia.
Melalui Zadig, Voltaire menuangkan isi kepala serta suasana hatinya ke dalam
kritik-kritik serta sarkasme atas dogma-dogma agama yang dinarasikannya menjadi
serangkaian alur cerita yang utuh. Tak heran jika karya Voltaire yang satu ini
menciptakan candu bagi penikmatnya.
Buku kecil ini mengajak kita
berpetualang bersama sang tokoh utama. Kita akan menyelami kehidupan Zadig yang
tak pernah menuntut dunia untuk memujanya. Ia hanya menginginkan bahagia yang
berulangkali direnggut semesta setiap ia baru saja mencecapnya. Kisah cinta
Zadig dengan wanita di Babilonia nampaknya mendapat porsi besar dalam buku ini.
Kegagalan kisah cinta yang tak membuat Zadig larut dalam kesedihan pun tak
luput dikisahkan.
Kecintaan Zadig terhadap ilmu
pengetahuan mendorongnya menjadi seorang filsuf dan penyair yang mengeksplorasi
keagungan pencipta dengan mempelajari gejala alam, hewan, serta tumbuhan. Kecerdasan
dan kejeliannya dalam mengamati fenomena dan gejala alam serta caranya
menghadapi kegagalan mengajak pembaca untuk berkontemplasi tentang optimisme
hidup.
Semua kejadian yang menimpanya
tak urung menjadikan Zadig lebih bijak. Zadig berkawan dengan banyak cendekia
berbudi luhur, orang-orang jujur, dan para filsuf dari berbagai kerajaan.
Bersama mereka, Zadig berdiskusi tentang apa saja yang tengah bergejolak di
dunia.
Banyak orang yang menyukai
karakter Zadig yang begitu bijak, cerdas, berpikiran terbuka, berwawasan luas,
serta rendah hati. Mereka senang untuk sekadar berbincang hingga berburu ilmu
darinya. Namun, segala kebahagiaan yang dirasakan Zadig ternyata menyulut
amarah seorang pria pendengki. Pria tersebut diam-diam mengamati setiap
gerak-gerik Zadig. Orang-orang di sekitar pria tersebut memang tak ada satu pun
yang menghiraukan keberadaannya, sekalipun ia berbuat baik. Setiap kebaikan
yang ia lakukan tak ubahnya menimbulkan iri, dengki, serta kebencian dari orang-orang
di sekitarnya.
Voltaire membumbui cerita
Zadig dengan berbagai pelajaran serta
filosofi hidup yang ringan dinikmati sekaligus mengandung banyak pembelajaran. Ketika
saya membaca cerita ini, saya merasa seolah Voltaire tengah membacakan
ceritanya secara langsung. Buku ini sangat menarik, baik bagi mereka yang baru
mencicipi cerita roman satire barat −seperti saya, maupun penikmat karya
sejenisnya.
0 Comments: